JAKARTA - Meski sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump hingga kini masih memiliki fans yang cukup fanatik. Terlihat, pendukung Trump atau yang biasa dijuluki pro-Trump meluncurkan media sosial yakni GETTR, yang didalamnya berisi orang-orang pro-Trump. Tetapi, belum lama diluncurkan, media sosial itu sempat diretas.
Diberitakan oleh Reuters, Senin 5 Juli, media sosial tersebut diluncurkan oleh penasihat senior mantan Presiden AS Donald Trump, Jason Miller. Sebelum diretas, lebih dari 500.000 orang telah mendaftar untuk menggunakan situs tersebut.
GETTR merupakan platform bergaya Twitter dengan postingan dan topik yang sedang tren. Platform tersebut juga mempromosikan aplikasinya di Google Play dan App Store sebagai "jaringan sosial non-bias untuk orang-orang di seluruh dunia."
"Masalahnya (sudah) terdeteksi dan disegel dalam hitungan menit, dan semua penyusup dapat melakukannya adalah mengubah beberapa nama pengguna," ungkap Miller.
Beberapa postingan tangkapan layar beredar di Twitter yang menunjukkan profil pengguna GETTR, termasuk mantan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo dan Miller sendiri, yang bionya diubah menjadi "JubaBaghdad ada di sini, ikuti saya di twitter :)." Namun Miller mengatakan media sosial itu kini telah dapat digunakan kembali.
BACA JUGA:
Sebenarnya, Miller mengetahui rencana tim Trump untuk memulai platform media sosial baru selama berbulan-bulan, karena Twitter dan platform lainnya telah memblokir Trump setelah kerusuhan 6 Januari di mana para pendukungnya menyerbu Capitol.
Oleh karena itu, Miller mengatakan kepada Fox News awal pekan ini bahwa dia berharap Trump akan bergabung, tetapi suami dari Melania Trump itu sedang mempertimbangkannya.
Sementara, Miller mengakui bahwa Trump tidak mendanai platform tersebut. Mantan penasihat Trump Steve Bannon pada hari Minggu menggambarkan GETTR sebagai "pembunuh Twitter" dalam sebuah posting di situs baru tersebut.
Diwartakan sebelumnya, Trump secara permanen dilarang dari Twitter dan tetap ditangguhkan oleh Facebook hingga 2023. Begitupun dengan YouTube yang berencana hingga perusahaan menentukan bahwa risiko kekerasan telah berkurang.