JAKARTA - Lebih dari 10.000 spesies tumbuhan dan hewan berada pada risiko tinggi kepunahan karena perusakan hutan hujan Amazon, 35 persen di antaranya telah ditebang atau terdegradasi, menurut rancangan laporan ilmiah yang diterbitkan pada 14 Juli lalu.
Diproduksi oleh Science Panel for the Amazon (SPA), laporan 33 bab ini menyatukan penelitian tentang hutan hujan terbesar di dunia dari 200 ilmuwan di seluruh dunia. Ini adalah penilaian paling rinci tentang keadaan hutan hingga saat ini, memperjelas peran penting yang dimainkan Amazon dalam iklim global dan risiko besar yang dihadapinya.
Memotong deforestasi dan degradasi hutan menjadi nol dalam waktu kurang dari satu dekade 'sangat penting' sebut laporan itu, seraya menyerukan restorasi besar-besaran daerah yang sudah hancur.
Hutan hujan adalah benteng penting melawan perubahan iklim baik untuk karbon yang diserapnya maupun apa yang disimpannya. Menurut laporan tersebut, tanah dan vegetasi Amazon menyimpan sekitar 200 miliar ton karbon, lebih dari lima kali emisi CO2 tahunan seluruh dunia.
Lebih jauh lagi, perusakan berkelanjutan yang disebabkan oleh campur tangan manusia di Amazon menempatkan lebih dari 8.000 tanaman endemik dan 2.300 hewan dalam risiko tinggi kepunahan, ungkap laporan tersebut.
Ilmu pengetahuan menunjukkan, manusia menghadapi risiko yang berpotensi tidak dapat diubah dan bencana akibat berbagai krisis, termasuk perubahan iklim dan penurunan keanekaragaman hayati, kata profesor Universitas Brasilia Mercedes Bustamante, Brasil selama diskusi panel virtual.
"Ada peluang sempit untuk mengubah lintasan ini. Nasib Amazon adalah inti dari solusi krisis global," terang Bustamante seperti mengutip Reuters 15 Juli.
Di Brasil, deforestasi melonjak sejak Presiden sayap kanan Jair Bolsonaro menjabat pada 2019, mencapai level tertinggi 12 tahun tahun lalu dan menarik kecaman internasional dari pemerintah asing dan publik.
Presiden Bolsonaro menyerukan penambangan dan pertanian di kawasan lindung Amazon, melemahkan lembaga penegak lingkungan, yang menurut para ahli lingkungan dan ilmuwan telah secara langsung mengakibatkan meningkatnya kerusakan.
Sementara tetangga Brasil, Kolombia seminggu yang lalu melaporkan bahwa deforestasi naik 8 persen pada tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 171.685 hektar (424.000 hektar), dengan hampir 64 persen dari kerusakan terjadi di wilayah Amazon negara itu.
Mantan Presiden Kolombia Juan Manuel Santos menyesalkan kurangnya kemauan politik dari antara negara-negara Amazon untuk mengatasi masalah yang dihadapi hutan hujan.
"Sayangnya saat ini di Amerika Latin dan terutama di delapan negara ini, Anda tidak melihat kepemimpinan politik itu, Anda tidak melihat ada presiden yang mengambil alih tongkat estafet," katanya, merujuk pada negara-negara yang berbatasan dengan hutan hujan Amazon.
Dari ukuran aslinya, 18 persen dari lembah Amazon telah ditebangi, menurut laporan tersebut, sebagian besar untuk pertanian dan kayu ilegal, sementara 17 persen lainnya telah terdegradasi.
Sementara, upaya restorasi akan memainkan peran penting dalam menjaga Amazon, sulitnya memulihkan hutan berarti tujuan utamanya adalah melindungi vegetasi dan badan air yang ada.
"Tindakan restorasi bisa mahal dan rumit untuk diterapkan, jadi sebenarnya lebih baik menghindari deforestasi dan degradasi, sehingga kita tidak perlu mengambil tindakan restoratif," terang Marielos Pena-Claros, profesor di Universitas Wageningen di Belanda.
Penghancuran yang berkelanjutan dapat mengancam kemampuan hutan hujan untuk berfungsi sebagai penyerap karbon, dengan hasil yang berpotensi merusak bagi perubahan iklim global.
BACA JUGA:
Terpisah, sebuah studi berbeda yang diterbitkan dalam jurnal 'Nature' pada waktu yang sama menunjukkan, beberapa bagian Amazon mengeluarkan lebih banyak karbon daripada yang mereka serap, berdasarkan pengukuran karbon dioksida dan karbon monoksida yang diambil dari atas hutan hujan antara 2010 dan 2018.
Penulis utama Luciana Gatti, seorang ilmuwan di lembaga penelitian luar angkasa Inpe Brasil, menyarankan peningkatan emisi karbon di Amazonia tenggara, di mana deforestasi sangat parah, bukan hanya akibat kebakaran dan perusakan langsung, tetapi juga karena meningkatnya kematian pohon karena kekeringan parah dan suhu yang lebih tinggi menjadi lebih umum.