Bagikan:

JAKARTA - Beli mobil tanpa pajak, beli sembako dikenai pajak. Kebijakan pajak terbaru pemerintah jadi sorotan. Bahkan temuan terbaru menunjukkan jasa pendidikan juga akan dikenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Dalam kebijakan terbaru yang berlaku per 1 Maret lalu, pemerintah memberi insentif untuk sektor industri otomotif. Kebijakan itu berupa diskon pajak hingga 100 persen atau pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mulai nol persen untuk pembelian mobil baru.

Pajak berlaku untuk mobil berkapasitas isi silinder sampai 1.500 cc dan tingkat komponen dalam negeri minimal 70 persen. Insentif dibagi tiga tahap: PPnBM nol persen di Maret-Mei, PPnBM 50 persen Juni-Agustus, dan PPnBM 25 persen pada periode September-Desember.

Insentif berhasil memancing gairah. Terbukti, penjualan dan produksi mobil dalam negeri meningkat pesat kuartal I tahun 2021. Namun dalam kebijakan yang terbaru pemerintah justru mematok tarif pajak untuk sembako lewat pajak pertambahan nilai (PPN).

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Rencana itu tertuang dalam revisi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan (KUP) yang beredar luas. Pada Pasal 4A, pemerintah terlihat menghapus beberapa jenis barang yang tak dikenai PPN.

Salah satu yang dihapus dari ketentuan itu adalah sembako. Artinya sembako akan dikenakan PPN dengan besaran 12 persen. Jika hajat pemerintah mulus, PPN sembako itu akan mulai berlaku pada tahun depan.

Sembako diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017. Sembako meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.

Dan tak cuma sembako. Pemerintah juga akan memungut tarif PPN untuk jasa pendidikan atau sekolah. Itu tercantum dalam draf KUP yang sama, di mana pemerintah menambahkan jenis jasa pendidikan ke dalam sektor yang ditarik PPN. Dan soal angka 12 persen itu duatur dalam Pasal 7 ayat 1. Kenaikan nilai dari besaran yang semula 10 persen.

Kapitalisme oleh negara

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama seorang nelayan (Instagram/@jokowi)

Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah melihat kebijakan ini sebagai praktik kapitalisme oleh negara. Dan pemerintah Joko Widodo (Jokowi) atau siapapun itu tak bisa melakukan ini. Indonesia tak seperti Amerika Serikat, Jerman, atau Inggris yang menganut sistem ekonomi kapitalis.

Indonesia menganut sistem ekonomi campuran yang disebut sistem ekonomi Pancasila. Ada alasan-alasan kenapa Indonesia menerapkan sistem ekonomi ini. Faktor internal, di antaranya lokasi geografis, kondisi fisik, jumlah, serta kualitas sumber daya alam dan manusia.

Selain itu ada juga faktor eksternal, yaitu perkembangan teknologi, kondisi perekonomian, politik dunia, serta keamanan global. Dari kondisi-kondisi itu, dipilihlah sistem ekonomi Pancasila karena di dalamnya terdapat makna demokrasi ekonomi. Kita bedah karakteristiknya.

Karakteristik pertama, kegiatan ekonomi Indonesia merupakan kegiatan bersama dalam asas gotong royong dengan mengedepankan hubungan kekeluargaan. Kedua, cabang produksi yang bersifat strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara.

Dan segala penguasaan produksi barang strategis, baik yang ada di tanah dan air Nusantara dimanfaatkan semata-mata untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya, kegiatan ekonomi yang dilakukan wajib memenuhi prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Selain itu, untuk memastikan asas keadilan, pemerintah wajib mengawasi segala kegiatan swasta --secara umum-- untuk menghindari praktik kecurangan, seperti penipuan, monpoli, serta gangguan mafia perdagangan. Secara sederhana, sistem ekonomi Pancasila tak merestui segala bentuk eksploitasi, apalagi terhadap rakyat.

"Indonesia enggak bisa mengeksploiasitasi rakyatnya. Indonesia bukan negara kapitalis. Kita tidak dibangun dengan cara itu. Kita kan dibangun lewat kesepakatan. Jadi dengan alasan apapun enggak bisa. Jadi yang dipajakin itu hal hal yang sifatnya tidak menyangkut kebutuhan dasar," tutur Trubus, dihubungi VOI, Kamis, 10 Juni.

"Itu kebijakan publik yang bertentangan dengan UUD 45. Negara kita ini kan negara yang istilahnya itu urusan hidup hajat orang banyak itu tanggung jawab negara. Pendidikan dan sembako itu enggak boleh dipajakin," Trubus menegaskan ucapan sebelumnya.

Alasan PPN sembako

Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan landasan pengenaan PPN pada sembako. Menurut Prastowo banyak negara dunia yang saat ini memikirkan optimalisasi pajak demi keberlanjutan. Salah satunya penyesuaian PPN.

"Ada 15 negara yg menyesuaikan tarif PPN untuk membiayai penanganan pandemi. Rerata tarif PPN 127 negara adalah 15,4 persen. Kita sendiri masih 10 persen," Prastowo dalam penjelasannya di media sosial Twitter.

