JAKARTA - Nama Cinta Laura jadi trending topic Twitter sejak Senin pagi, 31 Mei. Dalam video itu Cinta mengutarakan pandangannya tentang pengelolaan uang. Alih-alih konsumtif dengan barang-barang berharga mahal, Cinta mengaku lebih senang menyumbangkan uangnya. Sederhana. Namun apa yang diutarakan Cinta membuka diskusi tentang salah satu persoalan pelik negeri ini: keadilan, dalam konteks ini redistribusi kekayaan.
Pandangan itu diungkap Cinta saat menjadi tamu di kanal YouTube Gritte Agatha. Pada salah satu sesi tayangan, Cinta ditanya tentang alasannya berhemat dalam belanja barang serta pakaian.
"Kenapa aku hemat banget karena dari kecil diajari untuk ngelihat semuanya dari perspektif yang luas. Bukan berarti aku enggak suka barang-barang bagus, ya. Aku guilty kalau membeli sesuatu yang baru atau mahal," kata Cinta.
"Aku mikirnya gini, misalnya beli tas branded harganya Rp30 juta. Imagine, berapa keluarga atau anak yang bisa aku sekolahin atau kasih makan dengan uang Rp30 juta dan aku pakai uang Rp30 juta buat beli tas. It's not worth it," sambung dara 27 tahun.
Apa yang diungkap Cinta terdengar sederhana. Disadari atau tidak, pandangan itu merefleksikan persoalan penting dan genting negeri ini. Tentang pemerataan ekonomi lewat redistribusi kekayaan demi mewujudkan keadilan sosial, cita-cita Pancasila.
Cita-cita Pancasila
"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," termaktub dalam butir kelima Pancasila. Keadilan sosial menyangkut banyak aspek. Dalam konteks pemikiran Cinta adalah pemerataan pemberdayaan ekonomi.
Ekonom, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan apa yang Cinta lakukan dapat jadi solusi mengatasi ketimpangan. Cara berpikir itu penting untuk ditularkan, meski tak bisa jadi opsi utama dalam redistribusi kekayaan.
"Model seperti pemberian dana sosial, filantropi itu bagus, tapi not the only solution. Itu temporer saja dan jumlahnya juga bergantung dari kebesaran hati si kaum privilleges," kata Bhima kepada VOI, Senin, 31 Mei.
Cara efektif untuk memastikan redistribusi kekayaan dari kelas atas seperti Cinta menyentuh kaum miskin adalah dengan optimalisasi sistem pajak dari hulu ke hilir. Selain itu negara harus memastikan pajak tinggi bagi orang-orang berpunya.
"Dalam beberapa studi, seperti yang dilakukan Piketty dalam periode data dari tahun 1910 hingga abad ke 20 menyebut bahwa solusi efektif mengatasi ketimpangan adalah dengan penerapan pajak dan kepatuhan yang lebih tinggi," Bhima.
Belajar dari Amerika Serikat (AS), yang pada tahun 1950 mengambil langkah gila menetapkan besaran pajak 80 persen atau top marginal tax rate untuk mendorong pemerataan pemberdayaan ekonomi bagi kaum miskin. Hasilnya ketimpangan pendapatan mengalami penurunan yang luar biasa signifikan.
"Jadi di cek dulu apa laporan pajaknya sudah patuh, baru berlanjut ke filantropi. Itu alur yang benar," tutur Bhima yang juga menjabat Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Dalam konteks Indonesia, selama ini kontribusi pajak orang kaya masih rendah. Berdasar data Forbes dalam daftar orang terkaya di Indonesia tahun 2019, diketahui total kekayaan mereka diestimasi mencapai Rp1.884,4 triliun.
Sementara realisasi PPh 21 per November 2019 mencapai Rp133,1 triliun. Dan itu mencakup seluruh masyarakat dari beragam kelas pendapatan. "Selama ini rata-rata kontribusi orang kaya terhadap total penerimaan pajak sebesar 0,8% atau Rp1,6 triliun."
