Bagikan:

JAKARTA - Keberadaan lembaga Sensor film selalu bermasalah. Sejak zaman penjajahan Belanda, kuasa sensor film dimonopoli demi kelancaran politik Negeri Kincir Angin. Kondisi itu agaknya bertahan sampai Indonesia merdeka.

Usmar Ismail dan Ali Sadikin jadi nama yang paling geram ke lembaga sensor. Keduanya tak saja jengkel melihat lembaga sensor bekerja melulu urusi perihal moral. Tapi, kehadirannya membawa kemunduran bagi industri perfilman nasional.

Gambar idoep atau film muncul pertama kali di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Batavia pun menjadi gerbang masuk film ke Nusantara. Karenanya, tiap-tiap kaum Belanda totok hingga bumiputra ingin menjadi saksi dari dimulainya era baru industri hiburan.

Antusias itulah yang membuat kehadiran bioskop menjamur pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian, kehadiran bioskop dapat merebut hati banyak orang yang awalnya hanya dapat menikmati seni pertunjukan terbatas pada tonil, sandiwara, atau komedi.

Belum lama puas dengan kehadiran film, pemerintah kolonial Belanda mendapatkan masalah baru. Kebanyakkan film-film yang diputar pada bioskop di seantero negeri notabene buatan Amerika Serikat (AS). 

Gambaran film-film itu tak sesuai dengan citra orang Belanda yang menjunjung tinggi perihal moral. Sebab, jalan ceritanya didominasi oleh kisah main hakim sendiri dan adegan seks luar nikah. Antara lain cerita jagoan ahli menembak, pembunuh bayaran, ataupun tokoh playboy. Sederet film itu langsung jadi ancaman terhadap moral dan kuasa Belanda di tanah koloni.

"Karena minat penonton bumiputra ketika itu lebih tertuju kepada gambar film bukan alur cerita dan gambar-gambar yang dipertunjukan itu memperlihatkan citra negatif orang barat, maka atas saran penduduk Eropa di Hindia-Belanda, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan untuk menyeleksi film-film yang masuk ke Hindia-Belanda melalui suatu badan yang dinamakan Komisi Sensor Film,” ungkap M. Sarief Arief dalam buku Politik Film di Hindia-Belanda (2010).

Marlon Brando, Fatmawati, dan Usmar Ismail (Sumber: Wikimedia Commons)

Komisi Sensor Film (Commissie voor de Kuering van Films) lahir lewat aturan Ordonasi Bioskop tahun 1916. Upaya itu sebagai bentuk Belanda mulai mengendalikan peredaran film yang masuk ke Hindia-Belanda. Wewenang tersebut ditunjukkan langsung oleh Gubernur Jenderal. 

Penguasa Hindia-Belanda itu dapat menentukkan tempat untuk berdirinya Komisi Sensor Film dan Lembaga Komisi Sensor Film. Komisi ini terdiri dari lima anggota termasuk seorang ketua. Pengawasan film lalu difokuskan di empat kota: Batavia, Semarang, Surabaya, dan Medan.

Setelahnya, kehadiran Komisi Sensor Film di Hindia-Belanda mulai mengundang masalah. Para importir, pemilik bioskop, dan penonton merasa dirugikan. Alhasil, segenap masyarakat di Hindia-Belanda menuntut penyempurnaan aturan sensor.

Meski begitu, setelah tujuh kali disempurnakan, aturan sensor film bak jalan ditempat. Penyebabnya tak lain karena film-film yang berdatangan sering bertolak dari visi pemerintah kolonial belanda sehingga sensor pun semakin kencang.

“Sebelum muncul kesadaran penonton pribumi, maka pemerintah kolonial membentuk Komisi Sensor Film. Untuk meredam film cerita bisu impor yang menggambarkan perilaku negatif orang barat, maka pemerintah kolonial menugaskan Komisi Penilaian Film menggunting (menyensor) film yang dikategorikan: merusak kesusilaan umum, melanggar ketentuan umum, atau menjadi sebab munculnya gangguan umum yang dapat berpengaruh pada lingkungan,” tulis Redi Panuju dalam buku Film Sebagai Proses Kreatif (2019).

Banjir protes

Selepas Indonesia merdeka, masalah penyensoran tak banyak berubah. Dalam praktiknya, film masih menjadi suatu yang dapat mengganggu dan merugikan masyarakat dan negara.

