JAKARTA - Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) ke-10 dan 12 Jusuf Kalla (JK) menyampaikan pernyataan menarik tentang kemiskinan yang melanda umat Islam di Indonesia. Umat Islam cenderung lebih miskin, kata JK. Benarkah begitu? Bagaimana penjelasannya?
JK menyebut ekonomi umat Islam sedang pincang lantaran rasio yang menunjukkan hanya ada satu umat Muslim di antara sepuluh orang kaya. Hal itu disampaikan JK di hadapan Menteri BUMN Erick Thohir di sebuah acara, Senin, 14 Juni.
"Dari sisi ekonomi apabila ada sepuluh orang kaya, maka paling tinggi satu orang Muslim. Tapi apabila seratus orang miskin, setidaknya 90 umat yang miskin. Jadi pincang keadaan ekonomi kita," kata JK.
JK, yang merupakan Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) menyerukan umat Muslim untuk hijrah. Hijrah yang dimaksud JK adalah meningkatkan partisipasi umat Islam dalam pembenahan dan perbaikan ekonomi Tanah Air.
Dengan cara itu ekonomi Indonesia diyakini JK dapat membaik. Imbasnya, tentu ke penguatan ekonomi umat Islam. "Karena kalau ekonomi nasional sejahtera, tentu 99 persen, umat juga sejahtera," kata JK.
Apa benar umat Islam cenderung miskin?
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menyampaikan pandangan terkait ini. Menurut Enny, yang dikatakan JK ada benarnya. Ada hubungan nyata antara kemiskinan dan umat Islam.
Tapi bukan dalam kausalitas murni. Untuk melihat hubungan dua variabel di atas, kita perlu melihat statistik. Secara sederhana, Enny menjelaskan, "Indonesia sampai hari ini mayoritas penduduknya adalah Muslim.
"Dan 40 persen penduduk Indonesia itu masih miskin dan rentan miskin. Dengan sendirinya, kalau secara statistik otomatis yang miskin pasti Muslim," tutur Enny ketika dihubungi VOI, Selasa, 15 Juni.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2021 adalah 269,6 juta jiwa. Sementara, penduduk miskin tercatat melonjak hingga 27,55 juta jiwa, setara dengan 10,19 persen jumlah penduduk.
Sementara, penduduk Musllim di Indonesia diperkirakan mencapai 229 juta orang. Angka itu setara 87,2 persen dari total populasi penduduk Indonesia atau 13 persen dari total populasi Muslim di seluruh dunia.
"Jadi kalau secara hubungan kausalitas pure, artinya agama dengan status ekonomi, itu pasti enggak ada. Tapi kalau secara statistik ada. Jadi ada dua perspektif yang tidak linear," tutur Enny.
Lalu apa penyebab kemiskinan dan bagaimana menanganinya?
Lalu apa yang membuat seseorang miskin? Hal paling mendasar yang menyebabkan kemiskinan adalah karena seseorang tidak mampu memperoleh akses sumber daya, informasi, teknologi, pendidikan, dan aspek lain yang jadi variabel ekonomi produktif.
Dalam kondisi semacam ini negara wajib membuat kebijakan-kebijakan yang mampu mewujudkan pemerataan akses terhadap aset-aset ekonomi produktif. "Ketiadaan kekurangan pembagian aset produktif tadi," tutur Enny.
"Jadi kalau kebijakan pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap miskin dan kelompok miskin, pasti berdampak. Itu kenapa kebijakan terkait sektor apapun itu berpegang pada asas keadilan atau proporsionalitas," tambah dia.
Pemerataan akses terhadap aset ekonomi produktif dapat dilakukan lewat redistribusi kekayaan yang mendorong kemandirian si miskin. Kebijakan pajak terukur dan akurat dibutuhkan. Bukan PPN terhadap sembako dan pendidikan yang jelas.
Kita telah membahas rencana kebijakan pajak yang keblinger itu lewat artikel BERNAS berjudul Iya, Pemerintah Perlu Kejar Pendapatan Pajak tapi PPN Sembako dan Pendidikan adalah Eksploitasi Negara pada Rakyatnya.
Yang ingin kami bahas di sini adalah bagaimana negara merancang skema pajak yang mampu mewujudkan kehidupan berkeadilan sosial. Orang-orang superkaya harus dikenakan pajak tinggi.
"Yang jelas kalau ada warga mendapat aksess produktif yang besar, dan lainnya tersisih dari persaingan, yang tentu peran negara yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan. Negara yang harus meredistribusi," kata Enny.
Indonesia tumbuh sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Setiap tahun, jumlah orang-orang super kaya --yakni mereka yang memiliki kekayaan bersih melebihi 1 juta dolar AS atau Rp14,2 miliar-- meningkat.
Kondisi ini sejatinya dapat dimanfaatkan pemerintah lewat optimalisasi pendapatan pajak. Pajak orang-orang super kaya itu harus dinaikkan. Cara ini dapat bermanfaat, mengingat defisit negara telah mencapai Rp553 triliun.
Melansir The Conversation, Selasa, 15 Juni, sebuah riset mendukung gagasan peningkatan pajak orang super kaya ini. Dan ada nilai tambah dari cara ini, yaitu Indonesia lebih berpeluang mengatasi ketimpangan.
Lewat pertambahan penerimaan pajak, pemerintah dapat mendistribusikan kembali kekayaan orang-orang superkaya itu lewat insentif atau bantuan sosial. Peran orang-orang superkaya ini jadi sangat penting untuk memperbaiki ekonomi bangsa ke depan.
Sebagaimana kita bahas dalam artikel BERNAS berjudul Sadarkah Kita Cinta Laura Baru Saja Buka Topik Terpenting soal Redistribusi Kekayaan, dijelaskan bahwa pertumbuhan orang superkaya di dunia, termasuk Indonesia akan meningkat luar biasa.
Sebuah studi yang dilakukan Knight Frank, perusahaan konsultan di London memprediksi ada 21.430 high net worth individual atau orang-orang dengan kekayaan lebih dari 1 juta dolar AS pada 2020.
Angka itu diprediksi meningkat hingga 110 persen menjadi 45.063 pada tahun 2025. Masih dari studi itu, ultra high net worth individual atau orang-orang dengan kekayaan bersih melebihi 30 juta dolar AS atau Rp434,5 miliar diprediksi berjumlah 673 orang.
Jumlah mereka di tahun 2025 akan meningkat pesat hingga 67 persen menjadi 1.125. Dengan angka itu Indonesia akan jadi negara dengan pertumbuhan jumlah individu super kaya tercepat di Asia. Ini jadi ironi.
Di waktu yang sama masalah kemiskinan di Indonesia makin gawat dalam tiga tahun belakangan. Pandemi mendampaki ini. Bulan September 2020, tercatat ada 27,5 juta orang miskin atau 10,19 persen dari seluruh populasi bangsa.
Koefisien Gini Indonesia juga naik, dari 0,3 di tahun 2000 menjadi 0,4 pada 2015. Hal itu sama saja dengan peningkatan ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Sebagai negara dengan masalah ketimpangan, Indonesia menempati nomor enam dalam eskalasi kegawatan di seluruh dunia.
Rasionya, empat orang terkaya di Indonesia mengantongi kekayaan lebih besar dari seratus juta orang paling miskin yang digabung. Dan pajak adalah instrumen termujarab mengurangi ketimpangan pendapatan dan meredistribusi kekayaan kaum kaya ke miskin.
Kemiskinan dan umat Islam
Kenyataannya, kemiskinan memang jadi problem mendasar umat Islam. Tak hanya di Indonesia tapi juga dunia. Hanya sedikit negara mayoritas Muslim yang cukup makmur dan maju dalam industri dan perekonomian. Pun ada, itu pasti karena sumber daya alam yang melimpah, bukan sumber daya manusia.
