JAKARTA – Sejarah hari ini, 118 tahun yang lalu, 12 November 1904, Penasihat Urusan Bumiputra Hindia-Belanda, Snouck Hurgronje menulis surat untuk Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Snouck menyarankan pemerintah untuk waspada dengan merebaknya paham Pan-Islamisme di Hindia-Belanda.
Sebuah paham yang mengajak kaum Muslim anti-kolonialisme. Snouck menyadari bahwa paham itu akan bahaya jika dibiarkan menyebar. Karenanya, pemerintah kolonial harus segera ambil sikap.
Pemerintah kolonial Belanda awalnya tak pernah membatasi ibadah haji bagi kaum bumiputra. Urusan agama itu diserahkan kepada kaum bumiputra masing-masing. Namun, urusan naik haji nyatanya bukan melulu perihal mendekatkan diri kepada agama, tapi juga mendekatkan dengan paham impor yang berbahaya bagi Belanda. Pan-Islamisme namanya.
Ulama-ulama yang pulang dari ibadah haji lantas menyebar paham itu ke seantero negeri. Pan-Islamisme diajarkan di mana-mana. Masjid jadi sarana utama penyebaran paham yang menolak keras kolonialisme. Narasi pemberontakan mengemuka.
Agenda mengusir Belanda dari tanah Nusantara jadi yang utama. Penguasa Kristen tak boleh memerintah kaum Muslim. Itulah propaganda yang banyak menyebar di Nusanara. Dari ulama hingga jelata.
Akan tetapi, pemerintah kolonial menganggapnya sebagai angin lalu. Belanda merasa memiliki kekuatan yang besar. Mereka menganggap kekuatan yang digalang para ulama takkan mampu merepotkan Belanda.
“Gagasan Pan-Islamisme, apapun itu - gagasan itu adalah hantu yang beredar di mana-mana seperti fundamentalisme Islam zaman sekarang – tidak boleh dibiarkan menyebar ke Hindia Belanda. Keterkaitan dengan kebudayaan Barat adalah rujukan pamungkas bagi koloni. Kebudayaan Islam antitesis terhadap tujuan itu.”
“Setiap indikasi bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka, bukan agama mereka kaum Muslimin lebih memilih cara-cara Islam atau Timur daripada cara-cara Barat dianggap sebagai langkah mundur dalam jalan menuju peradaban dan indikasi dari mentalitas anti-Belanda. Pendidikan dan sekolah dengan fez dipandang sebagai citra nyaris makar oleh sebagian orang, adalah ukuran kesetiaan kepada Belanda atau tingkat keparahan tertularnya seseorang oleh gagasan-gagasan Pan Islamisme,” ungkap Kees van Dijk dalam buku Hindia Belanda dan Perang Dunia I 1914 – 1918 (2013).
Segenap penasihat urusan bumiputra pemerintah kolonial Hindia-Belanda pun berang. Mereka menganggap potensi bahaya besar jika membiarkan Pan-Islamisme terus menyebar. Hal itu dirasakan pula oleh Snouck Hurgronje.
Ia pun tak lelah memperingatkan Belanda untuk waspada. Peringatan itu ditunjukkan Snouck lewat surat kepada petinggi Hindia-Belanda pada 12 November 1904. Ia juga memperingati bahwa Belanda harus waspada kepada pers yang mampu menyulut semangat Pan-Islamisme menyebar.
“Memang benar pengalaman beberapa tahun ini membuat saya takut, bahwa pengaturan secara rasional mengenai soal bangsa Arab di Hindia-Belanda tidak akan terwujud sebelum adanya fakta-fakta mencolok yang akan memaksanya.”
“Namun saya berpendapat, bahwa saya harus memohon agar Pemerintah Pusat sekali-kali menaruh perhatian terhadap pers atau sarana agitasi lain yang bersifat Pan-Islam yang bekerja di negeri ini. Meskipun ini hanya untuk mencegah keragu-raguan, kalau-kalau persoalan ini akan timbul lagi di masa datang,” ungkap Snouck Hurgronje sebagaimana ditulis dalam buku Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936 (1994).