JAKARTA - Polisi menyita buku Hikayat Pohon Ganja dalam kasus kepemilikan dan konsumsi ganja Erdian Aji Prihartanto alias Anji. Langkah polisi disoroti. Sudah paranoid terhadap ganja, paranoid terhadap buku pula. Di lain sisi penyitaan buku ini justru kembali menghidupkan diskusi tentang ganja dalam konteks manfaat.
Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Ady Wibowo yang memberikan pernyataan soal temuan buku Hikayat Pohon Ganja dari tangan Anji. Dalam bahasanya, Ady menyebut polisi "mengamankan barang bukti."
"Biji-biji ganja yang kita dapatkan di lokasi kedua. Kemudian batang ganja. Di dalam kotak ini mengamankan batang ganja kemudian ada sebuah buku, Hikayat Pohon Ganja," tutur Ady kepada wartawan, Rabu, 16 Juni.
Anji mengaku buku Hikayat Pohon Ganja adalah bentuk edukasi. Anji ingin tahu kenapa banyak negara dunia melegalisasi ganja, sedangkan Indonesia tidak. Tepat. Buku Hikayat Pohon Ganja memang memperkarakan narasi itu lewat narasi manfaat yang ditonjolkan.
"Jadi memang menurut saudara AN ini adalah bagian dari edukasi yang bersangkutan terkait dengan ganja itu sendiri karena sudah rekan-rekan pahami juga di 48 negara bagian di Amerika sudah melegalkan tanaman ganja ini. Tapi itu bukan ranah kita kepolisian," Ady.
Sebelum Anji, polisi pernah menyita buku Hikayat Pohon Ganja lain dari tangan aktor muda, Jeff Smith. Buku Jeff Smith disita dari kediamannya di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Seperti Anji, Jeff Smith memanfaatkan buku Hikayat Pohon Ganja sebagai literasi.
[RESENSI BUKU: Narasi Manfaat Pohon Kehidupan]
Tak cuma Hikayat Pohon Ganja. Jeff Smith mengoleksi sejumlah buku lain. "Hal menarik, kita menemukan empat buah buku yang berkaitan dengan tanaman ganja," kata Kombes Pol Ady Wibowo di Polres Jakarta Barat, Senin, 21 April silam.
Buku Hikayat Pohon Ganja sejatinya adalah buku lama. Buku ini dicetak dengan judul Hikayat Pohon Ganja: 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia. Pertama kali terbit tahun 2011, buku ini telah dicetak dalam edisi revisi pada Februari 2019 dan Maret 2020.
Hikayat Pohon Ganja sebagai literasi
Hikayat Pohon Ganja ditulis dan disusun oleh Dhira Narayana bersama tim Lingkar Ganja Nusantara (LGN). LGN adalah lembaga nirlaba yang fokus dalam riset pengetahuan tentang peradaban dan budaya ganja di Nusantara.
Dan buku setebal 342 halaman telah lama jadi bagian dari literasi tentang ganja. Hikayat Pohon Ganja bahkan diberi penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai satu-satunya buku yang memberi edukasi dan pengetahuan soal ganja di Indonesia.
"Buku Hikayat Pohon Ganja adalah pernyataan intelektual Lingkar Ganja Nusantara (LGN). Bahwa gagasan dan tindakan kami (LGN) didasari oleh tatanan ilmu pengetahuan yang berani kami pertanggung-jawabkan di hadapan mahkamah hukum ataupun kebudayaan," tertulis dalam bagian Kata Sambutan, oleh Dhira yang merupakan Ketua LGN.
Sebagaimana kami jabarkan dalam artikel BERNAS berjudul Melihat Isi Buku Hikayat Pohon Ganja yang Kerap Jadi Sitaan Kasus Ganja, dalam buku ini LGN menghadirkan berbagai fakta dan data terkait pemanfaatan tanaman ganja dalam peradaban dan budaya umat manusia. Buku ini berisi informasi dasar memperkenalkan ganja pada pembaca.
Tentang ganja medis, peradaban ganja di dunia, hingga budaya ganja Nusantara, yaitu tentang bagaimana masyarakat Indonesia di berbagai daerah menggunakan ganja secara turun temurun untuk berbagai aspek kehidupan. Ada berbagai topik lain dalam buku ini.
Misalnya, bagaimana ganja jadi tanaman penyelamat dunia atau bagaimana ganja dalam sistem politik ekonomi internasional. Hikayat Pohon Ganja juga mampu menggugah nalar tentang kriminalisasi tanaman sejuta manfaat ini.
'Mengamankan buku'
Meminjam bahasa kepolisian, aksi 'mengamankan buku Hikayat Pohon Ganja' nyata banyak terjadi. Advokat ganja yang juga aktivis LGN, Singgih Tomi Gumilang menceritakan kepada VOI sejumlah kasus penyitaan buku Hikayat Pohon Ganja yang ia temui di lapangan.
"Temuan kita saat beracara membela klien di pengadilan, ternyata banyak juga aparat penegak hukum yang turut membawa buku Hikayat Pohon Ganja untuk disita," tutur Sitomgum, sapaan familiarnya.
Di antara kasus-kasus yang disebut Tomi adalah penangkapan seniman Sathya Wiku Narabudhi di Bali; pencomotan seniman tatto, Ardian Aldiano di Surabaya; hingga kasus mahasiswa bernama Haidar Baqir Azhar di Bekasi. Mereka, pengguna terliterasi.
"Ini menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia sudah membuka diri untuk menerima keadaan bahwa ganjalah kesehatan, ternyata bukan sekadar mitos belaka pada hari ini."
Dhira Narayana, penyusun buku Hikayat Pohon Ganja sekaligus Ketua LGN bicara senada. Kata Dhira hari ini banyak yang mengonsumsi ganja karena terdorong asas manfaatnya. Sayang, banyak juga dari mereka dipenjara karena kebijakan ganja yang Dhira nilai keliru.
"Ada 50 ribu lebih warga Indonesia yang dipenjara karena kasus penggunaan ganja. Oke, menurut UU mereka salah. Tapi kalian juga tahu, dong, banyak dari mereka yang memanfaatkan ganja untuk hal positif. Membantu mereka tidur, mengurangi depresi, untuk relaksasi, untuk pengobatan, macam-macam," tutur Dhira, dikutip VOI, Jumat, 18 Juni.
Masalah kebijakan narkotika
Soal kebijakan narkotika, perkara ini sudah lama jadi sorotan banyak pihak. Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah dianggap usang. UU ini telah lusuh. Dalam konteks pemanfaatan tanaman ganja, ia telah kehilangan relevansinya.
Sebagaimana diulas dalam TULISAN SERI berjudul Asal Muasal UU Narkotika dan Segudang Masalah di Baliknya, sejak awal, UU 35/2009 adalah masalah. Ia tak pernah dilahirkan secara daulat oleh pemerintah Indonesia.
UU 35/2009 lahir dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1961. Kala itu, PBB menetapkan sebuah produk hukum yang wajib diratifikasi oleh Indonesia dan negara-negara anggota PBB lainnya.
Bagi Indonesia, ratifikasi itu otomatis mencabut hukum kolonial Verdoovende Middelen Ordonnantie, digantikan dengan UU 9/1976. Sejak itu, pemidanaan terhadap pengguna narkoba dimulai. Ganjarannya tak main-main. Dari penjara hingga tiket ke alam baka.
Setelahnya, Indonesia kembali mengubah hukum nasional tentang narkotika. Acuannya sama: konvensi PBB. Beberapa kali kebijakan narkotika Indonesia mengalami penyesuaian. Sayangnya tak signifikan karena tetap mengacu konvensi. Ganja haram. Titik.
Bahkan ketika Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghapus ganja dari daftar obat berbahaya di dunia. Indonesia hingga hari ini tetap saja melandasi diri dengan kebijakan lama.
Pada Desember 2020 lalu, Komisi Narkotika PBB menyetujui rekomendasi World Health Organization (WHO) untuk menghapus ganja dan resin ganja dari Agenda IV di bawah Konvensi Tunggal 1961 tentang Narkotika. Ganja dan salah satu turunannya ditempatkan dalam kategori yang sama dengan heroin dan opioid lainnya.
Oleh pengklasifikasian itu, ganja dianggap tidak hanya "sangat adiktif dan sangat bertanggung jawab atas kejahatan," tetapi juga diberi label "sangat berbahaya dan nilai medis atau terapeutiknya sangat terbatas."
Pengakuan PBB ini jadi awal penting melegitimasi manfaat ganja bagi kesehatan. Langkah ini sebagian besar bersifat simbolis dan mungkin tidak berdampak langsung pada cara pemerintah mengontrol narkotika. Tapi bisa memberi dorongan pada upaya legalisasi ganja medis di negara-negara yang meminta panduan PBB.
"Semoga buku ini bisa memberikan pencerahan bagi siapapun yang menguasainya. Dan semoga buku ini juga bisa memberikan inspirasi untuk perubahan kebijakan yang baru. Karena kebijakan kita yang sekarang, percuma," tutur Dhira.
"Percaya deh, kebijakan yang sudah berlaku 12 tahun di Indonesia ini tidak mengubah situasi narkotika kita sedikit pun. Yang ada hanya penangkapan, penangkapan, penangkapan lagi, yang ujungnya kita enggak tahu apa. Jadi tidakkah ini waktu yang tepat untuk kita merevisi kebijakan narkotika kita?"
*Baca Informasi lain soal LEGALISASI GANJA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada dan Yudhistira Mahabharata.