JAKARTA – Sejarah hari ini, 120 tahun yang lalu, 29 Desember 1902, Penasihat Urusan Bumiputra HindiaBelanda, Snouck Hurgronje menulis surat untuk Gubernur Jenderal, Willem Rooseboom. Snouck meminta pemerintah mewaspadai naiknya angka kejahatan di Batavia.
Pemerintah harus waspada dengan kehadiran ‘Pitung-Pitung’ lainnya. Nama itu disebut Snouck karena Pitung dan gerombolannya adalah pejahat legendaris. Aksi Si Pitung hadir di ragam media massa. Tak sedikit yang memujanya karena Pitung mempertontonkan kebodohan polisi Hindia Belanda.
Si Pitung bukan cuma kisah rakyat belaka. Ia pernah hidup di Batavia pada akhir abad ke-19. Namanya memenuhi koran-koran di Batavia. Alih-alih sebagai sosok pembela kebenaran, Pitung justru disebut sebagai perampok ulung.
Semua itu karena aksi nekatnya merampok keluarga kaya raya. Dari keluarga Belanda hingga bumiputra. Ia tak sendirian dalam menjalankan aksinya. Rekan-rekannya – Abdul Rahman, Moejeran, Merais, Dji-ih, dan Gering—kerap menemani Pitung beraksi. Pitung dan gerombolannya bahkan tak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melancarkan aksinya.
Sejarawan Margreet van Till mengungkapkan eksistensi pertama Pitung terekam dalam surat kabar Hindia Olanda pada pertengahan 1892. Harian berbahasa Melayu itu mengawali keterkenalan sosok Pitung. Disebutkan nama Pitung diucapkan dengan ragam lafal.
Ada yang menyebutnya Bitoeng. Ada pula yang memanggilnya Pitang. Pun akhirnya semua serempak menyebut ahli maen pukulan asal Rawa Belong itu sebagai Pitung. Kepopuleran aksinya mendapatkan simpati segenap kaum bumiputra. sebab, yang dirampoknya adalah keluarga kaya raya.
Lebih lagi, sosok pitung kerap bikin pusing dan mempermalukan polisi di Batavia. Pitung acap kali memiliki ajian untuk dapat lepas dari polisi. Apalagi penjara.
“Sebulan kemudian dilakukan penggeledahan di rumah (Pitung) mereka lagi. Di sebuah lubang tanah di rumahnya ditemukan 125 gulden berikut hasil rampokan dari dua perampokan besar saat itu, yaitu pembobolan rumah Nyonya de C. dan rumah Haji Haji Sapiudin, seorang keturunan Bugis dari Marunda.”
“Pada malam anatara 30-31 Juli 1892, Si Pitung bersama lima orang dari gerombolannya (Abdul Rahman, Moedjeran, Merais, Dji-ih, dan Gering) dengan dipersenjatai pistol menyusup masuk ke rumah haji. Salah seorang bandit mengancam pemilik rumah dengan senjata api. Tembakan dilepaskan rekannya supaya penghuni kampung tak mendekat,” terang Margreet van till dalam buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2018).
Boleh jadi aksi Pitung di Batavia tak lama. Ia mampu dilumpuhkan Schout Hinne pada Oktober 1893. Namun, gema popularitas Pitung tak berkesudahan. Banyak kisah dari mulut ke mulut yang menyebut kehebatan Pitung. Ia pun dielu-elukan sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Utamanya karena lawan Pitung adalah orang Belanda.
Kabar angin terkait kehebatan Pitung kemudian mengganggu pikiran Snouck Hurgronje. Penasihat Urusan Bumiputra Hindia-Belanda itu berharap supaya pemerintah selalu waspada dengan meningkatnya angka kejahatan.
Ia tak ingin ‘pitung-pitung’ lainnya kembali mengganggu keamanan pemerintah. Ia pun mengungkap hal itu lewat sepucuk surat kepada Gubernur Jenderal, Willem Rooseboom pada 29 Desember 1902.
“Di Betawi dan Maester Cornelis (kini: Jatinegera), enam sampai delapan tahun yang lalu ketidaknyamanan jauh lebih besar daripada sekarang. Residen Von Schmidt kehilangan akal karena harus mengadakan operasi yang sia-sia melawan Pitung dan teman-temannya, serta karena banyaknya peristiwa perampokan di jalan dan pembobolan rumah yang kurang ajar.”
“Polisi rupanya tidak berdaya menghadapinya. Di samping kemiskinan yang makin bertambah yang telah disebut oleh Brooshoft dan dilengkapi lagi oleh Residen dengan beberapa sebagai sampingan, para pegawai bumiputra menyebut hal yang berikut sebagai faktor penting yang menyebabkan berkurangnya keamanan,” ungkap Snouck Horgronje dalam buku Nasihat-Nasihat C. Hurgronje Semasa Kepegawaiannya di Hindia-Belanda 1889-1936 Jilid IV (1991).