JAKARTA - Kemenangan Jepang atas Belanda bukan tanpa sebab. Jepang telah merencanakan upaya pendudukan Hindia-Belanda sejak lama. Penurunan agen intelijen ada di baliknya. Empunya kuasa sengaja menyebar intelijennya untuk berbaur dengan rakyat.
Profesi pedagang jadi opsi utama penyamaran. Semua demi mengetahui kebencian bumiputra kepada penjajah. Siasat itu diperkuat dengan propaganda obat batuk Djintan. Sebuah obat batuk yang dianggap memuat akronim provokatif: Djendral Djepang Ini Nanti Tolong Anak Negeri.
Niatan Jepang menguasai Hindia-Belanda telah muncul sejak lama. Bahkan, semenjak tahun 1920-an. Keinginan itu dibuktikan dengan gencarnya Jepang menebar pasukan intelijennya menyamar dan berbaur dengan penduduk Hindia-Belanda.
Kebanyakan pasukan intelijen Jepang pun menyamar sebagai pedagang. Jepang menganggap informasi kebencian kaum bumiputra akan banyak terserap lewat profesi pedagang. Toko-toko barang dagangan asal Jepang pun menjamur. Mereka melakukan penyamaran dengan totalitas. Sebab, hanya barang-barang berkualitas tinggi yang dijual dengan harga murah.
Siasat itu membawakan hasil. Barang-barang asal Jepang jadi buruan. Hasilnya memuaskan. Pedagang yang notabene intelijen jadi dapat leluasa mengumpulkan informasi. Apalagi hubungan pedagang-pembeli kadang kala cukup dekat. Kaum bumiputra pun banyak yang simpatik kepada pedagang asal Jepang. Begitu pula sebaliknya.
Pejuang kemerdekaan pun tak sedikit yang mengetahui gelagat menjamurnya pedagang Jepang. Penyebabnya bukan melulu urusan ekonomi, tetapi sebagai persiapan gerakan militer. Mohammad Husni Thamrin bahkan lebih dulu mencium niatan itu. Baginya, gelagat Jepang cukup mencolok. Sedang Belanda menganggap remeh.
“Dalam pidato pertamanya, ia mengemukakan berkah dari barang-barang impor Jepang yang murah untuk penduduk. Menurutnya penetrasi ekonomi yang damai itu menjadi seperti prosesi kemenangan. Hanya dalam beberapa tahun, bukan saja karena harga yang murah juga karena para pemilik tokoh Jepang biasanya dalam berhadapan dengan pembeli Indonesia tidak menunjukkan arogansi rasial sama sekali.”
“Selanjutnya disebutkan bahwa pilihan kaum pribumi pada barang-barang Jepang terbentuk karena mereka sama sekali tidak menghalangi segala kepentingan penduduk bumiputra dalam keadaan industri nasional tidak menyediakannya. Penduduk paling terbelakang secara instingtif merasa pilihan mereka menciptakan pertimbangan terhadap supremasi ekonomi perdagangan Eropa yang menyeluruh,” ungkap Bob Hering dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin (2003).
Obat Batuk Djintan
Produk yang dijual oleh toko-toko Jepang itu beragam. Dari barang kebutuhan sehari-hari sampai elektronik. Namun, satu barang jualan yang paling melekat di kepala kaum bumiputra. Barang itu berupa obat batuk. Obat batuk Djintan, namanya.
Obat batuk Djintan acap kali tersedia di toko-toko Jepang. Apalagi obat batuk itu dijual dengan etiket gambar provokatif, yakni gambar jenderal Jepang dibubuhi kata Djintan. Gambar dan nama Djintan bak sudah dikonsep sedemikian rupa sebagai alat proganda Jepang.
Pun kata Djintan kemudian ditafsirkan kaum bumiputra sebagai Djendral Djepang Itu Nanti Tolong Anak Negeri. Ada pula yang menafsirkannya sebagai Djendral Djepang Ini Nanti Tendang Anak Nederland. Keduanya memiliki makna sama. Jepang dianggap sebagai juru selamat yang memutus mata rantai penjajahan Belanda.
Isu terkait Djintan sebagai alat proganda Jepang makin deras. Semua karena pedagang yang memiliki toko melakukan promosi yang makin masif khas pemerintah Jepang. Mereka mencetak banyak poster obat batuk Djintan di tiap sudut kota atau desa.
Gaung obat batuk Djintan makin kesohor karena poster-posternya hadir di truk-truk yang berkelana ke desa-desa. Tujuannya supaya kaum bumiputra berpihak kepada Jepang. Siasat itu terbukti ampuh. Apalagi ketika Jepang secara terang-terangan mengumandangkan perang terhadap Belanda di Nusantara.
Pedagang-pedagang yang melulu menjaga toko nyatanya mulai memakai seragam militer Jepang dengan kebanyakkan berpangkat opsir (perwira). Kehadiran mereka pun disambut dengan antusias oleh kaum bumiputra. Mereka dielu-elukan sebagai pembebas. Kemudian, Nusantara pun secara paripurna dikuasai Jepang pada 1942.
“Suatu hari toko Jepang Naniwa dan Suzuki di Purwokerto mempropagandakan obat batuk bernama Djintan. Selembar poster besar bergambar seorang jenderal Jepang dengan kumis ‘mbaplang’ melintang berlatar belakang gambar matahari dengan strip-strip besar berwarna merah menyala, di bawahnya bertuliskan DJINTAN dengan huruf-huruf besar.”
“Poster raksasa itu diarak dengan menggunakan truk menjelajahi desa-desa sambil menyebarkan surat selebaran dan membagi-bagikan obat batuk Djintan kepada penduduk. Sudah barang tentu, peristiwa ini membuat gempar desa-desa yang dilalui propaganda itu,” terang Saifuddin Zuhri yang kemudian jadi Menteri Agama Indonesia 1962–1967 dalam buku Berangkat dari Pesantren (2013).