JAKARTA - Dewan Keselamatan Transportasi Nasional (NTSB) pada 10 Februari lalu, memaparkan penyebab kecelakaan helikopter yang menewaskan legenda bola basket dunia Kobe Bryant dan tujuh orang lainnya di Calabasas, California, Amerika Serikat.
Dalam penjelasannya, NTSB menyebut pilot helikopter Sikorsky 76B yang membawa Kobe mengalami disorientasi spasial dan hilang kendali, sehingga 'mengambil keputusan buruk.
Data NTSB mengungkapkan, disorientasi spasial terkait dalam 184 kecelakaan udara mematikan, termasuk 20 kecelakaan helikopter di dalamnya, sepanjang kurung waktu antara tahun 2010 hingga 2019. Lantas, apa, kenapa dan bagaimana orientasi dispasial ini?
Di udara, indra pilot dapat menipu mereka, dan itu hanya karena mereka adalah makhluk biologis.
"Sebagai manusia, kita telah berevolusi untuk menilai keberadaan kita di dunia, dan orientasi kita di dunia tidak hanya menggunakan satu indra saja, melainkan berbagai indra," jelas Jan Stepanek, seorang dokter yang mempelajari penerbangan, disorientasi spasial, dan masalah terkait di Mayo Clinic di Phoenix, Arizona," melansir popsci.com.
Sistem neurovestibular
Indra pertama menurutnya adalah penglihatan. Menurutnya, manusia merupakan makluk yang sangat dominan mengandalkan visual. Berikutnya, ada sematosensori, sistem indra yang mendeteksi pengalaman yang disebut sentuhan, tekanan yang dalam penerbangan bisa membuat kita merasa gravitasi menarik lurus ke bawah.
Namun, Stepanek mengatakan yang paling penting dalam kasus kecelakaan helikopter ini adalah sistem neurovestibular, sensor di telinga bagian dalam yang memungkinkan ada mendeteksi jika Anda sedang bergerak seperti saat mempercepat laju mobil misalnya.
"Namun, sistem ini ada kelemahan, di mana sistem ini bisa merasakan perubahan yang cepat, namun lemah dalam merasakan perubahan bertahap. Ini yang bisa menipu dan terjadi dengan cepat," ungkapnya.
Stepanek mencontohkan, saat seseorangg duduk di kursi kerja dengan mata tertutup. Kemudian, kursi diputar perlahan dengan kecepatan yang konstan. Ini akan memengaruhi sistem vestibular Anda.
"Pertama, Anda akan merasa seolah-olah kecepatan rotasi Anda melambat, padahal sebenarnya tidak. Kemudian, setelah sekitar 20 detik, Anda mungkin merasa seperti tidak bergerak. Ini menipu sistem vestibular Anda, di mana kursi terus bergerak secara konstan dan dengan mata tertutup, Anda merasa tidak bergerak," paparnya.
Stepanek melanjutkan, kondisi yang sama bisa terjadi saat mengemudikan pesawat. Tentu saja, jika pilot memiliki petunjuk visual yang baik tentang dunia di sekitar mereka, sensasi yang membingungkan dapat diperbaiki.
Tetapi pada malam tanpa bulan, atau di awan atau kabut, penglihatan tidak akan membantu Anda. Pilot harus mengandalkan instrumen untuk mengungkap keadaan sebenarnya.
Artinya, lanjut Stepanek, pada kenyataannya pesawat atau helikopter dapat secara bertahap menukik dan pilot tidak menyadarinya, terutama saat terbang menembus kabut. Sistem vestibular mereka mengira mereka masih datar. Tanpa sistem peringatan.
"Anda mungkin dengan tingkat kepercayaan tinggi yakin telah menstabilkan penerbangan, yang sebenarnya malah semakin mendekati permukaan. Inilah yang sebenarnya terjadi," paparnya.
Beberapa pilot mengalami fenomena terkait yang disebut 'condong'. Bayangkan seorang pilot berbelok kiri secara bertahap dan konstan, tetapi tidak menyadarinya dan cairan di telinga bagian dalam tidak bergerak, jelas Stepanek.
Tiba-tiba, pilot memperhatikan bahwa mereka membelok saat mereka melihat instrumen, dan memindahkan pesawat kembali ke level flight. Sensor telinga bagian dalam kemudian 'distimulasi' ke arah yang berlawanan dan akan memberi pilot persepsi bahwa mereka tidak sejajar, tetapi sebenarnya bergerak ke kanan.
Instrumen pesawat dengan benar memberi tahu pilot bahwa pesawat itu datar, tetapi telinga bagian dalam memberi tahu mereka secara keliru, bahwa mereka terlalu banyak membelok. Dan, pilot mungkin secara fisik bersandar ke kiri, atau berbelok ke kiri, untuk merasa normal dalam tubuh mereka. Pesan campuran itu berlangsung sekitar 20 detik.
Richard Anderson, seorang profesor teknik kedirgantaraan di Embry-Riddle Aeronautical University menerangkan, ketika sebuah pesawat berada dalam belokan terkoordinasi, berbelok dan berputar pada saat yang sama, sebagaimana mestinya, pilot dan penumpang merasakan gravitasi menarik mereka.
"Inilah sebabnya, ketika sebuah pesawat berbelok, jika Anda memiliki cangkir air di atas meja Anda, ketinggian air tidak akan berubah, tetap sejajar dengan pesawat meskipun pesawatnya tidak lagi sejajar," papar Anderson.
Sayangnya, sulit untuk mempersiapkan siswa sekolah penerbang untuk menghadapi seperti apa disorientasi spasial, menurut profesor teknologi penerbangan dan transportasi di Purdue University Brian Dillman.
"Siswa sering kali mengatakan, itu (disorientasi spasial) lebih agresif dari yang saya bayangkan" tukasnya.
BACA JUGA:
Jatuhnya helikopter Sikorsky 76B yang membawa Kobe Bryant tahun lalu melibatkan belokan kiri serta pilot yang tampaknya mengira dia sedang mendaki, alih-alih sebenarnya dia turun. Dr. Dujuan Sevillian dari NTSB menggambarkan fenomena terakhir ini sebagai ilusi somatogravic, yang juga disebabkan oleh disorientasi spasial.
"Saat helikopter melanjutkan penurunannya yang curam, pilot tidak merujuk instrumen helikopter, atau merasa mengalami kesulitan menafsirkan atau mempercayainya, karena ilusi vestibular yang menarik. Sehingga, pilot tidak berhasil mengembalikan posisi helikopter," tukas Sevillian.