Bagikan:

JAKARTA – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah menyusun draf hukum terkait pemberian abolisi dan amnesti bagi para pelaku korupsi, dengan syarat pengembalian penuh hasil korupsi kepada negara.

Kebijakan ini bertujuan mempercepat pemulihan kerugian negara (asset recovery) dan sejalan dengan Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.  

“Nanti orang-orang yang terlibat korupsi, baik yang sedang disidik, dituntut, atau yang sudah dipidana, akan diberi abolisi dan amnesti jika mereka mengembalikan harta negara yang dicuri atau membayar ganti rugi. Ini untuk mendukung pemulihan aset negara,” kata Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, Sabtu 21 Desember.  

Menurut Yusril, draf hukum ini akan berbentuk Keputusan Presiden (Keppres), yang akan menetapkan tenggat waktu pengembalian kerugian negara. Sebagai contoh, ia menyebutkan tenggat waktu hingga 1 Agustus 2025 bagi koruptor untuk mengembalikan hasil korupsi mereka.  

“Semua yang merasa terlibat dalam tindak pidana korupsi-baik yang dalam penyelidikan, penyidikan, proses persidangan, atau yang sudah divonis-apat mengembalikan kerugian negara paling lambat 1 Agustus 2025. Mereka yang memenuhi syarat ini akan diberikan amnesti,” jelas Yusril.  

Jika melewati batas waktu tersebut, para pelaku tetap akan ditangkap, diadili, atau menjalani hukuman sesuai aturan hukum yang berlaku.  

Yusril mencontohkan kebijakan amnesti Presiden Soekarno kepada pelaku pemberontakan PRRI dan Permesta, di mana mereka yang menyerah dalam tenggat waktu tertentu mendapatkan pengampunan. Pendekatan serupa diterapkan dalam draf abolisi dan amnesti bagi koruptor, dengan tujuan memberikan manfaat nyata bagi rakyat.  

“Kami ingin penegakan hukum terkait pemberantasan korupsi menghasilkan manfaat langsung bagi masyarakat. Dengan mengembalikan uang yang dikorupsi, dana tersebut akan masuk kembali ke APBN dan digunakan untuk kepentingan rakyat,” tegas Yusril.  

Yusril menjelaskan bahwa jika seorang koruptor dengan sukarela mengembalikan hasil korupsi sebelum proses hukum berjalan, namanya tidak akan diumumkan ke publik. Langkah ini diyakini dapat mendorong pelaku untuk segera bertobat tanpa tekanan sosial yang berlebihan.  

Rencana abolisi dan amnesti bagi koruptor ini juga menjadi bagian dari program yang lebih luas untuk memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana (napi), sebagian besar di antaranya adalah napi kasus narkoba. Namun, napi korupsi hanya akan mendapatkan amnesti jika memenuhi syarat-syarat tertentu yang sedang dirancang pemerintah.  

“Data napi korupsi lebih sedikit dibandingkan napi narkoba. Kita punya catatan siapa saja yang diproses dan dipidana,” kata Yusril.  

Langkah ini, menurut Yusril, merupakan strategi untuk memperbaiki efektivitas pemberantasan korupsi. Ia menegaskan bahwa penegakan hukum tidak hanya berorientasi pada hukuman penjara, tetapi juga pada pemulihan aset negara untuk kepentingan masyarakat luas.  

“Kalau koruptor hanya dipenjara, apa manfaatnya untuk rakyat? Dengan abolisi dan amnesti ini, kita mengutamakan pengembalian kerugian negara agar manfaatnya langsung dirasakan masyarakat,” pungkasnya.