JAKARTA - Rencana pertambangan emas skala besar di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara jadi polemik. Proyek itu tak saja mengancam kehidupan warga Sangihe, tapi turut mengancam kepunahan burung-burung endemik.
Warga, bersama almarhum Wakil Bupati Sangihe Helmud Hontong menyuarakan penolakan Pulau Kecil sebagai tambang. Diketahui, Hemud Hontong meninggal secara mendadak dalam perjalanan di pesawat rute Bali-Makassar pada, Rabu, Juni 2021.
Di tengah perjalanan, Helmud yang menumpang pesawat Lion JT-740 tampak memerlukan pertolongan medis. Ajudannya, Harmen Rivaldi Kontu mengkonfirmasi bahwa Helmud telah merasa pusing, dan keluar darah dari lewat mulut, kemudian hidung.
Padahal, semua penumpang telah menjalani pemeriksaan kesehatan sesuai prosedur. Bahkan, semuanya dipastikan negatif COVID-19.
"Lion Air penerbangan JT-740 dipersiapkan secara baik. Semua penumpang serta awak pesawat sudah menjalani pemeriksaan kesehatan COVID-19 dengan dinyatakan negatif dan sebelum masuk ke pesawat udara (ketika berada di terminal keberangkatan) surat hasil uji kesehatan sudah diverifikasi oleh petugas medis dari lembaga yang berwenang," kata Corporate Communications Strategic of Lion Air, Danang Mandala Prihantoro dikutip Detik.com.
Mendesak pengusutan kematian Helmud
Atas kematian Helmud, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah Ismail mendesak agar aparat penegak hukum menginvestigasi kematian Helmud. Merah menyebutkan ada kejanggalan terkait kematian Helmud.
Helmud, kata Merah tidak sedang kondisi sakit. Apalagi Helmud dikenal sebagai sosok yang berani menolak pemberian kontrak perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP) untuk perusahan tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
“Harapannya bisa diinvestigasi, dicari tahu lebih kematiannya ini seperti apa karena mendadak. Beberapa informasi menyatakan dia tidak ada sakit, tiba-tiba terdengar kabar itu,” ujar Merah dikutip Tempo.co.
Merah pun menambahkan, sebelum wafat Helmud telah menolak perusahaan tambang yang modalnya digenggang investor Kanada sedari 2017. Pun aksi Helmud yang terbaru adalah mengirim surat kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif bertarikh 28 April 2021.
Dalam surat itu, Helmud meminta Menteri ESDM mempertimbangkan untuk membatalkan surat izin operasi kontrak karya PT. TMS yang total proyeknya mencapai 42 ribu hektare. Izin tambang itu tertuang dalam surat Kementerian ESDM Nomor 163 K/MB.04/DJB/2021 yang terbit pada 29 Januari 2021.
Tak ada pembenaran aktivitas tambang di Pulau kecil
Penolakan yang diungkap Helmud adalah sebentuk kewajaran. Apalagi, izin pertambangan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisr dan Pulau Kecil.
Dalam UU yang mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil telah diprioritaskan hanya untuk sembilan jenis kepentingan. Kepentingan itu antara lain, seperti konservasi, budi daya laut, pendidikan dan pengembangan, hingga lain sebagainya.
Sedang aktivitas pertambangan dilarang karena dapat berdampak negatif bagi kehidupan di pulau-pulau kecil. Pengamat Lingkungan Hidup yang juga Direktur Lembaga Olah Hidup (LOH), Yani Sagaroa mengamini hal itu.
Menurutnya, tak ada pembenaran terkait aktivitas pertambangan di pulau kecil. Jika dipaksakan, daya rusak dari aktivitas pertambangan jauh lebih kompleks daripada aktivitas lingkungan lainnya.
Jadi, seluruh ekosistem yang ada di Sangihe akan terancam hilang, bahkan rusak. Tak saja bagi spesies flora dan fauna langka (salah satunya Sariwang Sangihe), melainkan warga Sangihe terancam kehidupan dan mata pencahariannya.
Bukan tanpa alasan Yani berucap seperti itu. Realitanya sistem teknologi penanganan tailing (limbah) di Indonesia masih belum memadai. Apapun sistemnya, penanganan terkait tailing --baik pembuangan limbah ke laut yang lazim dikenal sebagai Submarine Tailing Disposal (STD) atau pembuangan limbah ke laut dalam, Deep Sea Tailing Placemet (DSTP)-- sama-sama memiliki risiko yang besar sekaligus berbahaya bagi lingkungan hidup di Sangihe.
“Apalagi, sistem teknologi penanganan tailing itu kan masih belum dianggap aman. Nah, terkait regulasi sudah ada UU tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Saya pikir itu tidak dibenarkan termasuk dalam UU 32 tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup (PPLH),” ungkap Yani Sagaroa yang juga Mantan Dewan Nasional WALHI kepada VOI, Jumat, 11 Juni.
“Terkait dengan UU itu saya malah mengimbau seluruh stakeholder yang ada di Sangihe – dari masyarakat hingga pemerintah daerah untuk menolak keberadaan tambang di Sangihe. Karena memang akan membawa konsekuensi besar buat lingkungan hidup,” tambahnya.
Yani menegaskan apa yang diungkapnya senada yang diungkap oleh Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas untuk membahas laporan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Istana Merdeka, Jakarta, 16 November 2020 lalu. Dalam pada itu, Jokowi menyebutkan bahwa hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat.
"Saya ingin tegaskan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Pada masa pandemi ini telah kita putuskan pembatasan-pembatasan sosial termasuk di dalamnya adalah pembubaran kerumunan," ujar Jokowi.
Pun dalam pertambangan di Sangihe, pemerintah diharuskan menjaga keselematan rakyat, utamanya warga Sangihe. Untuk itu, izin pertambangan sudah seharusnya ditolak. Karena tidak hanya memperngaruhi ekosistem pesisir, tapi juga mempengaruhi ekosistem tata kelola ekonomi warga Sangihe yang hidup dari sumber daya alam.
“Karena itu berdampak, maka keselamatan manusia yang mesti diutamakan. Jangan hanya melihat dari segi ekonomi semata. Kalau dilihat hanya dari ekonomi semata, menurut kami itu sangat sempit sekali. Karena nilai ekonomi dari seluruh ekosistem di Sangihe jauh lebih bermakna yang mampu memberikan kehidupan secara berkelanjutan bagi masyarakat sekitar,” tutup Yani Sagaroa.
*Baca Informasi lain soal LINGKUNGAN atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.