Film belum dapat dilihat sebagai karya seni-budaya. Kondisi itu tak jauh berbeda dari masa penjajahan Belanda. Yang mana, masa kolonial Belanda, sensor dijadikan perpanjang tangan pemerintah untuk menjaga moral dan melanggeng kuasa. Bapak Perfilman Nasional, Usmar Ismail menjadi salah satu orang jengkel dengan kehadiran lembaga sensor.

Ali Sadikin dan Nani Sadikin (Sumber: Perpusnas)

Kala itu, Usmar Ismail banyak berkeluh kesah dengan sikap lembaga sensor: Panitia Pengawas Film (PPF). Ia memandang PPF sering muncul sebagai perusak reputasi film Indonesia. Sikap terlalu keras PPF yang main gunting (sensor) tanpa melihat kualitas dan keseluruhan isi jadi muara flim Indonesia jalan ditempat –jika tak bisa dikatakan mundur. Di lain sisi, pemerintah sendiri tak melakukan pembinaan yang terarah dan terukur untuk para sineas kreatif sebagai gantinya.

Bahkan, secara personal Usmar Ismail banyak dirugikan oleh PPF. Beberapa filmnya banyak yang digunting oleh PPF. Film Darah dan Doa (1950) yang menjadi tonggak film nasional saja tak luput dari sensor.

Film yang tanggal pengerjaannya dijadikan Hari Film Nasional ini disensor di beberapa bagian. Terutama sensor diberlakukan pada kisah percintaan antara sang perwira TNI dengan seorang gadis Eropa. Demikian pula film Usmar Ismail lainnya yang melibatkan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) seperti film Embun (1952) dan Terimalah Laguku (1953).    

“Usmar mengeluh pemotongan sensor terhadap film Embun mempunyai efek langsung terhadap Perfini yang lantas membuat film tanpa risiko, yaitu film musikal Terimalah Laguku dengan Asrul Sani sebagai penulis skenario. Toh ternyata ada adegan-adegan dari film musik ini yang dipotong. Akibatnya produser lain, terutama produser Tionghoa, menempuh jalan ‘aman’ saja, yaitu mengajukan cerita/lakon yang tidak bisa digunting banyak oleh sensor,” cerita Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 2 (2009).

Semenjak saat itu, Usmar Ismail terkenal paling getol menyuarakan kritiknya kepada lembaga sensor. Ia menyebut PPF tidak mempelajari perkara film-film Indonesia terlebih dahulu.

Main potong saja, kata Usmar. Lantas ia pun mengakui bahwa dampak dari sebuah film memang ada, besar atau kecil. Namun, bukan berarti jalan yang diambil adalah menggunting sebagai satu-satunya cara.

Harusnya lembaga sensor lebih berpikir jauh ke depan. Mereka, kata Usmar dituntut mencari jalan yang lain supaya pengaruh dari film tersalurkan kepada hal-hal yang lebih bermanfaat. Maka, lembaga sensor hendaknya tidak menjadi polisi moral. Melainkan menjadi sebentuk badan yang aktif menjalankan dan mengawasi terlaksananya suatu politik film pemerintah yang positif.

Tak Cuma Usmar Ismail, kritik langsung kepada lembaga sensor yang kala itu bersalin nama menjadi Badan Sensor Film (BSF) juga didengungkan oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin (1966-1977). Pria berjuluk Kennedy dari Timur telah mendengar keluhan para sineas, termasuk Usmar Ismail. Buahnya Ali Sadikin menyatakan jengkel kepada BSF yang telah bekerja terlalu kampungan.

Menurut Ali Sadikin, yang dipakai BSF dalam menilai film adalah norma-norma yang cocok untuk Probolinggo, Cipete, dan Cibinong. Sedang norma itu tidak sesuai dengan norma kehidupan di Jakarta sebagai kota internasional. Ali Sadikin menyebut tindakan main sensor BSF berimbas pada kemunduran industri perfilman Tanah Air. Penonton, bioskop, dan Pemerintah DKI Jakarta pun merugi karena BSF.

“Saya dengar, pemotongan terhadap film itu terlalu banyak. Saya memberi komentar: Kalau orang takut porno, diam di rumah saja dan jangan nonton film. Sebab kala terlalu banyak yang dipotong, penonton rugi, bioskop pun rugi dan saya juga rugi karena pajak jadi berkurang. Kata saya jengkel,” tutup Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1993).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

 

MEMORI Lainnya