JAKARTA - Kabar penundaan uji coba Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di beberapa sekolah akibat meningkatnya kasus COVID-19 menjadi sorotan. Tak sedikit orang yang khawatir merebaknya klaster sekolah. Padahal, sekolah adalah tempat yang seharusnya paling akhir ditutup saat pandemi memburuk dan paling pertama dibuka ketika pandemi mereda. Lantas seberapa besar risiko menjalankan belajar tatap muka di tengah memburuknya kasus corona?
Sejumlah sekolah yang sempat berencana menggelar sekolah tatap muka pun batal karena kasus COVID-19 meningkat. Di Jakarta menurut pemberitaan, ada empat sekolah yang menunda pelaksanaan uji coba PTM. Empat sekolah tersebut yakni SMAN Unggulan MH Thamrin, SDN 08 Kenari, Madrasah Ibtidaiyah RPI, dan Jakarta Islamic School (JIS) Kelapa Dua Wetan.
Pihak sekolah punya alasan tersendiri mengapa menunda PTM. MH Thamrin misalnya menunda karena kasus COVID-19 masih tinggi di daerah tersebut. Sedangkan Madrasah Ibtidaiyah karena belum mendapat izin orang tua murid.
Menurut Dinas Pendidikan DKI Jakarta, sebanyak 226 sekolah melaksanakan PTM. Jumlah tersebut terdiri dari jenjang sekolah dasar sampai menengah.
Polemik sekolah fisik
Polemik pembelajaran tatap muka menjadi sorotan khalayak. Salah satunya datang dari Dokter sekaligus Penyanyi Tompi. Lewat akun Twitternya Tompi menyebut uji sekolah tatap muka masih ngaco.
Menurutnya uji coba sekolah tatap muka perlu menerapkan protokol kesehatan super ketat. Kalau masyarakat belum siap mengubah kebiasaan, kata Tompi, jangan melakukan uji coba sekolah tatap muka terlebih dahulu.
"Perlu ada protokol super ketat bukan uji coba seolah enggak ada covid. Kalau masyarakat belum siap mengubah kebiasaannya jangan uji coba dulu," tulis Tompi.
Sebelum berita meningkatnya kasus COVID-19 mencuat, informasi beredarnya varian baru virus corona ramai di ruang publik. Namanya Varian Delta. Varian ini ditengarai berasal dari India.
Seperti dijelaskan Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Zubairi Djoerban lewat akun Twitternya, varian baru virus corona ini menginfeksi lebih banyak pada anak-anak. Selain itu ciri-ciri varian baru ini juga adalah lebih cepat menular dan gejalanya mirip flu biasa. Ada bukti yang menunjukkan kalau gejala varian ini berbeda dengan varian covid lama, seperti demam batuk, dan kehilangan penciuman.
Sedangkan gejala varian delta menurut Zubairi yakni lebih banyak sakit kepala, tenggorokan dan pilek. "Seperti kena flu berat," kata dia.
Zubairi menjelaskan varian ini paling banyak ditemukan di Jakarta dan Jawa Tengah. Setidaknya menurut dia per 16 Juni sudah ada 104 kasus. Varian ini disebut lebih cepat menular karena memiliki mutasi yang membantunya menyebar sekaligus menghindari sistem imunitas secara parsial.
Teka-teki Varian Delta dari India atau B1617.2 terus menjadi bahasan. Mulai dari gejalanya yang mirip flu biasa, lebih menular, hingga menginfeksi lebih banyak anak-anak. Pertanyaan besarnya: apakah vaksin yang ada melindungi kita dari Varian Delta?
Ini penjelasan saya:
— Zubairi Djoerban (@ProfesorZubairi) June 16, 2021
Potensi penyebaran kecil
Seperti dikutip Worldometer, kasus pandemi COVID-19 per 15 Juni mencapai 8.161 kasus harian. Jumlah tersebut jauh lebih banyak dibanding Selasa minggu lalu yang mencapai 6.294.
Meningkatnya jumlah kasus COVID-19 membuat banyak pihak khawatir munculnya klaster sekolah. Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra, Abdul Muhaimin Iskandar (Gus AMI) misalnya mengingatkan pentingnya kesiapan protokol kesehatan (prokes) di sekolah jelang rencana dimulainya pembelajaran tatap muka (PTM) Juli 2021 mendatang. "Jangan sampai sekolah menjadi klaster baru penularan kasus Covid-19," kata Gus AMI dalam keterangan tertulis.
Lantas seberapa parah potensi penyebaran COVID-19 di sekolah? Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman punya jawabannya.
Kepada VOI mulanya Dicky menerangkan bahwa Indonesia sebetulnya sudah kesulitan dalam melacak klaster. Penyebabnya karena sudah terlalu banyak klaster yang tidak diselesaikan.
"Sudah sulit melacak klaster yang sudah kusut. Itulah sebabnya Indonesia sudah termasuk dalam level community transmission selama setahun lebih. Itu artinya negara itu enggak bisa mendeteksi mayoritas klaster," kata Dicky.
Untuk itu kata Dicky kita tak boleh sembarangan ketika menyebut klaster COVID-19 tertentu. "Makanya harus hati-hati ketika menetapkan oh ini klaster sekolah, klaster wisata. Dasarnya apa? bukan hanya karena kesamaan tempat dan waktu saja. Karena memang sulit ya kecuali dilakukan oleh epidemiolog yang terlatih."
Meski begitu Dicky tak menampik bahwa kemungkinan klaster sekolah itu ada. "Tapi kecil sekali 0.03 persen secara studi. Potensi kasusnya sangat kecil."
Urgensi membuka sekolah
Epidemiolog Dicky Budiman bilang kalau membuka sekolah itu merupakan prioritas utama. Menurut dia sekolah punya fungsi yang unik dalam pandemi. Bahkan menurutnya sekolah boleh ditutup ketika suatu wilayah sudah dinyatakan lockdown.
"Kalau di suatu wilayah tidak ada lockdown sekolah harus dibuka dengan pengaman. Jadi salah besar kalau ada pemahaman sekolah harus ditutup untuk menjaga itu salah besar. Sebab masalah sekolah bukan hanya masalah kesehatan, ada masalah generasi, masa depan satu bangsa. Ini yang harus dipertimbangkan oleh semua daerah," jelas Dicky.
Sementara itu, Pengamat Pendidikan Doni Koesoma mengamini bahwa pembelajaran tatap muka di sekolah adalah hal yang utama. Sebab hal itu merupakan bagian penting proses pendidikan yang tak tergantikan oleh pembelajaran daring. "Maka,pembelajaran tatap muka harus dilihat sebagai sarana utama pendidikan," kata Doni kepada VOI.
Sebaliknya, kata Doni belajar daring bukanlah kodrat pendidikan. "Belajar dalam perjumpaan itu sejatinya pendidikan. Tapi dalam keadaan tertentu belajar daring dapat bermanfaat dalam situasi tertentu, seperti saat situasi pandemi covid-19.
Doni bilang, dampak jangka panjang belajar daring dapat memengaruhi psikososial anak. "Anak tak mengenal sekolah, guru dan teman-temannya. Padahal perjumpaan adalah proses pendidikan yang otentik."
Namun Doni tetap mengingatkan kalau di suatu wilayah mengalami penyebaran pandemi parah, maka hal itu tak perlu dipaksakan. "Intinya kalau zona merah dan oranye jangan memaksa membuka sekolah."
Senada, Epidemiolog Dicky Budiman juga mengatakan bahwa belajar tatap muka perlu persiapan yang matang. Setidaknya ada tiga jenis indikator yang harus dipenuhi: kesehatan, pendidikan, dan sosial.
"Sekolah juga harus ada pendampingnya, dalam hal ini bisa puskesmas, klinik dan lainnya. Karena pandemi ini situasi yang dinamis, harus terus dievaluasi dan dimonitor berkala, dan terus dikombiniasikan dengan aspek lainnya, kesehatan mental, pendidikannya, sosialnya juga," pungkasnya.
*Baca informasi tentang PENDIDIKAN atau tulisan menarik lainnya dari Ramdan Febrian.