Naik Haji Zaman Belanda
Perjalanan jemaah haji asal Tanjung Priok, Jakarta menuju Aceh, sebelum berlanjut ke Makkah. Foto tahun 1948 (Sumber: KITLV Leiden)

Bagikan:

JAKARTA - Di Indonesia, yang sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, ibadah haji jadi hal yang begitu penting. Selain untuk menunaikan rukun Islam, haji jadi penanda status sosial seseorang di lingkungan masyarakat. Dalam konteks ekonomi, haji juga jadi bisnis, bahkan sejak zaman Hindia Belanda. Sayang. Tak semua bisnis itu dijalankan dengan benar. Berbagai masalah menaungi masalah haji di zaman Hindia Belanda.

Di zaman itu ibadah haji menimbulkan persaingan bisnis yang ketat. Saking ketatnya, ibadah haji kerap diwarnai aksi culas, dari monopoli hingga penipuan. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perjalanan haji di Hindia Belanda diwarnai dengan kuatnya monopoli bisnis oleh biro perjalanan haji swasta. Monopoli itu direstui pemerintah Hindia Belanda lewat pemberian izin, hingga begitu banyak jemaah yang dirugikan.

Dalam konteks penipuan, praktik itu banyak menjerumuskan jemaah haji ke dalam perbudakan. Lainnya, terkait pemberian gelar haji palsu kepada jemaah yang bahkan belum sampai ke Makkah. Begitu banyak bentuk penyimpangan dalam pengurusan ibadah haji zaman itu.

Meski begitu tak diketahui pasti kapan umat Islam di Nusantara mulai menunaikan ibadah haji. Namun ada satu nama yang tercatat sejarah sebagai orang pertama dari Nusantara yang pergi haji. Ia adalah Pangeran Abdul Dohhar, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Ia pergi beribadah haji pada tahun 1630.

Di tahun berikutnya, semakin banyak orang pergi haji. Tradisi ibadah bahkan berkembang menjadi tradisi pendidikan. Orang-orang yang semula pergi ke Makkah hanya untuk beribadah haji kemudian turut menuntut ilmu agama Islam. Sepulang dari Makkah, orang-orang itu membawa ilmu agama dan mengajarkannya di Tanah Air.

Jemaah haji asal Banten saat di Makkah tahun 1890 (Sumber: KITLV Leiden)

Tantangan ibadah haji makin berat tahun ke tahun. Dikutip dari buku Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Jilid VIII karya Soedarso Soekarno, salah satu tantangan yang dihadapi jemaah haji kala itu adalah ibadah yang memakan waktu lama.

Saat itu, sebelum ada kapal uap, jemaah berangkat haji menggunakan perahu layar menuju Aceh. Dari sana mereka menumpang kapal dagang menuju India. Tak ada kapal yang langsung membawa mereka ke Makkah. Setelah dari India, mereka melanjutkan perjalanan menaiki kapal ke Yaman. Jika beruntung, mereka mendapatkan kapal yang langsung ke Jeddah.

Rute perjalanan ini bisa memakan waktu setengah tahun dalam sekali keberangkatan. Kendala lain yang harus dihadapi jemaah haji adalah karamnya kapal yang ditumpangi hingga mengakibatkan penumpang kapal tenggelam atau terdampar di pulau. Ada pula jemaah haji yang harta bendanya dirampok bajak laut atau malah hartanya dijarah oleh awak kapal itu sendiri sehingga niat berhaji pun kandas.

Perjalanan ibadah haji dari Hindia Belanda mulai dimudahkan ketika Terusan Suez dibangun tahun 1869. Saat itu jumlah kapal uap yang berangkat dari Hindia Belanda menuju Jeddah semakin ramai. Bukan hanya mereka yang berhaji tapi juga yang bermukim di Makkah. Akibatnya jumlah jemaah haji yang pulang ke Tanah Air lebih banyak dibanding yang berangkat.

Perjalanan jemaah haji asal Tanjung Priok, Jakarta menuju Aceh, sebelum berlanjut ke Makkah. Foto tahun 1948 (umber: KITLV Leiden)

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah kolonial. Dikutip dari buku Encyclopaedie van Nederlandsch Indie karya E.J. Brill dan Martius Nijhoff, otoritas di Hindia Belanda kala itu tidak dapat mengawasi aktivitas penduduk Hindia Belanda di luar pelaksanaan ibadah haji. Saat itu pemikiran Pan Islamisme di Timur Tengah sedang marak.