Menaikkan pajak orang super kaya
Indonesia tumbuh sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Setiap tahun, jumlah orang-orang super kaya --yakni mereka yang memiliki kekayaan bersih melebihi 1 juta dolar AS atau Rp14,2 miliar-- meningkat
Kondisi ini sejatinya dapat dimanfaatkan pemerintah lewat optimalisasi pendapatan pajak. Pajak orang-orang super kaya itu harus dinaikkan. Cara ini dapat bermanfaat, mengingat defisit negara telah mencapai Rp553 triliun.
Anggaran pemulihan ekonomi nasional sebagai upaya menahan dampak pandemi COVID-19 jadi beban serius keuangan negara. Indonesia juga mengalami resesi pertamanya sejak 1998, dengan penerimaan pajak hanya mencapai 89,25 persen atau Rp 1.019 triliun pada tahun lalu. Angka itu meleset 10 persen dari target Rp 1.198 triliun.
Melansir The Conversation, Senin, 31 Mei, sebuah riset mendukung gagasan peningkatan pajak orang super kaya ini. Lewat pertambahan penerimaan pajak, pemerintah dapat mendistribusikan kembali kekayaan itu lewat insentif atau bantuan sosial. Cara tersebut dipandang ampuh mengurangi ketimpangan pendapatan masyarakat.
Ketimpangan
Jumlah orang kaya di Indonesia terus meningkat seiring pemulihan ekonomi. Sebuah studi yang dilakukan Knight Frank, perusahaan konsultan di London memprediksi ada 21.430 high net worth individual atau orang-orang dengan kekayaan lebih dari 1 juta dolar AS pada 2020. Angka itu diprediksi meningkat hingga 110 persen menjadi 45.063 pada tahun 2025.
Masih dari studi itu, ultra high net worth individual atau orang-orang dengan kekayaan bersih melebihi 30 juta dolar AS atau Rp434,5 miliar diprediksi berjumlah 673 orang. Jumlah mereka di tahun 2025 akan meningkat pesat hingga 67 persen menjadi 1.125. Dengan angka itu Indonesia akan jadi negara dengan pertumbuhan jumlah individu super kaya tercepat di Asia.
Ini jadi ironi karena di waktu yang sama masalah kemiskinan di Indonesia makin gawat dalam tiga tahun belakangan. Pandemi mendampaki ini. Bulan September 2020, tercatat ada 27,5 juta orang miskin atau 10,19 persen dari seluruh populasi bangsa.
Koefisien Gini Indonesia juga naik, dari 0,3 di tahun 2000 menjadi 0,4 pada 2015. Hal itu sama saja dengan peningkatan ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Sebagai negara dengan masalah ketimpangan, Indonesia menempati nomor enam dalam eskalasi kegawatan di seluruh dunia.
Rasionya, empat orang terkaya di Indonesia mengantongi kekayaan lebih besar dari seratus juta orang paling miskin yang digabung. Dan seperti dikatakan Bhima, pajak adalah instrumen termujarab mengurangi ketimpangan pendapatan dan meredistribusi kekayaan kaum kaya ke miskin.
Masalah pajak
Indonesia punya masalah besar dalam pengelolaan pajak. Rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto alias perbandingan penerimaan pajak dengan keseluruhan ekonomi negara sangat rendah: 10,8 persen di tahun 2018.
Coba bandingkan dengan negara Asia Tenggara lain. Singapura dan Malaysia, misalnya, yang masing-masing mencatatkan rasio pajak terhadap PDB 13,2 persen dan 12,5 persen di tahun yang sama.
Hari ini Indonesia membebankan pajak penghasilan 30 persen bagi penduduk berpenghasilan lebih dari Rp500 juta per tahun. Angka ini jauh dari ideal.
Negara lain, seperti Jepang dan Swedia menuntut pajak 60 persen bagi penghasilan warganya. Sementara, di Amerika Serikat (AS), Presiden Joe Biden juga baru mengumumkan proposal menaikkan pajak pendapatan untuk orang-orang berpenghasilan lebih dari 1 juta dolar AS setahun.
Melihat kondisi-kondisi di atas, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan masih memiliki ruang untuk menaikkan pajak penghasilan hingga 45 persen atau 50 persen. Lakukanlah hal itu secara bertahap.
*Baca Informasi lain soal EKONOMI atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.