JAKARTA - Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada pembelian sembako. Rencana ini menimbulkan polemik. Sebenarnya, bagaimana asal-usul munculnya kata "sembako"?
Rencana itu tertuang dalam revisi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan (KUP) yang beredar luas. Pada Pasal 4A, pemerintah terlihat menghapus beberapa jenis barang yang tak dikenai PPN.
Salah satu yang dihapus dari ketentuan itu adalah sembako. Artinya sembako akan dikenakan PPN dengan besaran 12 persen. Jika hajat pemerintah mulus, PPN sembako itu akan mulai berlaku pada tahun depan.
Dan tak cuma sembako. Pemerintah juga akan memungut tarif PPN untuk jasa pendidikan atau sekolah. Itu tercantum dalam draf KUP yang sama, di mana pemerintah menambahkan jenis jasa pendidikan ke dalam sektor yang ditarik PPN.
Dan soal angka 12 persen itu duatur dalam Pasal 7 ayat 1. Kenaikan nilai dari besaran yang semula 10 persen.
Awal mula sembako
Awal mula kata "sembako" adalah ketika pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998 atau kerap disingkat Kepmenperindag 115/1998.
Dalam aturan itu diklasifikasi sembilan bahan pokok yang kemudian disingkat "sembako." Kesembilan bahan pokok itu adalah:
- Beras, sagu dan jagung
- Gula pasir
- Sayur-sayuran dan buah-buahan
- Daging sapi dan ayam serta ikan
- Minyak goreng dan margarin
- Susu
- Telur
- Minyak Tanah atau gas elpiji,
- Garam berIodium dan ber-Natrium.
Klasifikasi bahan pokok itu kemudian mengalami perubahan yang signifikan sesuai kebutuhan masyarakat. Perubahan itu termaktub pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/3/2017 tentang Pendaftaran Pelaku Usaha Distribusi Barang Kebutuhan Pokok yang mulai berlaku 3 April 2017 silam.
Permendag tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan amanat pasal 12 ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Barang-barang kebutuhan pokok itu merupakan barang yang terkait hajat hidup orang banyak dalam skala kebutuhan primer.
Alasan PPN sembako
Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan landasan pengenaan PPN pada sembako. Menurut Prastowo banyak negara dunia yang saat ini memikirkan optimalisasi pajak demi keberlanjutan. Salah satunya penyesuaian PPN.
"Ada 15 negara yg menyesuaikan tarif PPN untuk membiayai penanganan pandemi. Rerata tarif PPN 127 negara adalah 15,4 persen. Kita sendiri masih 10 persen," Prastowo dalam penjelasannya di media sosial Twitter.
Prastowo juga menjelaskan pemerintah telah mengkaji dan melakukan benchmarking dengan negara lain soal PPN. Hasilnya didapati bahwa 24 negara mematok tarif PPN di atas 20 persen, 104 negara di kisaran 11-20 persen, dan selebihnya di bawah 10 persen.
Prastowo menambahkan bahwa penerimaan PPN Indonesia belum optimal. Salah satu penyebabnya, menurut Yustinus adalah banyaknya pengecualian dan fasilitas. Bahkan dia menyebut Indonesia sebagai negara dengan pengecualian paling banyak.
"Intermezzo: saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!" tulis dia.
Kebijakan berbau kapitalisme
Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah melihat kebijakan ini sebagai praktik kapitalisme oleh negara. Dan pemerintah Joko Widodo (Jokowi) atau siapapun itu tak bisa melakukan ini. Indonesia tak seperti Amerika Serikat, Jerman, atau Inggris yang menganut sistem ekonomi kapitalis.
Indonesia menganut sistem ekonomi campuran yang disebut sistem ekonomi Pancasila. Ada alasan-alasan kenapa Indonesia menerapkan sistem ekonomi ini. Faktor internal, di antaranya lokasi geografis, kondisi fisik, jumlah, serta kualitas sumber daya alam dan manusia.
Selain itu ada juga faktor eksternal, yaitu perkembangan teknologi, kondisi perekonomian, politik dunia, serta keamanan global. Dari kondisi-kondisi itu, dipilihlah sistem ekonomi Pancasila karena di dalamnya terdapat makna demokrasi ekonomi. Kita bedah karakteristiknya.
Karakteristik pertama, kegiatan ekonomi Indonesia merupakan kegiatan bersama dalam asas gotong royong dengan mengedepankan hubungan kekeluargaan. Kedua, cabang produksi yang bersifat strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara.
Dan segala penguasaan produksi barang strategis, baik yang ada di tanah dan air Nusantara dimanfaatkan semata-mata untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya, kegiatan ekonomi yang dilakukan wajib memenuhi prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Selain itu, untuk memastikan asas keadilan, pemerintah wajib mengawasi segala kegiatan swasta --secara umum-- untuk menghindari praktik kecurangan, seperti penipuan, monpoli, serta gangguan mafia perdagangan. Secara sederhana, sistem ekonomi Pancasila tak merestui segala bentuk eksploitasi, apalagi terhadap rakyat.
"Indonesia enggak bisa mengeksploiasitasi rakyatnya. Indonesia bukan negara kapitalis. Kita tidak dibangun dengan cara itu. Kita kan dibangun lewat kesepakatan. Jadi dengan alasan apapun enggak bisa. Jadi yang dipajakin itu hal hal yang sifatnya tidak menyangkut kebutuhan dasar," tutur Trubus, dihubungi VOI, Kamis, 10 Juni.
"Itu kebijakan publik yang bertentangan dengan UUD 45. Negara kita ini kan negara yang istilahnya itu urusan hidup hajat orang banyak itu tanggung jawab negara. Pendidikan dan sembako itu enggak boleh dipajakin," Trubus menegaskan ucapan sebelumnya.
*Baca Informasi lain soal EKONOMI atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.