Pemerintah Hindia Belanda khawatir gagasan dari pemikiran itu masuk ke wilayah jajahan dan memunculkan gerakan perlawanan di masyarakat. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda membuka konsulat di Jeddah pada tahun 1872. Di samping itu pemerintah Hindia Belanda juga mulai menangani langsung proses ibadah haji, mulai dari keberangkatan hingga pemulangan ke Tanah Air.

Mulanya semua berjalan lancar. Tapi seiring membludaknya jemaah haji, kapal-kapal pemerintah Hindia Belanda tak mampu lagi mengangkut jemaah. Keputusan selanjutnya adalah melibatkan pihak swasta. Namun keterlibatan itu justru menimbulkan masalah baru. Dikutip dari buku Biro Perjalanan Haji di Indonesia Masa Kolonial: Agen Herklots dan Firma Alsegoff & Co terbitan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dijelaskan, dibuka lebarnya pintu bagi pihak swasta untuk ikut terlibat menangani perjalanan haji menimbulkan akibat buruk.

Pihak-pihak swasta itu mengambil kesempatan mengeruk keuntungan berlebih-lebih, melebihi niat ibadah para jemaah. Orientasi ekonomi berlebihan itu berakibat sengkarut dalam pemberangkatan haji oleh swasta. Calo-calo bermunculan. Mereka adalah orang-orang yang ditugaskan mencari calon jemaah haji sebanyak-banyaknya.

Jika target tercapai, para calo itu akan mendapat imbalan dari pihak swasta, yakni berangkat ke Jeddah secara gratis. Di atas kapal, kegiatan calo ini tak berhenti. Mereka menjadi calo untuk penginapan jemaah di Tanah Suci. Tentu saja mereka meminta uang tambahan dari para jemaah. Bagi jemaah yang kaya raya, persoalan ini mudah saja. Namun tidak begitu bagi jemaah dengan uang pas-pasan.

Untuk memenuhi pembayaran, para calo biasa membujuk jemaah pas-pasan untuk menjual barang berharga dengan nominal sangat kecil. Bahkan banyak jemaah yang diperas habis hartanya hingga tak bisa melanjutkan ibadah haji di Makkah. Uang-uang jemaah itu kerap kali hanya cukup sampai perjalanan ke Singapura. Korban penipuan semacam itu disebut dengan istilah "Haji Singapura."

Selain pemerasan, agen keberangkatan haji swasta juga terlibat banyak penyelewengan. Salah satu kebobrokan yang paling disoroti pemerintah kolonial adalah yang dilakukan agen biro perjalanan haji, Herklots dan Firma Alsegoff.

Pemerasan dan Penipuan Herklots

Berdirinya agen biro perjalanan haji, Herklots dirintis oleh Y.G.M Herklots. Ia adalah seorang Indo-Eropa yang lahir di Jawa. Herklots menjalankan bisnisnya dengan mencater kapal api. Sepak terjang Herklots berawal saat dirinya bertolak ke Jeddah pada 27 Februari 1893. Kala itu ia bertolak ke Jeddah dengan mengatasnamakan Firma Knowles & Co di Batavia.

Dalam menjalankan bisnis liciknya, ia dibantu oleh saudaranya, W.H. Herklots. Sesampainya di Jeddah, Herklots bersaudara membuat biro haji sendiri. Setelah mendapat izin dari pemerintah setempat, legalitas yang telah dikantongi tersebut semakin memuluskan jalan Herklots bersaudara untuk mengeruk keuntungan lewat ritual suci ibadah haji. Caranya dengan meminta uang tambahan kepada jemaah di luar biaya yang telah ditetapkan.

Relasi bisnis Herklots semakin berkembang pula di Tanah Suci. Saat ia kesulitan dana, pengurus Kabah bernama Syeikh Abdul Karim berhasil membantunya mendapatkan pinjaman uang dari penguasa Makkah, Amir (Syarif Besar). Kepada penguasa, Herklots mengaku bernama Haji Abdul Hamid. Dengan teknik kibul itu Herklots mendapat bantuan dana 150 ribu gulden.

Jemaah haji yang menggunakan jasa agen Herklots harus kembali merogoh kocek yang dalam untuk naik unta saat bertolak dari Makkah menuju Jeddah. Setiap jemaah haji dikenai biaya 37 ringgit untuk bisa menaiki unta. Sampai di Jeddah tak lantas membuat jemaah bisa cepat pulang ke Hindia Belanda. Alasannya, jumlah kapal yang dicarter Herklots tak sebanding dengan banyaknya jemaah haji yang harus dilayani.

