Bagikan:

JAKARTA - Kasus pelecehan seksual di ruang publik yang diduga dilakukan oleh seorang penyiar radio, Gofar Hilman menjadi perbincangan. Masalah itu diungkapkan oleh pemilik akun Twitter @quweenjojo. Dalam utasnya dia menceritakan ada hal yang tak kalah memilukan: banyak orang legitimasi aksi pelecehan seksual. Mengapa banyak orang yang seperti mengabaikan tindakan pelecehan seksual bahkan cenderung melegitimasinya?

Semua bermula ketika @quweenjojo menceritakan pengalaman traumatis yang terjadi Agustus 2018 silam. Dia menuturkan saat itu datang ke sebuah acara di Malang. Salah satu bintang tamunya Gogar Hilman.

Kemudian dipenguhujung acara, wanita itu maju ke depan acara untuk membuat Instagram story. Prasangkanya masih baik ketika Gofar menarik dan merangkulnya. "Oke gue pikir dia humble," tulisnya.

Persepsi dia mulai berubah ketika Gofar tiba-tiba memeluk erat dirinya dari belakang. Tindakannya semakin mengejutkan ketika tangan Gofar menggerayangi tubuh perempuan tersebut.

"Di situ tangan Gofar mulai 'mengacak-acak' bagian-bagian tubuh sensitif gue. Gue minta lepas enggak didengar dan kondisinya depan gue rame banget," tuturnya.

Beberapa orang tanya, beneran? Iya bener. Di Agustus 2018 gue dateng ke acara yang salah satu bintang tamunya Gofar Hilman di Malang. Di penghujung acara gue maju ke depan niat untuk keperluan Instastory. My mistake. Lalu Gofar tarik dan rangkul gue, ok gue pikir dia humble.

— Nyelaras (@quweenjojo) June 8, 2021

Dilegitimasi banyak orang

Kisah memilukan tersebut tak berenti di situ. Menurut penuturan @quweenjojo banyak orang yang hadir di acara tersebut  turut mewajarkan aksi bejat tersebut.

Bahkan ada orang yang mendukung seraya menyoraki si perempuan "dienakin kok enggak mau?" tuturnya. "Gue langsung ngerasa rendah banget." Beruntung masih ada satu laki-laki yang membantunya melepaskan diri dari Gofar dan keramaian itu. "Gue berusaha stay cool saat itu tapi otak gue sebetulnya blank."

Menurut dia perlakuan Gofar memang menjijikan. Namun sikap banyak orang yang malah meneriakkan "dienakin kok enggak mau" sambil tertawa itu jauh lebih hina.

"Jadi sempat trauma dengan keramaian untuk beberapa waktu."

Pihak Gofar Hilman sudah menanggapi terkait tudingan tersebut. Lewat akun Twitternya, Gofar menjelaskan saat acara berlangsung memang banyak laki-laki dan perempuan yang meminta Instagram Story. Ia juga meminta maaf kepada semua pihak yang tidak nyaman ketika ia merangkul. "Salah gue tidak meminta konsen akan rangkulan itu."

Namun untuk tuduhan pelecehan, Gofar menyangkalnya. "Untuk masalah tuduhan pelecehan, di sini gue yakin tidak melakukan hal itu. Ada dua orang yang dampingin gue saat itu, seorang cewek panitia dan seorang cowok asisten gue. Mereka yang jagain gue sampe masuk mobil di akhir acara."

Tanggapan gue soal kejadian yg lagi rame banget di Twitter yg melibatkan nama gue

— Gofar Hilman (@pergijauh) June 8, 2021

Kasus pelecehan atau kekerasan seksual bukan peristiwa yang jarang terjadi. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik menjadi salah satu yang paling menonjol. Tercatat ada 1.731 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas pada tahun tersebut.

Jumlah kasus tersebut terbagi ke dalam beberapa jenis kekerasan. Yang paling menonjol adalah kasus kekerasan seksual sebesar 962 kasus. Kemudian kasus kekerasan seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) ada 371 kasus, diikuti perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan  seksual 181 kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan 10 kasus. 

Banyak orang abai

Ilustrasi foto (Mika Baumeister/Unsplash)

Tapi sayangnya banyak orang cenderung mengabaikan pelecehan seksual, bahkan di ranah publik. Menurut survei kolaborasi antara Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan Change.org Indonesia, terhadap 62 ribu warga Indonesia secara nasional pada 2018, terungkap sebanyak 40 persen korban mengaku banyak saksi yang mengabaikan ketika pelecehan terjadi.

Sementara itu hanya 22 persen korban yang mengaku dibela oleh saksi dan 15 persennya berusaha menenangkan korban setelah kejadian. Padahal seperti dijelaskan survei tersebut, 92 persen korban mengaku merasa terbantu setelah dibela.

Senada dengan survei Komnas Perempuan tahun lalu, riset koalisi LSM itu juga mengungkapkan, ruang publik tercatat sebagai tempat yang paling banyak terjadi pelecehan seksual.

"Pelecehan seksual disebutkan seringkali terjadi di jalanan umum (33 persen), transportasi umum termasuk halte (19 persen), serta sekolah dan kampus (15 persen). Pelecehan seksual disebutkan seringkali terjadi di jalanan umum (33 persen), transportasi umum termasuk halte (19 persen), serta sekolah dan kampus (15 persen)," catat survei tersebut dikutip BBC.

Dari fakta-fakta tersebut kita bisa melihat bahwa masih banyak orang yang abai terhadap kasus pelecehan seksual meski hal itu terjadi di ruang publik. Lantas mengapa hal itu bisa terjadi?

Akar masalah

Untuk menjawab itu kami mewawancarai Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansyah. Mulanya ia mengomentari terkait gerombolan yang meneriaki orang yang diduga mengalami pelecehan seksual oleh Gofar Hilman. 

Tantan bilang, mengapa ada orang yang seolah melegitimasi tindakan yang diduga pelecehan tersebut lantaran karena berada di ruang publik yang tingkat aksi yang mengarah ke tindakan pelecehan seksual sangat berpeluang terjadi. "Karena itu ruang publik yang identitasnya sangat berbeda dengan di tempat ibadah, atau sekolahan," kata Tantan kepada VOI.

Namun kata Tantan, bukan berarti mereka yang bersikap seperti itu, memiliki tendensi yang sama dengan orang yang diduga melakukan pelecehan seksual. Kasus seperti ini kata dia memang harus masuk ke ranah hukum.

"Intinya, ini memang harus masuk ke ranah hukum. Di situlah nanti pernyataan, statemen, dan saksi dari kedua belah pihak, harus diadu, dicari kebenaran sejatinya," tegas Tantan.

Sementara itu, dari perspektif yang lebih luas terkait survei yang menyebut banyak orang yang mengabaikan kasus pelecehan seksual, Tantan melihat hal itu lebih disebabkan karena masalah teknis pendampingan hukum. Menurut Tantan, masyarakat lebih kepada enggan berurusan dengan teknis hukum yang cenderung ribet.

"Dipanggil, disuru nungguin, pokoknya ribet. Padahal di satu sisi mereka adalah orang-orang mungkin dari kalangan kelas biasa, kalau meninggalkan pekerjaan mereka sehari saja akan berdampak pada penghasilannya, pendapatannya," kata Tantan.

Padahal masyarakat bukannya tidak mau membantu korban pelecehan seksual. "Jadi kalau aspek itu bisa dipastikan tak mengganggu, maka masyarakat juga mau mau aja. Di negara-negara yang relatif maju kan, kalau jadi saksi suatu kasus hukum itu akan dilindungi privacimnya, keluarganya, pendapatannya. Mungkin itulah faktor terbesarnya," pungkasnya.

*Baca Informasi lain soal PELECEHAN SEKSUAL atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian.

BERNAS Lainnya

BACA JUGA: