Pemangkasan Hukuman Eks Jaksa Pinangki adalah Pelecehan Nalar Kita, Lembaga Peradilan Butuh Pengawasan
Jaksa Pinangki (Sumber: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Keputusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memangkas enam tahun hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari disorot publik. Hukuman yang dijatuhkan kepada Pinangki dianggap melecehkan peradilan. Ada hal-hal janggal, memang, yang membuat pemangkasan hukuman Pinangki makin mendekati pelecehan nalar publik.

Jadi, keputusan PT DKI Jakarta ini merupakan lanjutan dari upaya banding yang diajukan Pinangki terhadap vonis majelis hakim pengadilan tipikor yang menjeratnya dengan hukuman penjara sepuluh tahun. Dari sepuluh, kini hukuman Pinangki jadi empat tahun untuk kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, serta pencucian uang.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp600 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," tertulis dalam laman putusan Mahkamah Agung (MA), Senin, 14 Juni.

Putusan itu diambil oleh ketua majelis hakim Muhammad Yusuf, dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik. Ada sejumlah pertimbangan yang diambil majelis hakim hingga mereka memangkas lebih dari separuh masa hukuman terhadap Pinangki.

Jaksa Pinangki (Sumber: Antara)

Pertama, Pinangki dikatakan mengaku bersalah dan menyesali perbuatan serta ikhlas dipecat dari profesi jaksa. "Oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik," tertulis dalam pertimbangan. Faktor lainnya adalah status Pinangki yang merupakan ibu dari seorang balita berusia empat tahun.

"... layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan."

Pertimbangan lain, hakim menyebut sebagai seorang wanita Pinangki harus mendapat perhatian, perlindungan dan berhak diperlakukan dengan adil. "Bahwa perbuatan Terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini."

"Bahwa tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat."

Pelecehan nalar publik

"Benar-benar keterlaluan," ungkap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Bagi Kurnia keputusan pemangkasan hukuman bagi Pinangki amat tak masuk akal. Pun dengan segala pertimbangan yang dituturkan hakim.

Menurut Kurnia, Pinangki justru seharusnya dihukum lebih berat hingga 20 tahun atau seumur hidup. Ada standar yang terbalik dalam pertimbangan hakim. Bukan status ibu apalagi faktor gender yang dipertimbangkan.

Hakim seharusnya mempertimbangkan status Pinangki sebagai penegak hukum dalam kasus ini. "Betapa tidak, Pinangki semestinya dihukum lebih berat, 20 tahun atau seumur hidup, bukan justru dipangkas dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara," ucap Kurnia.

Terkait putusan banding Pinangki ini, Kurnia mengatakan jaksa penuntut harus segera mengajukan kasasi. Hal ini perlu dilakukan untuk membuka kemungkinan hukuman lebih berat untuk Pinangki. Kurnia juga mendorong MA mengawasi proses kasasi itu nantinya.

"ICW meyakini, jika tidak ada pengawasan, bukan tidak mungkin hukuman Pinangki dikurangi kembali, bahkan bisa dibebaskan," ucap Kurnia.

Sistem supervisi

Jaksa Pinangki (Sumber: Antara)

Sistem supervisi penegakan hukum jadi penting jika melihat berjalannya proses peradilan dalam kasus Pinangki. Bola sekarang ada di tangan jaksa penuntut. Tapi kita juga ingat bagaimana jaksa penuntut dulu menuntut Pinangki dengan hukuman yang juga rendah.

Terkait putusan banding terbaru ini, jaksa penuntut Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat belum menentukan sikap. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budi Santoso mengaku belum "menerima putusan PT (Pengadilan Tinggi) tersebut."

Menurut Budi pihaknya akan mempelajari putusan itu lebih dulu sebelum menentukan langkah. "JPU akan pelajari terlebih dahulu, khususnya pertimbangannya agar kami bisa menentukan sikap selanjutnya," kata Budi.

Sebelumnya, jaksa penuntut dari Kejaksaan Agung menuntut Pinangki dengan penjara empat tahun ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Majelis hakim Tipikor PN Jakarta Pusat beranggapan tuntutan itu terlalu rendah.

Majelis hakim yakin Pinangki layak dihukum lebih berat karena profesinya sebagai penegak hukum. 8 Februari, majelis hakim Tipikor PN Jakarta Pusat memvonis Pinangki hukuman sepuluh tahun penjara, ditambah denda Rp600 juta subsider enam bulan kurungan.

Pertimbangan lain memperberat hukuman Pinangki saat itu adalah karena Pinangki dianggap tidak mendukung pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pinangki dianggap kerap mempersulit proses peradilan.

"Terdakwa berbelit-belit, menyangkal dan menutup-nutupi keterlibatan pihak lain dalam pekara a quo, tidak mengakui perbuatannya dan sudah menikmati hasil pidana yang dilakukannya," ungkap Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto membacakan amar putusan pada 8 Februari.

Kasus jaksa Pinangki

Dalam perkara ini Pinangki terbukti melakukan tiga tindak pidana. Pertama Pinangki terbukti menerima suap 500 ribu dolar AS dari terpidana kasus "cessie" Bank Bali, Djoko Tjandra.

Suap diberikan agar Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa perlu dieksekusi. Djoko Tjandra pada waktu itu tengah dalam jerat hukuman dua tahun penjara berdasar putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 yang tertanggal 11 Juni 2009.

Dalam membantu Djoko Tjandra, Pinangki ikut menyusun "action plan", meminta fatwa MA terkait putusan PK Djoko Tjandra dengan mencantumkan inisial "BR", yakni Burhanuddin sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan "HA", yaitu Hatta Ali selaku pejabat di MA.

Rencana itu gagal karena polisi lebih dulu menangkap Djoko Tjandra. Djoko Tjandra sendiri sudah divonis 2,5 tahun penjara karena terbukti memalsukan surat jalan, surat keterangan pemeriksaan COVID-19 dan surat rekomendasi kesehatan untuk masuk ke Indonesia.

Djoko Tjandra (Sumber: Antara)

Dalam kesepakatan, sejatinya Djoko Tjandra harus membayar 10 juta dolar AS. Namun uang yang masuk ke Pinangki baru uang muka sebesar 500 dolar AS. Perbuatan pidana Pinangki yang kedua adalah pencucian uang.

Pinangki diketahui melakukan pencucian uang dengan nilai 375.279 dolar AS atau setara Rp5.253.905.036. Uang tersebut jadi bagian dari suap yang diberikan Djoko Tjandra. Ada beberapa cara yang dilakukan Pinangki dalam pencucian uang.

Beberapa di antaranya dengan membeli mobil BMW X5 warna biru. Selain itu pencucian uang juga dilakukan untuk menyewa apartemen di Amerika Serikat (AS), bayar dokter kecantikan di AS, membayar dokter 'home care' hingga pembayaran kartu kredit.

Perbuatan pidana ketiga, Pinangki terbukti terlibat permufakatan jahat bersama Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra. Ketiganya terbukti menjanjikan sesuatu berupa uang 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejagung dan MA untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra yang tertuang dalam "action plan".

*Baca Informasi lain soal KORUPSI atau baca tulisan menarik lain dari Indra Hendriana dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya