JAKARTA - Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memangkas enam tahun hukuman eks jaksa Pinangki Sirna Malasari. Salah satu pertimbangan hakim adalah karena Pinangki seorang ibu dari balita berusia empat tahun. Ibu dan pemenjaraan. Masih ingat kasus Rismaya yang harus mendekam di penjara bersama bayinya yang sepuluh bulan?
Kasus Rismaya terjadi pada tahun 2016. Rismaya yang kala itu berusia 35 tahun menjadi tersangka kasus pencurian emas milik seorang warga Kajuara, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone, Sulawesi Tengah bernama Waris.
Bayi Rismaya, Muh Amin yang saat itu berusia sepuluh bulan harus ikut 'hidup' di sel karena keterantungannya pada ASI Rismaya. Kala itu anggota Komisi III DPR RI Akbar Faizal --yang mengajukan diri sebagai penjamin-- menceritakan kondisi Rismaya dan bayinya.
Dilansir Jawa Pos, saat itu si bayi, Muh Amin kurang lebih telah empat bulan menjalani kehidupan miris dengan Rismaya yang berada di dalam penjara. Menurut Akbar Faizal, Muh Amin setiap hari di antar bolak-balik ke sel untuk menyusu dari Rismaya.
Kisah ini jadi lebih miris karena suami Rismaya, Sutejo, yang merupakan ayah dari Muh Amin juga ditahan karena kasus kecelakaan lalu lintas. Dalam persidangan terungkap Rismaya sebelumnya menumpang di rumah Waris.
Rismaya mengaku bersalah dan mengatakan nekat mencuri emas Waris karena himpitan masalah ekonomi menyusul penahanan suaminya. Kebutuhan Rismaya tak muluk. Ia mengaku butuh uang untuk beli susu.
Di sisi lain Akbar Faizal mengatakan kejaksaan mengaku tak tahu “ibu ini punya anak kecil dan juga tak tahu kalau suaminya juga bermasalah secara hukum saat ibu ini diproses.”
Beda Rismaya lain Pinangki
Jadi putusan terhadap Pinangki ini adalah lanjutan dari upaya banding yang diajukan Pinangki terhadap vonis majelis hakim pengadilan tipikor. Sebelumnya Pinangki dijerat hukuman penjara sepuluh tahun. Dari sepuluh, kini hukuman Pinangki jadi empat tahun untuk kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, serta pencucian uang.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp600 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," tertulis dalam laman putusan Mahkamah Agung (MA), Senin, 14 Juni.
Putusan itu diambil ketua majelis hakim Muhammad Yusuf, dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik. Ada sejumlah pertimbangan yang diambil majelis hakim hingga mereka memangkas lebih dari separuh masa hukuman terhadap Pinangki.
Pertama, Pinangki dikatakan mengaku bersalah dan menyesali perbuatan serta ikhlas dipecat dari profesi jaksa. "Oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik," tertulis dalam pertimbangan. Faktor lainnya adalah status Pinangki yang merupakan ibu dari seorang balita berusia empat tahun.
"... layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan."
Pertimbangan lain, hakim menyebut sebagai seorang wanita Pinangki harus mendapat perhatian, perlindungan dan berhak diperlakukan dengan adil. "Bahwa perbuatan Terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini."
"Bahwa tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat."
Pelecehan nalar publik
"Benar-benar keterlaluan," ungkap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Bagi Kurnia keputusan pemangkasan hukuman bagi Pinangki amat tak masuk akal. Pun dengan segala pertimbangan yang dituturkan hakim.
Menurut Kurnia, Pinangki justru seharusnya dihukum lebih berat hingga 20 tahun atau seumur hidup. Ada standar yang terbalik dalam pertimbangan hakim. Bukan status ibu apalagi faktor gender yang dipertimbangkan.
Hakim seharusnya mempertimbangkan status Pinangki sebagai penegak hukum dalam kasus ini. "Betapa tidak, Pinangki semestinya dihukum lebih berat, 20 tahun atau seumur hidup, bukan justru dipangkas dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara," ucap Kurnia.
Terkait putusan banding Pinangki ini, Kurnia mengatakan jaksa penuntut harus segera mengajukan kasasi. Hal ini perlu dilakukan untuk membuka kemungkinan hukuman lebih berat untuk Pinangki. Kurnia juga mendorong MA mengawasi proses kasasi itu nantinya.
"ICW meyakini, jika tidak ada pengawasan, bukan tidak mungkin hukuman Pinangki dikurangi kembali, bahkan bisa dibebaskan," ucap Kurnia.
Kasus Pinangki
Dalam perkara ini Pinangki terbukti melakukan tiga tindak pidana. Pertama Pinangki terbukti menerima suap 500 ribu dolar AS dari terpidana kasus "cessie" Bank Bali, Djoko Tjandra.
Suap diberikan agar Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa perlu dieksekusi. Djoko Tjandra pada waktu itu tengah dalam jerat hukuman dua tahun penjara berdasar putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 yang tertanggal 11 Juni 2009.
Dalam membantu Djoko Tjandra, Pinangki ikut menyusun "action plan", meminta fatwa MA terkait putusan PK Djoko Tjandra dengan mencantumkan inisial "BR", yakni Burhanuddin sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan "HA", yaitu Hatta Ali selaku pejabat di MA.
Rencana itu gagal karena polisi lebih dulu menangkap Djoko Tjandra. Djoko Tjandra sendiri sudah divonis 2,5 tahun penjara karena terbukti memalsukan surat jalan, surat keterangan pemeriksaan COVID-19 dan surat rekomendasi kesehatan untuk masuk ke Indonesia.
Dalam kesepakatan, sejatinya Djoko Tjandra harus membayar 10 juta dolar AS. Namun uang yang masuk ke Pinangki baru uang muka sebesar 500 dolar AS. Perbuatan pidana Pinangki yang kedua adalah pencucian uang.
Pinangki diketahui melakukan pencucian uang dengan nilai 375.279 dolar AS atau setara Rp5.253.905.036. Uang tersebut jadi bagian dari suap yang diberikan Djoko Tjandra. Ada beberapa cara yang dilakukan Pinangki dalam pencucian uang.
Beberapa di antaranya dengan membeli mobil BMW X5 warna biru. Selain itu pencucian uang juga dilakukan untuk menyewa apartemen di Amerika Serikat (AS), bayar dokter kecantikan di AS, membayar dokter 'home care' hingga pembayaran kartu kredit.
Perbuatan pidana ketiga, Pinangki terbukti terlibat permufakatan jahat bersama Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra. Ketiganya terbukti menjanjikan sesuatu berupa uang 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejagung dan MA untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra yang tertuang dalam "action plan".
Sebelum banding, jaksa penuntut dari Kejaksaan Agung menuntut Pinangki dengan penjara empat tahun ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Majelis hakim Tipikor PN Jakarta Pusat beranggapan tuntutan itu terlalu rendah.
Majelis hakim yakin Pinangki layak dihukum lebih berat karena profesinya sebagai penegak hukum. 8 Februari, majelis hakim Tipikor PN Jakarta Pusat memvonis Pinangki hukuman sepuluh tahun penjara, ditambah denda Rp600 juta subsider enam bulan kurungan.
Pertimbangan lain memperberat hukuman Pinangki saat itu adalah karena Pinangki dianggap tidak mendukung pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pinangki dianggap kerap mempersulit proses peradilan.
"Terdakwa berbelit-belit, menyangkal dan menutup-nutupi keterlibatan pihak lain dalam pekara a quo, tidak mengakui perbuatannya dan sudah menikmati hasil pidana yang dilakukannya," ungkap Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto membacakan amar putusan pada 8 Februari.
*Baca Informasi lain soal HUKUM atau baca tulisan menarik lain dari Indra Hendriana dan Yudhistira Mahabharata.