Bagikan:

JAKARTA - Perdebatan soal budaya bersepeda di Ibu Kota belum surut. Hujatan meluas tak cuma kepada pengguna road bike tapi juga mengarah ke pesepeda lain, bahkan pesepeda komuter. Diskursus kemudian muncul. Tentang narasi "pejuang antipolusi" dan tepatkah menyamaratakan semua pesepeda? Ini adalah solusi di akhir polemik.

Kami berbincang dengan Poetoet Soedarjanto, Ketua Bike2Work Indonesia. Menurut Poetoet, masyarakat perlu cermat dan bijaksana menyikapi kontroversi yang ditimbulkan para pengguna road bike dalam foto viral itu.

Adalah kekeliruan besar, menurut Poetoet menyamaratakan semua pengguna sepeda. Soal perilaku gowes para pengguna road bike dalam foto viral, Poetoet menanggapi, "Yang salah orangnya. Bukan sepedanya."

"Kalau rute yang dilintasi sudah ada jalur sepeda, luruskan kalau saya keliru, maka rombongan sepeda tersebut sudah salah. Salah ya salah saja, enggak usah ada pembenaran ini itu. Mohon lihat lagi Pasal 122 UULAJ 22/2009," tambah Poetoet.

Poetoet juga mengomentari narasi warganet yang menyerang idiom "pejuang polusi". Ada perbedaan besar antara para pesepeda. Dalam konteks ini kita bagi dua, yakni mereka yang menjadikan sepeda sebagai alat transportasi dan sebagai olahraga atau rekreasi.

Tak ada yang buruk sebenarnya. Tapi idiom pejuang polusi, kata Poetoet jelas merujuk pada kategori pertama: pesepeda transport atau komuter. Jadi, bukan soal jenis sepeda yang digunakan, tapi tentang tujuan seseorang bersepeda.

"Melihat tampilannya mereka ini sedang olahraga dengan sepedanya. Bagaimana waktu lain? Belum tentu juga bertransportasi dengan sepeda," kata Poetoet.

Solusi antipolusi

Kurir Westbike Messenger (Irfan Meidianto/VOI)

Oktober lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendapatkan penghargaan Sustainable Transport Award (STA) dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) dan Komite Penghargaan Transportasi Berkelanjutan dari berbagai organisasi, seperti World Resources Institute, Clean Air Asia, hingga Bank Dunia.

Ada kabar baik juga buruk dalam kajian itu. Kabar baiknya, Jakarta berhasil menerapkan strategi peningkatan mobilitas masyarakat dengan transportasi umum, dilihat dari pertumbuhan dan perbaikan moda transportasi umum.

Jakarta juga dianggap berhasil dalam peningkatan keselamatan serta akses bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda. Hal ini dilihat dari progres pembangunan jalur sepeda. Semua hal itu memunculkan optimisme tentang berkurangnya angka polusi udara di Ibu Kota.

Tapi optimisme tak berarti keberhasilan. Banyak hal yang masih perlu dikerjakan untuk mewujudkan optimisme itu. Keberhasilan dalam pengembangan transportasi dan pembangunan jalur sepeda tak serta merta membuat Jakarta aman dari polusi.

Salah satu masalah terbesar dari polusi udara Jakarta adalah penggunaan bahan bakar tak ramah lingkungan. Artinya jalanan Jakarta masih belum cukup aman bagi kesehatan warganya.

Ilustrasi foto (Sumber: Unsplash)

Menurut data Breathe Easy Jakarta, emisi dari sektor transportasi di Ibu Kota diperkirakan berada di angka 43 hingga 46 persen sepanjang periode 2012 sampai 2030. Pada 2019, Vital Strategies, lembaga nirlaba internasional yang fokus pada isu kesehatan publik merilis studi yang menunjukkan tingkat kontribusi asap knalpot dalam keseluruhan polusi Jakarta.

Hasilnya asap knalpot kendaraan sebesar berkontribusi 32-41 persen di musim penghujan dan meningkat jadi 42-57 persen pada kemarau terhadap konsentrasi PM2.5 di DKI Jakarta. PM2.5 merupakan partikel halus berukuran 2,5 mikrometer atau lebih kecil dari ukuran rambut manusia.

