Bagikan:

JAKARTA - Keputusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memangkas enam tahun hukuman eks jaksa Pinangki Sirna Malasari menimbulkan banyak pertanyaan. Tak sedikit pihak yang sulit mencernanya dengan logika hukum. Putusan ini juga dianggap mencederai visi pemberantasan korupsi. Salah satu pertanyaan yang berusaha kami jawab adalah tentang bagaimana sebenarnya rekam jejak empat hakim pemberi putusan kepada Pinangki tersebut. 

Sebelumnya, Jaksa Pinangki melakukan banding atas vonis majelis hakim pengadilan tipikor yang menjeratnya dengan hukuman penjara sepuluh tahun. Banding tersebut berhasil dan menurunkan jumlah hukuman Jaksa Pinangki hingga 60 persen atau menjadi hanya empat tahun saja. Putusan tersebut diambil oleh Tim Majelis Hakim yang diketuai oleh Muhammad Yusuf. Sementara anggotanya adalah Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik.

Terdapat beberapa alasan mengapa hakim meringankan hukuman Pinangki. Pertama, Pinangki mengaku bersalah dan menyesali perbuatan serta ikhlas dipecat dari profesi jaksa. Kedua, karena pertimbangan dirinya sebagai seorang ibu dari balita berusia empat tahun. 

Menurut hakim, Pinangki layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan, dilansir dari laman putusan Mahkamah Agung (MA), Senin,14 Juni. Putusan terakhir dari PT DKI Jakarta ini menjadi dinamika tersendiri bagi putusan hukum yang selama ini didapatkan oleh Jaksa Pinangki. 

Sedikit mengingat kembali, proses hukum terhadap Pinangki dimulai saat ia dilaporkan ke Komisi Kejaksaan oleh Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia, Boyamin Saiman. Perkaranya soal dugaan pertemuan antara terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra dan pengacaranya, Anita Kolopaking. Tuduhan tersebut dibuktikan oleh foto yang tersebar viral di dunia maya.

Pada 30 Juli 2020, pemeriksaan dilakukan dan Pinangki dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung. Dilansir Kompas, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono menyatakan bahwa Pinangki terbukti melakukan pelanggaran dispilin PNS, yaitu telah melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa mendapatkan izin tertulis dari pimpinan sebanyak sembilan kali pada 2019.

Perjalanan itu sendiri adalah rangkaian pertemuan untuk membahas kasus yang tengah melilit Djoko Tjandra. Hukuman tersebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Nomor: KEP-IV-041/B/WJA/07/2020 tanggal 29 Juli 2020 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin Tingkat Berat, berupa pembebasan dari Jabatan Struktural.

Selanjutnya, Pinangki dijemput di kediamannya sekaligus ditetapkan sebagai tersangka pada 11 Agustus 2020. Penyidik pada Direktorat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung menetapkan Jaksa Pinangki sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji.

Eks Jaksa Pinangki (Sumber: Antara)

Pada bulan Februari 2021, majelis hakim tipikor Jakarta Pusat memvonis Pinangki bersalah dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Tidak terima dengan keputusan tersebut, Kuasa Hukum Pinangki mendaftar pengajuan banding pasa 15 Februari 2021. Upaya banding yang dilakukan oleh Pinangki juga disertai oleh permintaan banding yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. 

Dari hasil banding yang dilakukan oleh Pinangki dan kuasa hukumnya, akhirnya Pinangki berhasil mendapat keringanan hukuman yang sangat drastis dan menuai banyak kecaman di tengah masyarakat, terutama atas tindakan hakim yang dianggap menyakiti nalar hukum dan hati masyarakat Indonesia. 

Pelecehan nalar publik

Dalam tulisan Pinangki Diringankan karena Perannya sebagai Ibu, Rismaya Menyusui Bayi 10 Bulannya di Penjara dijelaskan bahwa pemangkasan hukuman terhadap eks Jaksa Pinangki ini seolah melecehkan nalar publik. Pendapat itu dilontarkan oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Ia menyangkan putusan yang diberikan oleh Hakim Muhammad Yusuf tersebut, seharusnya sebagai penegak hukum, Jaksa Pinangki pantas untuk mendapatkan hukuman yang lebih berat. "Sebab kejahatan yang dilakukan Pinangki jauh melampaui argumentasi majelis hakim tersebut, kata Kurnia, 16 Juni 2021.

Upaya hakim menggunakan alasan hubungan ibu dan anak yang berusia 4 tahun dianggap tidak rasional. Karena sejatinya, vonis tersebut harus memperhatikan aspek orientasi perbuatan dan dampak yang diakibatkan dari kejahatan Pinangku, terutama terkait kegagalan penegak hukum dalam menjaga integritasnya. 

Pinangki dianggap melakukan kesalahan besar karena sebagai seorang jaksa, ia melakukan suap, tindak pidana pencucian uang, hingga pemufakatan jahat. Hal ini dapat dilihat dari sejarah hukuman jaksa-jaksa yang terlibat kasus pidana korupsi.

Keterlibatan jaksa dalam kasus korupsi bukan yang pertama kali. Menurut data ICW yang dikutip Sindonews,  sekitar 22 jaksa dicatat telah terlibat dalam kasus korupsi dalam rentang 2015 hingga 2020. Keterlibatan 22 anggota Korps Adhyaksa tersebut dapat dilihat dari berbagai kasus yang sedang ditangani KPK, kepolisian, hingga kejaksaaan itu sendiri. Sedangkan  untuk hukuman terbesar, mungkin kita masih ingat soal putusan vonis 20 tahun bui terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan pada tahun 2008. Dia terbukti menerima suap perkara penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Mengenal hakim pemberi hukum Pinangki

Melansir laman pt-jakarta.go.id, Ketua  Majelis Hakim banding Pinangki bernama Muhammad Yusuf, S.H., M. HUM, Yusuf memiliki pangkat golongan Pembinaa Utama IV/e yang malang melintang dalam jabatan-jabatan kejaksaan agung di tingkat daerah seperti Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan dan Ketua Pengadilan negeri Kendari. Selanjutnya, anggota hakim kasus banding kasus suap Pinangki yaitu Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Malik.

Muhammad Yusuf (Sumber: pt-jakarta.go.id)

Haryono merupakan Hakim Tinggi yang berdinasi di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Nama Haryono sebelumnya beredar di media massa setelah meringankan vonis Mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya, Hary Prasetyo. Sebagai hakim ketua dalam sidang banding yang diajukan kuasa hukum Hary, Haryono menetapkan Hary bersalah kerugian negara akibat penempatan investasi Jiwasraya baik di saham dan reksa dana yang merugikan negara mencapai Rp 16,6 triliun.

Haryono memvonis Hary dengan hukuman 20 tahun penjara dan densa sebesar Rp 1 milliar subsider enam bulan kurungan. Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan putusan majelis sidang tipikor pada 26 Oktober 2020 yang menghukum Hary dengan pidana penjara seumur hidup berikut denda.

Haryono (Sumber: pt-jakarta.go.id)

Berikutnya adalah Singgih Budi Santoso, hakim tinggi yang berdinas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Menurut penusuran kami, ada kabar soal kasus yang melibatkan Singgih. Salah satunya pada 2013, seperti dilansir detik, Singgih yang saat itu menjadi Ketua PN Bandung dipromosikan sebagai hakim tinggi di Pengatilan Tinggi Makassar. Menurut informasi yang diberikan oleh mantan Wakil Ketua PN Bandung Setyabudi Tejocahyono, ia mendapatkan jatah suap 15 ribu dolar AS dari terpidana kasus korupsi yang juga mantan Wali Kota Bandung, Dada Rosada. 

Singgih disebut menerima uang suap dari Dada Rosada dan Edi Siswadi. Akan tetapi dilansir dari Tribunnews, Singgih memberikan kesaksian dalam sidang lanjutan Korupsi Dana Bansos Kota Bandung pada 31 Oktober 2013 dan menyatakan tidak terlibat dan menerima uang dari terdakwa Setyabudi Tejocahyono.

Sedangkan Lafat Akbar dikenal atas perannya sebagai hakim dalam mengurangi hukuman dari terdakwa perkara jual beli di Kementerian Agama (Kemenag) pada tahun 2020. PT DKI Jakarta mengurangi hukuman mantan Ketua umum PPP, M. Romahurmuziy, menjadi satu tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan. Sebelumnya pada 20 Januari 2020, Romahurmuziy divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan oleh hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Lafat Akbar (Sumber: pt-jakarta.go.id)

Untuk hakim anggota terakhir, Reny Halida Malik merupakan hakim tinggi yang bertugas di PT DKI Jakarta. Reny dikenal sebagai salah satu peserta calon hakim agung perempuan pada 2017. Reny juga pernah mengawal beberapa kasus korupsi seperti kasus persidangan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung dalam kasus BLBI.

Reny Halida Malik (Sumber: pt-jakarta.go.id)

*Baca informasi lain soal HUKUM atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian.

BERNAS Lainnya