JAKARTA – Penetapan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (24/12). Penetapan tersangka Hasto disebut masih berkaitan dengan Harun Masiku yang sampai sekarang masih buron.
KPK menetapkan Hasto sebagai pelaku dugaan tindakan suap terhadap Komisioner Komisi pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan. Hast diduga berperan dalam menyediakan uang suap untuk membantu pelarian Harun Masiku, kader PDIP yang menjadi tersangka kasus yang sama.
Selain suap, KPK juga menjerat Hasto sebagai tersangka perintangan penyidikan atau obstruction of justice (OOJ).
Meskipun telah berstatus tersangka, hingga kini Hasto belum ditahan oleh KPK. Media sosial lantas ramai dengan opini pro dan kontra warganet. Sementara itu media pemberitaan menyajikan berbagai macam sudut pandang terkait kasus ini.
Megawati jadi Sorotan
Dengan menggunakan kata kunci ‘hasto’ selama periode 24 hingga 30 Desember 2024, Netray menemukan sebanyak 2,4 ribu artikel berita mengandung kata kunci tersebut. Pemberitaan dibanjiri dengan sentimen negatif sebanyak sebanyak 1.168 artikel, dibandingkan dengan sentimen positif yang hanya muncul sejumlah 304 artikel.
Pemberitaan juga begitu masif hingga mencapai 723 artikel pada hari penetapan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka, namun setelahnya pemberitaan mulai berkurang sedikit demi sedikit hingga akhir periode pemantauan.
Netray juga memanfaatkan fitur Hot Issue yang memungkinkan untuk melihat topik yang paling sering muncul di artikel berita. Semakin besar penampakan topik, semakin sering pula media massa daring membuat berita yang membahas topik tersebut. Hasilnya, nama Megawati Soekarnoputri menjadi pusat sorotan media pemberitaan, terlihat namanya menonjol pada gambar di atas.
“Sebagai Ketua Umum PDIP, Megawati disebut berusaha melindungi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dengan berjanji akan turut mendatangi KPK jika Hasto benar-benar ditangkap,” demikian ditulis Netray.
Isu lain yang mencuat adalah dugaan keterlibatan Megawati dalam kasus Harun Masiku. Namun, Ketua DPP PDIP, Said Abdullah, dengan tegas membantahnya, meyakini bahwa Megawati tidak akan dipanggil oleh KPK.
Di sisi lain, Hasto merespons penangkapannya dengan sikap tunduk pada proses hukum yang berlaku. Yang menjadi perhatian, ia membandingkan dirinya dengan Presiden Pertama Indonesia Soekarno, yang pernah dipenjara oleh penjajah demi perjuangan kemerdekaan. Menurut Hasto, masuk penjaga adalah bagian dari pengorbanan demi cita-cita besar.
Tapi pernyataan Hasto dikecam oleh Didi Mahardika Soekarno, cucu Bung Karno. Ia menilai klaim Hasto tidak relevan dan mengandung logika sesat.
Klaim itu juga dikritik pengamat politik Jerry Massie. Ia menegaskan Hasto Kristiyanto tidak bisa disamakan dengan Bung Karno yang tak pernah terlibat dalam praktik-praktik seperti menyuap KPU atau melindungi pelaku kejahatan pemilu seperti Harun Masiku.
BACA JUGA:
Politikus PDIP lainnya, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly juga diperiksa sebagai saksi dalam kasus ini pada pertengahan Desember. Bersama Hasto, sekarang Yasonna menerima larangan bepergian ke luar negeri dari KPK.
Kendati demikian, pengamat intelijen Connie Rahakundini menilai penetapan Hasto sebagai tersangka oleh KPK terasa janggal. Ia juga mengklaim hal ini sudah disetting sejak lama. Seolah jadi orang kepercayaan Hasto, Connie mengaku dititipi sejumlah dokumen penting milik Sekjen DPI tersebut menjelang kabar penetapan sebagai tersangka KPK
Hasto Dianggap Jahat dan Settingan Buzzer
Netray juga mencoba menilik opini warganet terkait kasus ini melalui media sosial X, yang dulunya Twitter. Rupanya isu ini mendapat banyak perhatian warganet. Buktinya unggahan yang muncul sebanyak 83,6 ribu dari 11,8 akun.
“Intensitas unggahan terkait topik ini tampak naik turun. Ketika awal periode pemantauan yakni tanggal 24 Desember 2024, atau saat hari pengumuman status tersangka Hasto Kristiyanto oleh KPK, unggahan warganet belumlah terlalu banyak, hanya menyentuh angka 3,6 ribu unggahan. Kemudian hari berikutnya langsung melonjak ke 15,5 unggahan,” Netray melaporkan.
Sampai akhir periode pemantauan, intensitas unggahan ada di rentang jumlah 10 ribu dan 16 ribu per hari. Dengan jumlah tertinggi pada 27 Desember yang membuktikan bahwa warganet sangat tertarik topik ini.
Opini mereka pun beragam, ada yang pro mendukung Hasto tak bersalah, namun tidak sedikit juga yang kontra menganggap Hasto adalah gembongnya para koruptor.
Akun @JhonSitorus_18 menyebut penetapan ini adalah salah satu bentuk usaha balas dendam terhadap PDIP. John menganggap ini terjadi setelah Jokowi sekeluarga dipecat dari partai berlambang banteng moncong putih ini.
Sementara itu, akun lainnya, @alisyarief mempertanyakan dasar KPK menetapkan Hasto sebagai tersangka. Menurut dia, konspirasi antara Harun Masiko dan Hasto adalah urusan mereka berdua, sehingga menganggap ini adalah kriminalisasi.
Yang menarik, tanda pagar atau tagar #JokowiBencanaNasional menjadi perbincangan hangat di X, bahkan mengungguli tagar lainnya. Warganet yakin, penetapan tersangka Hasto tidak lebih dari strategi politik Jokowi.
Tagar populer lainnya adalah #TurunkanPaksaFufufafa yang juga menjadi perbincangan dan muncul berdampingan dengan #JokowiBencanaNasional.
Menariknya, akun @4ntita1p4N_PIK2 mengungkap adanya dugaan pergerakan buzzer yang mendukung Hasto Kristiyanto. Mereka diduga menyebarkan tiga narasi utama: pertama, membangkitkan kembali isu kenaikan PPN menjadi 12 persen; kedua, mengklaim bahwa penetapan Hasto sebagai tersangka hanyalah pengalihan isu dari kenaikan PPN; dan ketiga, menyebut kasus Hasto sebagai bentuk kriminalisasi oleh Jokowi terhadap pemerintahan Prabowo.
Penetapan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus Harun Masiku memicu sorotan besar baik dalam media pemberitaan maupun media sosial. Media menyoroti Megawati dan respons kontroversial Hasto, sementara warganet ramai membahas isu kriminalisasi dan konspirasi politik melalui tagar populer seperti #Jokowibencananasional. Kasus ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara hukum, politik, serta opini publik di Indonesia.