Ini merupakan salah satu tanda kualitas udara yang buruk. Dan indikator ini berkaitan langsung dengan kesehatan manusia. World Health Organization sendiri menetapkan standar aman konsentrasi PM2.5 tetap di bawah 25 mikrogram/m3 untuk rata-rata harian.

Selain mengoptimalkan peran dan kualitas transportasi publik, mendorong budaya bersepeda komuter jadi solusi antipolusi paling logis.

Memindahkan pesepeda olahraga ke arena balap

Pengendara berplat AA berhadapan dengan peleton sepeda roadbike (Twitter/@samartemaram)

Selain mendorong kembali pertumbuhan pesepeda komuter, polemik ini juga mengangkat gagasan soal memindahkan para pesepeda olahraga ke arena balap, entah velodrome ataupun sirkuit. Cocok. Sebab jalan raya memang bukan untuk berkebut-kebut ria.

Ada beberapa alasan. Pertama soal perilaku pesepeda olahraga yang membutuhkan ruang besar untuk berkendara di tengah peleton dengan kecepatan tinggi. Hal ini yang juga membuat banyak pesepeda olahraga kerap menggunakan jalur kanan yang terlarang.

"Para pesepeda yang berada di jalur lalu lintas bersama-sama dengan kendaraan motor lainnya, tentu wajib mengambil jalur paling kiri. Sehingga aspek keselamatan dan keamanan pada saat berada di ruang jalan itu bisa terpenuhi," kata Kepala Dishub DKI Jakarta Syafrin Liputo kepada wartawan, Minggu, 30 Mei.

Terpisah, Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Sambodo Purnomo Yogo menyebut pihaknya akan melakukan penindakan tegas berupa tilang kepada para pesepeda yang melanggar lalu lintas dengan melintasi jalur kanan.

"Ada pelanggaran Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), Pasal 299," kata Sambodo, Sabtu, 29 Mei.

Tapi penindakan tilang itu baru akan berlaku ketika jalur khusus sepeda olahraga diresmikan. Saat ini, tengah ada uji coba lintasan road bike di jalan layang nontol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang.

"Kita siapkan jalur khusus roadbike. Setelah jalur itu operasional, kita akan mulai penindakan tegas terhadap para bikers," ungkap Sambodo.

Pesepeda melintas saat berlangsungnya uji coba pemberlakuan lintasan road bike di jalan layang non tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang (Akbar Nugroho Gumay/Antara)

Selain itu, ada penelitian yang menegaskan bahwa kebut-kebutan dengan sepeda di tengah kota berpolusi memang tak baik, bahkan bagi kesehatan si pesepeda itu sendiri. Ketika pesepeda mengayuh dalam kecepatan tinggi, mereka akan mengambil napas lebih dalam.

Hal itu memperbesar jumlah polusi yang masuk ke paru-paru. Di sisi lain, mengayuh sepeda terlalu lambat juga menyebabkan seseorang terpapar polusi dalam durasi yang lebih panjang. Dilansir Daili Mail, para peneliti berupaya mencari kecepatan yang tepat.

"Semakin cepat Anda bergerak, semakin keras Anda bernapas, dan semakin banyak polusi yang masuk melalui napas. Namun di sisi lain Anda waktu Anda terpapar polusi lalu lintas juga lebih singkat," kata Alex Bigazzi, peneliti utama dari University of British Columbia.

Serangkaian studi melibatkan pendataan terhadap lebih dari 10 ribu orang. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam the International Journal of Sustainable Transportation ini menemukan pesepeda baiknya mengayuh antara 12 hingga 20 kilometer per jam di tengah kota berpolusi.

"Bila Anda bergerak cukup cepat, penarikan napas dan polusi akan secara siginifikan lebih tinggi. Kabar baiknya adalah, kecepatan minimum ini rata-rata kecepatan yang biasa dilakukan orang-orang," kata Bigazzi.

Polusi udara akibat dari kegiatan perkotaan telah menjadi faktor risiko berkembangnya asma, stroke dan kanker paru-paru. Polusi diyakini menyebabkan 3 juta kematian di seluruh dunia.

*Baca Informasi lain soal JAKARTA atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani juga Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya

BACA JUGA: