Bagikan:

JAKARTA - Kita tahu skripsi merupakan salah satu syarat mahasiswa untuk menyabet gelar sarjana. Selalu ada cerita di balik proses membuat skripsi. Tapi pertanyaan mendasar yang kerap dilontarkan khalayak yakni: mengapa skripsi harus menjadi syarat kelulusan calon sarjana? Apa gunanya untuk kehidupan ketika sudah bermasyarakat kelak?  

Baru-baru ini, lini masa Twitter ramai membahas soal skripsi. Muasalnya dari pemilik akun @icecoldnovember. "Skripsi ini akal-akalan orang mana sih," tulisnya pada 14 Juni 2021. Twit ini mendapat lebih dari 19 ribu retweet dan ditanggapi ratusan warganet.

Cerita-cerita balada mengerjakan skripsi pun bermunculan. Banyak warganet yang mengaku kalau skripsi tak hanya menghabiskan waktu, tapi juga menguras tenaga fisik dan mental. Tak sedikit yang mengeluhkan panjangnya proses merampungkan tantangan akhir bagi para calon sarjana ini.

"Abis sidang yang ternyata gitu doang. Eh jangan bahagia dulu anda ngurus revisian minta tanda tangan ini ono ngurus wisuda aktivasi keuangan, validasi perpus itu lebih menantang lebih mengesalkan lebih parah pusingnyaaa," tulis salah satu pengguna Twitter.

Pengguna lainnya menyemangati mahasiswa untuk menikmati proses yang ada. Baginya, semua proses panjang nan melelahkan itu akan terbayar kontan.

"Nikmatiiiii. Pas keluar dari ruang sidang rasanya lega banget, terbayar semua perjuangannya. Dan suatu hari bakal kangen masa masa sulit pas skripsi. Semangat pejuang skripsi," timpal pengguna Twitter lainnya. Lantas mengapa skripsi ini begitu penting sehingga dijadikan syarat kelulusan sarjana?

Pentingnya metode ilmiah

KBBI versi daring mengartikan skripsi sebagai karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya. Skripsi menentukan kelayakan mahasiswa menerima gelar sarjana. 

Selama pengerjaan, mahasiswa mendapatkan pendampingan dari dosen pembimbing. Mahasiswa pertama kali mengajukan proposal skripsi, melakukan penelitian sampai akhirnya memasuki tahap sidang skripsi.

Skripsi mendorong mahasiswa untuk berpikir terstruktur dan akrab dengan metode ilmiah sehingga pemecahan suatu masalah dapat dipertanggungjawabkan. Tidak semata-mata mengandalkan asumsi semata. 

Di sini mahasiswa berhadapan banyak atas teori. Namun, apakah teori itu sebatas hipotesis atau telah diuji keabsahannya?

Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Pahlawan nasional Tan Malaka dalam buku Materialisme, Dialektika dan Logika, pernah menerangkan hal semacam ini. Menurutnya, teori dan problem memiliki asal yang sama, namun berbeda dalam terjemahan dalam bahasa Belanda dan Inggris. Teori bisa didefinisikan sebagai satu hipotesis yang sudah diuji dalam bahasa Inggris.

Hipotesis dapat diartikan sebagai prasangka, kepercayaan, paham sementara yang belum nyata kebenarannya. Bagi Tan Malaka, yang terpenting adalah metode atau cara yang dijalankan untuk menguji benar atau tidaknya suatu teori. Ia merangkum tiga metode yang dipakai, yaitu metode sintesis, metode analitis, dan metode reductio ad absurdum

"Sifat atau metode cara sintesis itu memasang teori yang sudah dikenal, sampai teori yang mesti diuji nyata kebenarannya. Kita berjalan dari yang dikenal kepada yang baru. Kita pasang segala teori yang sudah dikenal guna menyatakan yang belum dikenal seolah-olah kita berjenjang naik. Sebaliknya kita pakai jalan analitis, kita berlaku sebaliknya. Kita bertangga turun," tulis Tan Malaka. Setelah mengetahui mengapa skripsi atau proses berpikir ilmiah ini penting, lantas apa gunanya untuk kehidupan sehari-hari nantinya?

Pentingnya komitmen

Untuk menjawab hal itu, Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Prancis Universitas Brawijaya Lusia Neti Harwati punya jawabannya. Menurutnya salah satu elemen penting dari skripsi adalah mahasiswa belajar memiliki komitmen. Apalagi di tengah pandemi COVID-19 seperti sekarang ini yang membuat situasi semakin sulit. 

"Dari awal, saya akan bertanya kepada mahasiswa bersangkutan, mau lulus target satu atau dua semester? Saya meminta komitmen, mau bimbingan berapa kali, saya memiliki waktu di semester ini, di hari ini. Jadi, kesepakatan sudah jelas," kata Lusia kepada VOI.

Ia mengakui bahwa pandemi Covid-19 menambah tekanan terhadap mahasiswa dalam mengerjakan skripsi. Interaksi mahasiswa berkurang karena harus membatasi pertemuan tatap muka demi menghindari penularan Covid-19. Segalanya dikerjakan secara daring, di sisi lain, interaksi manusia seperti berdiskusi langsung antarteman penting untuk mendukung penyelesaian skripsi.

"Misalnya mahasiswa di kampus ada teman untuk diskusi, ada dosen untuk bertemu langsung, tetapi akhirnya daring. Human touch tidak ada, ini sangat mempengaruhi," katanya.

Pengerjaan skripsi yang terus ditunda berakibat pada masa studi mahasiswa yang bertambah lama untuk dapat diwisuda. Sementara itu, perguruan tinggi memberikan batas waktu masa studi hanya paling lama 14 semester atau 7 tahun. 

Menghadapi mahasiswa seperti ini, Lusia mengatakan dirinya lebih mengingatkan kembali, bahwa salah satu tolak ukur mahasiswa adalah mampu menyusun karya ilmiah. Di samping itu, ada wadah khusus untuk saling sharing kendala mahasiswa dan bantuan apa yang dapat diberikan dosen. 

Bagi Lusia, kemampuan akademis mahasiswa tidak selalu tentang menulis karya tulis ilmiah, tetapi berpikir logis dan kritis. Salah satu medianya adalah skripsi. 

Ketika lulus, orang barangkali jarang menanyakan skripsi si mahasiswa. Namun, dari skripsi, mahasiswa akan memperoleh pengalaman bagaimana ia mampu belajar mengatur waktu, menjaga pola komunikasi dan interaksi yang nantinya lebih banyak diperlukan ketika terlibat dalam masyarakat.

*Baca Informasi lain soal PENDIDIKAN atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian.

BERNAS Lainnya