Bagikan:

JAKARTA - Pakar sejarah asal Australia, Lance Castles pernah membuat gempar. Tulisannya The Ethnic Profile of Jakarta (1967) belakangan mengganggu seisi Tanah Betawi. Ia berpendapat bahwa etnik Betawi baru muncul pada abad ke-20. Itupun unsur pembentuk dominannya berasal dari budak-budak.

Dedengkot Betawi sewot bukan main. Ridwan Saidi, apalagi. Budayawan Betawi itu menyebut kesimpulan yang diungkap Castles gagabah. Orang Betawi bukan keturunan budak seperti yang diungkap Lance Castles.

Eksistensi Batavia (kini: Jakarta) sebagai bandar dagang tiada dua. Status itu membuat peneliti dari berbagai bangsa datang mempelajari seluk-beluk kota yang pernah menjadi penanda kebesaran Maskapai Dagang Belanda, VOC. Lance Castles, salah satunya. Pakar sejarah asal Australia itu datang dan meneliti terkait perkembangan kota Batavia.

Hasil penelitiannya itu dimuat dalam Jurnal Indonesia terbitan Cornell University pada 1967. The Ethnic Profile of Jakarta dipilih sebagai judulnya. Tulisannya mendapatkan reaksi baik. Banyak yang kagum dengan analisis yang dikemukan Castles. Banyak pula yang mengutipnya.

Utamanya, perihal salah satu unsur dominan dari terbentuknya etnik Betawi. Ia mengungkap kehadiran para budak adalah muara munculnya orang Betawi. Castles menarik kesimpulan itu melirik dari awal kuasa VOC di tangan Gubernur Jenderal, Jan Pieterszoon Coen.

Tulisan Lance Castles berjudul The Ethnic Profile of Jakarta (1967) yang diterbitkan menjadi buku oleh Komunitas Bambu: Profil Etnik Jakarta (Cetakan ke-2| 2017). (VOI/Detha Arya Tifada)

Ia melihat kehadiran Coen memiliki peran sentral. Coen berani menaklukkan Jayakarta (vasal Kesultanan Banten). Ia kemudian membangun kota baru. Batavia, namanya. Namun, Coen sadar diri orang Belanda takkan cukup dalam membangun Batavia.

Coen mendatangkan ragam suku bangsa. Dari warga bebas dan juga budak. Kedatangan itu menjadi awal cerita kehadiran banyak budak di Batavia. Kemudian, alasan itu membuat Castles menganggap orang Betawi keturunan budak.

“Para penduduk bebas lainnya adalah orang-orang Moor (orang Muslim dari India Selatan), Maluku, Bali Bugis dan Ambon. Meskipun demikian, jumlah penduduk bebas di Batavia lama secara umum jumlahnya kalah besar jika dibandingkan dengan para budak. Pada awalnya, Belanda membawa para budak ini dari wilayah Asia Selatan, yaitu dari pantai Coromandel, Malabar, Bengal, dan dari Arakan di Burma,”

“Secara bertahap – terutama setelah perusahaan Dagang Hindia Timur menyerahkan basisnya di Arakan (1665) – kepulauan Nusantara menjadi sumber utama yang menyediakan budak. Dalam perkembangan selanjutnya, Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, Nias, Kalimantan, dan Pampanga di Luzon turut menyumbang pasokan budak. Tetapi, sumber-sumber utama yang secara konsisten menjadi pemasok budak adalah Bali dan Sulawesi Selatan,”terang Lance Castle dalam tulisannya yang kemudian dijadikan buku oleh Komunitas Bambu berjudul Profil Etnik Jakarta (2017).

Kritik Ridwan Saidi

Awal mula tulisan Castles tak menjadi masalah. Tulisan dianggap begitu penting sebagai sumbangan ilmu pengetahuan terkait tumbuh kembang Jakarta. Namun, belakangan orang Betawi banyak yang tersinggung.  

Sejarawan dan pendiri Komunitas Bambu, JJ Rizal menerangkan tulisan itu baru menjadi polemik karena banyak tokoh sejarah, antropologi, dan mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI) mengutip tulisan Castles ketika berbicara terkait orang Betawi. Seraya mengamini orang Betawi keturunan budak.

Dedengkot etnik Betawi sewot bukan main. Ridwan Saidi, apalagi. Ia tak terima dengan kesimpulan Castles yang menyebut orang Betawi keturunan budak. Ia pun menantikan kesempatan berjumpa secara langsung dengan Castles untuk beradu data dan argumen.

Pucuk dicinta ulam tiba. Keduanya –Ridwan Saidi dan Lance Castles—berjumpa dalam sebuah diskusi terkait asal-usul orang Betawi. Diskusi itu dilangsungkan di Gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta pada 3 Desember 2001.

Dalam diskusi itu, Castles baru tahu tulisannya membuat tersinggung orang Betawi. Ridwan Saidi menyebut orang Betawi bukan budak. Ia memaparkan bahwa orang Betawi bukan muncul pertama kali ketika Kompeni masuk Jakarta. Lebih dari itu, orang Betawi sudah ada sejak dulu kala, sejak zaman batu baru (Neolitikum).

Gambar aktivitas budak membangun Kasteel Batavia karya Johannes Rach. (Wikimedia Commons)

Orang Betawi sudah tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Pun orang Betawi diyakini bukan keturunan budak seperti yang diungkap Castles. Orang Betawi keturunan orang mulia (warga bebas) yang mendiami Kampung Warakas. Sebuah kampung cikal-bakal Kerajaan Salakanegara.

Karenanya, orang Betawi sudah ada. Bahkan, jauh sebelum VOC menaklukkan Jayakarta. Anggapan itu dibuktikan dengan kehadiran pelabuhan Sunda Kelapa yang telah kesohor sedari dulu sebagai pelabuhan strategis.

“Kapak batu adalah alat produksi manusia zaman lampau yang serba guna, sebelum mereka membuat pacul untuk bertani. Hasil ekskavasi di Jakarta tahun 1970-an, kapak batu hampir merata ditemukan diseluruh Jakarta, yaitu di Cengkareng, Sunter (Sontar), Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung (Timur).”

“Lenteng Agung, Klapa Dua, Cipete, Pasar Jumahat, Karang Tengah, Ciputat (Tangerang), Pondok Jengkol (Tangerang), Pondok Cabe (Tangerang), Cipayung (Tangerang), Serpong (Tangerang). Penemuan kapak batu itu membuktikan sejak 3.000 sampai 4.000 tahun lalu tingkat penyebaran penduduk di Kalapa begitu merata. Inilah manusia proto Betawi,” ungkap Ridwan Saidi dikutip Heru Erwantoro dalam tulisannya di Jurnal Patanjala berjudul Etnis Betawi: Kajian Historis (2014).