Melihat Langkah Nyata Pemimpin Dunia Melawan Perubahan Iklim
Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Narasi melawan perubahan iklim sudah sering kita dengar hampir setiap hari. Para pemimpin dunia memahami perubahan iklim menjadi ancaman nyata keberlangsungan hidup manusia. Lantas bagaimana langkah nyata para pemimpin itu untuk melindungi Bumi dari kerusakan?

Narasi penyelamatan lingkungan bukan pepesan kosong belaka. Sebab, agenda penyelamatan lingkungan menuju bumi yang lebih bersih dan hijau telah digaungkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Virtual Partnering for Green Growth and Global Goals 2030 (P4G) yang digelar di Korea Selatan Minggu, 30 Mei lalu.

Melansir CNA, Selasa, 1 Juni, KTT itu dibuka dengan komitmen Korea Selatan (Korsel) sebagai tuan rumah yang berencana memangkas pembiayaan terkait proyek batu bara. Negeri Ginseng itu akan mengalihkan dana yang ada, sebesar-besarnya untuk agenda penyelamatan lingkungan. Lebih lagi, Korsel bersedia menjadi penghubung antara negara berkembang dan negara maju.

"Korea Selatan akan memainkan peran yang bertanggung jawab sebagai negara penghubung antara negara berkembang dan negara maju," kata Presiden Moon Jae-in saat membuka KTT.

Tercatat, KTT yang berlangsung dua hari itu merupakan pertemuan perdana terkait perubahan iklim, setelah pertemuan besar sebelumnya di Kopenhagen, Denmark pada 2018. Dalam KTT itu, para pemimpin dunia berfokus pada usaha kemitraan mensinergikan antara peran publik dan swasta di negara-negera berkembang. Tujuannya,  supaya menjadi bagian dalam agenda penyelamatan lingkungan yang lebih besar.

Rencana itu sesuai dengan ambisi negara-negara maju yang telah menetapkan tujuan pengurangan emisi yang ambisius dalam beberapa bulan terakhir. Yang mana, mereka –para negara maju—menargetkan emisi karbon 0 persen pada tahun 2050. 

Komitmen tersebut diamini oleh Kanselir Jerman Angela Merkel. Ia bahkan meminta negara-negara maju untuk segera menghapus dan meninggalkan ketergantungan mereka pada bahan bakar fosil. Dalam konteks itu, Merkel mengimbau bahwa perubahan iklim adalah ancaman nyata, apalagi kini perubahan iklim semakin diperparah oleh merosotnya aktivitas ekonomi karena pandemi COVID-19.

Senada dengan Merkel, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengungkap negara-negara di dunia sekarang harus memenuhi janji “hijau” mereka. Bagi Boris Johnson, perubahan iklim bukan masalah yang dapat dianggap sepele.

"Ini awal yang bagus, tapi jangan dulu menepuk punggung kita karena planet kita dan orang-orang kita membutuhkan lebih banyak. Kami membutuhkan pemerintah yang tidak hanya membuat janji tentang iklim dan alam tetapi juga mencocokkan kata-kata itu dengan perbuatan," kata Boris Johnson.

Pentingnya sinergi 

Rencana pengurangan emisi dari para pemimpin dunia memang patut dikritisi. Lantaran di bawah Kesepakatan Paris 2015 lalu, para pemimpin dunia telah berkomitmen mengurangi emisi secara bertahap hingga tahun 2050. Akan tetapi, banyak negara yang sejauh ini gagal memenuhi komitmen mereka. 

Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengungkap emisi karbon harus turun 8 persen tiap tahun. Langkah itu disinyalir dapat mempertahankan suhu bumi, setara dengan emisi yang dihemat selama pandemi belakangan ini. Target itu harus dilakukan setiap tahun hingga 2030.

Bersamaan dengan itu, para pemimpin dunia diminta tidak menganak-tirikan negara-negara miskin dalam agenda penyelamatan lingkungan. Negara-negara maju diharuskan membantu negara-negara miskin agar saling bahu-membahu mewujudkan pengurangan emisi. 

"Ini bukan kemitraan global jika beberapa (negara-negara miskin) dibiarkan berjuang untuk bertahan hidup," ujar Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres. "Menangani perubahan iklim secara langsung akan membantu melindungi orang yang paling rentan dari krisis berikutnya sambil mempertahankan pemulihan yang kaya pekerjaan dari pandemi," katanya.

BERNAS Lainnya