Lihat saja Brunei Darusalam atau negara-negara Teluk. Selebihnya, negara mayoritas Muslim lebih banyak menduduki peringkat di bawah garis kemiskinan. Beberapa teori modernisasi yang berkembang sejak 1950-an mengidentikkan umat Islam dengan kemunduran, keterbelakangan, hingga kemiskinan.
Teori itu menempatkan "dunia Timur" --termasuk China, India, dan Timur Tengah-- sebagai dunia yang tak bisa maju. Alasannya, watak kultural yang "unworldly". Pemikiran ini sebagian besar dipengaruhi oleh isi kepala Max Weber (1864-1920).
Dalam sejumlah karya, seperti The Religion of China dan The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber menjelaskan, dalam konteks ini dunia Timur adalah kebalikan dunia Barat yang dipenuhi pengaruh tradisi Protestan yang "worldliness."
Masih dari pemikiran Weber, kemajuan ekonomi dan kemakmuran dunia Barat terjadi karena kecocokan kultur mereka dengan kapitalisme modern. Konsep itu tumbuh lewat etos kapitalis yang didorong doktrin dan etika agama Protestanisme --khususnya Calvinism-- yang menekankan aspek worldliness dan kemajuan.
Sementara, di dunia Timur, kapitalisme modern yang ia sebut sebagai akar kemajuan ekonomi tak bisa tumbuh. Kenapa? Karena menurut Weber karakteristik agama di dunia Timur berwatak asketis, hirarkhis, dan unearthly.
Agama dunia Timur yang dimaksud Weber, termasuk Islam, Buddha, Hindu, Taoisme, Konghuchu, hingga Sinto. Inilah yang menurut Weber menghalangi munculnya spirit kapitalisme modern di negara-negara non-Eropa.
Sumanto al Qurtuby, Kepala Scientific Research in Social Science King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi menjelaskan dalam tulisan opininya di DW bahwa kemiskinan merupakan produk atau akumulasi dari banyak faktor.
Banyak celah kritik untuk teori-teori Weber. Tapi tak sepenuhnya juga tak valid. Beberapa data empiris, menurut Sumanto turut mendukung premis-premis dari teori Weber. Sumanto berpendapat kemiskinan yang terjadi pada kaum Muslim merupakan kombinasi dari problem kultural --sebagaimana dijelaskan Weber-- dan masalah struktural.
Faktor struktural itu, misalnya adalah kebijakan ekonomi pemerintah yang tak berkeadilan, kebijakan pembangunan yang timpang, hingga dominasi kelompok konglomerat. Bagaimana Islam melihat sistem perekonomian?
Menurut Sumanto Islam tidak mengajarkan sebuah sistem ekonomi tertentu. Islam hanya menurunkan wawasan mengenai nilai-nilai, seperti keadilan, egalitarianisme, serta pemerataan.
Kiai Masdar F. Mas'udi, seorang cendekiawan NU dalam buku Agama Keadilan menjelaskan komitmen Islam pada nilai-nilai keadilan yang universal dan egalitarianisme turut jadi spirit model perekonomian yang "Islami" dan "Qur'ani". Meski begitu, sekali lagi, Islam tidak merekomendasikan sistem ekonomi.
Itulah kenapa negara-negara mayoritas Muslim cenderung memiliki sistem ekonomi beragam. Indonesia bagaimana? Indonesia, menurut pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah menetapkan sistem ekonomi Pancasila yang mengedepankan keadilan dan kepentingan rakyat.
"Saya yakin betul Bung Hatta itu filsuf ekonom. Dan sampai hari ini itu terbukti. Jadi sebenarnya dasar-dasar sistem ekonomi, dasar mengelola ekonomi, dasar bagaimana mengelola berbagai macam sumber daya alam, itu sudah didesain oleh pendiri negara. Sekarang tinggal bagaimana implementasinya," ungkap ekonom INDEF, Enny Sri Hartati.
*Baca Informasi lain soal EKONOMI atau baca tulisan menarik lain dari Didi Kurniawan dan Yudhistira Mahabharata.