Dampaknya, dua ribu jemaah haji terkatung-katung dengan waktu lama di Jeddah sambil menunggu kapal carteran Herklots selanjutnya tiba. Pulang ke Tanah Air pun belum tentu menyenangkan. Agen Herklots menyewa Kapal Samoa untuk memulangkan jemaah. Memang, kapal ini cukup besar. Namun tak ada jaminan dari segi keamanan apalagi kesehatan. Apalagi jumlah penumpang yang diangkut berlebih, sehingga kapal penuh sesak --tanpa ventilasi yang memadai-- dari dek atas hingga bawah.

Kacaunya pelayanan Herklots mengakibatkan banyaknya jemaah haji yang lari mengadu ke konsulat Hindia Belanda di Jeddah. Pihak konsulat merespons aduan tersebut dengan meminta otoritas Makkah menghukum Herklots bersaudara dan meminta agen biro Herklots mengembalikan uang jemaah haji yang sudah mereka rugikan.

Sayang, meski sederet pelanggaran nyata dilakukan Herklots, usaha menghukum mereka sia-sia. Gubernur Makkah Ahmad Ratib Pasha mengatakan perbuatan Herklots tidak melanggar aturan di wilayahnya. Hal lain juga yang membuat Agen Herklots sulit dijerat sanksi adalah karena Sang Gubernur turut mendapat keuntungan dari banyaknya jemaah haji yang dibawa Herklots ke Tanah Suci.

Tidak adanya titik temu membuat pemerintah Hindia Belanda melakukan penjemputan terhadap dua ribu jemaah yang tak bisa pulang. Dibantu Inggris, pemerintah Hindia Belanda menggunakan kapal lain. Mereka juga menangkap Y.G.M Herklots dan W.H. Herklots. Keduanya lalu ditahan di Konsulat Hindia Belanda di Jeddah.

Untuk menghukum Herklots, pemerintah Hindia Belanda meminta bantuan pemerintahan ottoman di Turki selaku pemegang kekuasaan di Makkah. Namun pihak Ottoman tak bisa menghukum juga. Mereka kembali merujuk aturan yang diterapkan di Makkah, bahwa tindakan agen Herklots tidak melanggar aturan.

Namun di sisi lain pihak ottoman meminta Konsulat Hindia Belanda di Jeddah tak berlama-lama menahan Herklots dan segera membawanya kembali ke Hindia Belanda. Pada 18 Agustus 1893 Herklots diberangkatkan ke Batavia. Sesampainya di Batavia pada 12 September 1893, Herklots langsung dihadapkan pada Dewan Justisi. Namun lagi-lagi hasilnya agen Herklots tidak dapat dijatuhi sanksi. Dewan Justisi beralasan tak adanya pelanggaran. Herklots divonis tak bersalah.

Jemaah jadi pekerja

Lepas dari jerat hukuman, Y.G.M Herklots kembali melancarkan aksi, yang bahkan lebih gila. Ia kali ini mencari calon jemaah haji untuk dijadikan kuli di wilayah Noumea, Keledonia Baru. Hal ini dilakukan karena ia mendapat pesanan dari Prancis yang saat itu membutuhkan delapan ribu pekerja. Kali ini Herklots bekerja sama dengan Firma Aliste & Co untuk berbisnis tenaga kerja murah dengan Prancis.

Untuk merekrut orang, Herklots menyebarkan iklan berisi iming-iming berangkat haji dengan biaya murah. Bujuk rayu itu berhasil. Empat ratus calon jemaah haji ikut mendaftar. Mereka diberangkatkan dari Pulau Jawa menuju Singapura. Sesampainya di sana, para calon jemaah yang ingin menunaikan ibadah tak kunjung berangkat. Mereka terlantar hingga satu bulan.

Ilustrasi iklan haji perjalanan milik biro Kolff & Co tahun 1935 (Sumber: KITLV Leiden)

Para jemaah yang menuntut kepastian keberangkatan tak mendapatkan hasil. Lalu mereka mengadukan nasib ke Konsulat Hindia Belanda di Singapura. Setelah ditindaklanjuti, konsulat menemukan masalah terhambatnya keberangkatan akibat perusahaan pelayaran, Borneo Company yang menjadi rekan Herklots enggan memberangkatkan jamaah haji ke Tanah Suci. Alasannya, agen Herklots belum membayar lunas biaya angkutan kepada Borneo Company.

Dengan adanya kasus tersebut Y.G.M Herklots hilang meninggalkan begitu saja para calon jemaah haji dan membawa kabur uang mereka. Selain itu Herklots juga membatalkan perjanjian bisnis pekerja murah dengan Prancis dan Firma Aliste. Sejak kejadian itu Herklots berhenti mengeruk bisnis dari perjalan haji dan tidak jelas entah di mana keberadaannya. 

Firma Alsegoff

Selain Herklots, pihak swasta lain yang banyak merugikan calon jemaah haji adalah Firma Alsegoff. Biro perjalanan haji yang berpusat di Singapura ini milik Sayid Muhammad bin Achmad Alsegoff. Firma miliknya saat itu terkenal besar. Tak hanya di Singapura, biro perjalanan yang melayani keberangkatan haji jalur Singapura-Jeddah dan sebaliknya itu juga terkenal di Malaysia dan Indonesia.

Kecurangan yang dilakukan biro ini adalah menjadikan jemaah haji sebagai pekerja perkebunan di Pulau Cocos --sekarang masuk Wilayah Australia, yang tak lain adalah milik Sayid Muhammad Alsegoff sendiri. Tindakan yang berlangsung pada tahun 1892 itu dilakukan untuk menghindari mahalnya upah buruh. Caranya, mereka menjaring jemaah haji yang telah selesai melaksanakan ibadah haji namun tidak memiliki biaya untuk membeli tiket kapal pulang.

Firma Alsegoff menawarkan pinjaman uang kepada para jemaah haji yang kesulitan. Mereka yang menerima pinjaman itu diberikan surat kontrak kerja di Perkebunan Pulau Cocos untuk kemudian mencicil utang mereka, dari upah bekerja hingga dinyatakan lunas dan diperbolehkan pulang ke tempat asal.

Rata-rata jamaah haji diberikan pinjaman sebesar 50 dolar AS. Pengembalian itu dibayar dengan mencicil tiap bulan selama 80 kali. Adapun uang cicilan ditentukan sebesar 2 dolar AS per bulan, dipotong dari gaji mereka yang tiap bulannya menerima 4,5 dolar AS. Kontrak kerja ini pun berjalan semaunya akibat tidak adanya otoritas yang mengontrol.

Banyak buruh yang bekerja di perkebunan itu selama lebih dari sepuluh tahun. Setelah itu baru utangnya dinyatakan lunas. Kecurangan ini lama-lama terendus oleh Konsulat Hindia Belanda di Singapura dan melaporkannya pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Menindaklanjuti laporan itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan surat Nomor 914 tertanggal 12 Desember 1885.

Surat itu menginstruksikan agar kepulangan jemaah haji asal Hindia Belanda via Singapura ditunda. Surat itu juga mendorong agar jemaah haji asal Hindia Belanda dipastikan tak terjerat dalam praktik perbudakan Firma Alsegoff. 

Tahun 1888, Konsulat Hindia Belanda Singapura melapor kepada pemerintah pusat di Batavia bahwa mereka sedang berusaha mengembalikan warga Hindia Belanda yang telah dikirim ke Pulau Cocos agar segera kembali ke Tanah Air. Di sisi lain, upaya Hindia Belanda tak digubris oleh Sayid Muhammad Alsegoff.

Ia tetap memekerjakan jemaah haji di perkebunannya. Pada tahun 1895, Konsulat Belanda berusaha membebaskan para jemaah dari kecurangan tersebut. Menteri Luar Negeri Belanda, tanggal 16 April 1895 membuat surat ke Konsulat Belanda di Singapura, mengajak kerja sama pencegahan praktik curang dari Biro Haji Alsegoff.

Kerja sama juga dikirimkan ke Johor dan Jedah. Keempat otoritas tersebut akhirnya berhasil mencegah praktik curang Alsegoff dengan lebih dahulu menyelamatkan para jemaah yang ingin kembali ke Johor, Singapura dan Hindia Belanda lewat kapal pemerintah. Berkali-kali kembali melakukan praktik tersebut, akhirnya Alsegoff tak memiliki celah akibat ketatnya peraturan yang dibuat. Alsegoff akhirnya menjaring buruh dari Singapura dan Jawa walau tenaga buruh saat itu mahal.