Ali Sadikin Resmikan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail dalam Sejarah Hari Ini, 20 Oktober 1975
Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, Ali Sadikin, bersama Usmar Ismail (tengah). (Perpusnas)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 47 tahun yang lalu, 20 Oktober 1975, Gubernur Jakarta Ali Sadikin meresmikan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI). Kehadiran pusat perfilman itu sebagai bentuk penghargaan atas sumbangsih Bapak Perfilman Nasional, Usmar Ismail, yang telah tiada.

Semangat Usmar Ismail dalam industri hiburan Indonesia tiada dua. Bahkan, industri perfilman tanah air tak akan semaju sekarang jika tanpa Usmar Ismail. Ali Sadikin pun mengenangnya sebagai pendobrak sejarah. Tujuannya supaya perfilman Indonesia naik kelas.

Usmar Ismail acap kali antusias dengan dunia perfilman. Saban hari waktunya banyak tersita dengan aktivitas menonton film. Bahkan, rasa antusias itu telah hadir sedari Usmar kecil. Ia kerap menempatkan dirinya dari baris paling depan di bioskop. Supaya dapat menikmati film dengan maksimal, pikirnya.

Usmar pun mencoba menempatkan dirinya sebagai insan dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Ia tak melulu bertindak sebagai penikmat film saja. Ia bertindak lebih jauh. Ia pun mencoba mencermati segala macam laku perfilman. Antara lain musik, cerita, kualitas gambar, hingga penempatan kamera.

Kecintaannya akan dunia perfilman membawa Usmar mendalami industri hiburan. Ia tercatat aktif sebagai bagian dari kelompok teater di sekolahnya, Algemeene Middelbare School (AMS-A II), Yogyakarta. Adik kelas Hoegeng Imam Santoso (kelak jadi Kapolri) itu mencoba mengasah kemampuannya dalam dunia akting.

Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail di Jl. H.R Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. (kemendikbud.go.id)

Semenjak itu jalan Usmar meniti karier di dunia perfilman terbuka lebar. Usmar mengetahui luar-dalam industri film. Ia bahkan sempat bekerja dengan perusahaan produksi Belanda, South Film Festival. Namun, ia enggan menganggap dua film yang melibatkan Usmar sebagai murni karyanya.

Ia pun dengan tegas menganggap Darah dan Doa (1950) sebagai filmnya yang pertama. Film yang kemudian menjadi tonggak awal perfilman Indonesia.

“Usmar Ismail menghimpun pada dirinya berbagai bakat dan kemampuan sehingga bisa menjadi sutradara, penulis skenario, dan produser: Dari rincian jenis cerita film tadi kelihatan dia piawai menggarap tema-tema yang menarik bagi penonton. Sehabis drama, ia membuat komedi, dari action ia pindah ke musikal, sesuai dengan selera sesaat masyarakat. la tidak pernah menempatkan dirinya tinggi di atas penonton,” ungkap sahabat Usmar Ismail, Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid 2 (2009).

Setelah itu, Usmar Ismail dan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) terus menghiasi layar kaca segenap rakyat Indonesia. Usmar Ismail terus berkarya hingga ajal menjemputnya pada 2 Januari 1971. Kepergiannya pun membawa kedukaan yang mendalam bagi segenap rakyat Indonesia.

Ali Sadikin, apalagi. Gubernur DKI Jakarta yang menjabat sedari 1966-1977 tak kuasa Jakarta kehilangan sosok legendaris dalam dunia perfilman. Ia pun segara mencanangkan pembangunan pusat perfilman di Jakarta. PPHUI, namanya. Letak bangunannya di Jl. H.R Rasuna Said, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Usmar Ismail berbincang dengan Ali Sadikin dalam sebuah acara. (Perpusnas)

Peresmian  dihadiri sendiri oleh Ali Sadikin pada 20 Oktober 1975. Pria yang akrab disapa Bang Ali itu berharap PPHUI dapat menjadi wadah munculkan gagasan, pendapat, dan karya perfilman bermutu. 

“Tanggal 20 Oktober 1975 saya resmikan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, di Kuningan, Jakarta Selatan. Waktu itu namanya belum begitu lengkap. Baru di permulaan tahun berikutnya nama pusat perfilman itu lengkap seperti yang saya sebutkan, waktu insan film mengenang hari meninggalnya tokoh perfilman Indonesia yang amat dihargai itu. Membuka Pusat Perfilman dengan satu pameran di tempat itu adalah hasil dari berbagai upaya saya dalam membantu dunia film.”

“Saya kenang pertemuan dengan H. Usmar Islamil dan kawan-kawannya seperti Turino Djunaedi, Asrul Sani, Pak Djajakusuma, Sumardjono, dan lain-lain, waktu membicarakan idealisme mereka, membicarakan film Indonesia yang jalannya merangkak dengan berat sekali. Padahal cita-cita kita bersama adalah menjadikan film Indonesia itu tuan rumah di negaranya sendiri,” ungkap Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).