Prastowo juga menjelaskan pemerintah telah mengkaji dan melakukan benchmarking dengan negara lain soal PPN. Hasilnya didapati bahwa 24 negara mematok tarif PPN di atas 20 persen, 104 negara di kisaran 11-20 persen, dan selebihnya di bawah 10 persen.

Prastowo menambahkan bahwa penerimaan PPN Indonesia belum optimal. Salah satu penyebabnya, menurut Yustinus adalah banyaknya pengecualian dan fasilitas. Bahkan dia menyebut Indonesia sebagai negara dengan pengecualian paling banyak.

"Intermezzo: saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!" tulis dia.

Tarik pajak supertinggi dari orang superkaya

Tentu saja ada, yaitu dengan menarik pajak supertinggi untuk orang-orang superkaya. Adilkah? Dalam perspektif ekonomi, tentu lebih adil. Kita tahu, Indonesia tumbuh sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

Setiap tahun, jumlah orang-orang super kaya --yakni mereka yang memiliki kekayaan bersih melebihi 1 juta dolar AS atau Rp14,2 miliar-- meningkat. Kondisi ini sejatinya dapat dimanfaatkan pemerintah lewat optimalisasi pendapatan pajak.

Pajak orang-orang super kaya itu harus dinaikkan. Cara ini dapat bermanfaat, mengingat defisit negara telah mencapai Rp553 triliun. Kami memahami anggaran pemulihan ekonomi nasional sebagai upaya menahan dampak pandemi jadi beban serius keuangan negara.

Dan jika lihat ke belakang, Indonesia juga mengalami resesi pertamanya sejak 1998, dengan penerimaan pajak hanya mencapai 89,25 persen atau Rp 1.019 triliun pada tahun lalu. Angka itu meleset 10 persen dari target Rp 1.198 triliun.

Melansir The Conversation, Kamis, 10 Juni, sebuah riset mendukung gagasan peningkatan pajak orang super kaya ini. Dan ada nilai tambah dari cara ini, yaitu Indonesia lebih berpeluang mengatasi ketimpangan.

Lewat pertambahan penerimaan pajak, pemerintah dapat mendistribusikan kembali kekayaan orang-orang superkaya itu lewat insentif atau bantuan sosial. Jumlah orang kaya di Indonesia terus meningkat seiring pemulihan ekonomi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani (Sumber: Setneg)

Sebuah studi yang dilakukan Knight Frank, perusahaan konsultan di London memprediksi ada 21.430 high net worth individual atau orang-orang dengan kekayaan lebih dari 1 juta dolar AS pada 2020.

Angka itu diprediksi meningkat hingga 110 persen menjadi 45.063 pada tahun 2025. Masih dari studi itu, ultra high net worth individual atau orang-orang dengan kekayaan bersih melebihi 30 juta dolar AS atau Rp434,5 miliar diprediksi berjumlah 673 orang.

Jumlah mereka di tahun 2025 akan meningkat pesat hingga 67 persen menjadi 1.125. Dengan angka itu Indonesia akan jadi negara dengan pertumbuhan jumlah individu super kaya tercepat di Asia. Ini jadi ironi.

Di waktu yang sama masalah kemiskinan di Indonesia makin gawat dalam tiga tahun belakangan. Pandemi mendampaki ini. Bulan September 2020, tercatat ada 27,5 juta orang miskin atau 10,19 persen dari seluruh populasi bangsa.

Koefisien Gini Indonesia juga naik, dari 0,3 di tahun 2000 menjadi 0,4 pada 2015. Hal itu sama saja dengan peningkatan ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Sebagai negara dengan masalah ketimpangan, Indonesia menempati nomor enam dalam eskalasi kegawatan di seluruh dunia.

Rasionya, empat orang terkaya di Indonesia mengantongi kekayaan lebih besar dari seratus juta orang paling miskin yang digabung. Dan seperti dikatakan Bhima, pajak adalah instrumen termujarab mengurangi ketimpangan pendapatan dan meredistribusi kekayaan kaum kaya ke miskin.

Kita memang bermasalah soal pajak

Indonesia punya masalah besar dalam pengelolaan pajak. Rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto alias perbandingan penerimaan pajak dengan keseluruhan ekonomi negara sangat rendah: 10,8 persen di tahun 2018.

Coba bandingkan dengan negara Asia Tenggara lain. Singapura dan Malaysia, misalnya, yang masing-masing mencatatkan rasio pajak terhadap PDB 13,2 persen dan 12,5 persen di tahun yang sama.

Hari ini Indonesia membebankan pajak penghasilan 30 persen bagi penduduk berpenghasilan lebih dari Rp500 juta per tahun. Angka ini jauh dari ideal. Negara lain, seperti Jepang dan Swedia menuntut pajak 60 persen bagi penghasilan warganya.

Sementara, di Amerika Serikat (AS), Presiden Joe Biden juga baru mengumumkan proposal menaikkan pajak pendapatan untuk orang-orang berpenghasilan lebih dari 1 juta dolar AS setahun.

Melihat kondisi-kondisi di atas, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan masih memiliki ruang untuk menaikkan pajak penghasilan hingga 45 persen atau 50 persen kepada orang-orang superkaya itu. Lakukanlah hal itu secara bertahap.

*Baca Informasi lain soal EKONOMI atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya