Bagikan:

JAKARTA - Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) adalah ulama kesohor di seantero negeri. Ilmu dan pandangannya terkait Islam tiada yang meragukan. Orde Baru (Orba) pun kepincut. Pemerintah Orba lalu mengangkat Hamka sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama.

Pria yang akrab disapa Buya Hamka itu menjalankan jabatan dengan amanah. Pun ia kerap berseberangan dengan pemerintah Orba. Termasuk kala ia mengeluarkan Fatwa haram untuk umat Islam hadiri ibadah Natal.

Presiden Soeharto memahami benar besarnya pengaruh Islam di Indonesia. Kekuatan Islam tiada dua. Apalagi sebagai agama mayoritas. Orba tak bisa terus menjauhkan Islam dalam praktek bernegara. Ia pun mencoba mendobrak pakem yang ada.

Politik merangkul umat Islam kemudian dimainkan. Semua itu dilakukan Soeharto untuk mengontrol umat Islam. Pendirian MUI jadi ajiannya. The Smiling General pun menunjuk ulama karismatik Buya Hamka sebagai Ketua Umum MUI yang pertama.

Hamka (duduk) bersama Natsir (kiri) dan Isa Anshary (kanan). Mereka sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Soekarno akibat adanya kaitan petinggi partai Masyumi dengan pemberontakan PRRI. (Wikimedia Commons)

Penunjukkan itu bukan tanpa alasan. Ia melihat pengaruh besar Buya Hamka yang tak hanya mampu menyatuhkan umat Islam, tetapi umat beragama lainnya. Pemilihan Buya Hamka pun disambut dengan gegap gempita oleh segenap rakyat Indonesia.

Buya Hamka dielu-elukan dapat membawa kemajuan bagi umat Islam. Namun, pandangan Orba lain sendiri. Mereka menganggap Buya Hamka dapat menjadi corong pemerintah untuk melanggengkan kontrol terhadap umat Islam. Harapan Orba pun sia-sia belaka.

Buya Hamka tak mau diatur pemerintah, terutama urusan agama Islam. Buya Hamka menolak keras ketika Orba ingin merayakan Hari Raya Idul Fitri dan Natal secara bersamaan. Perintah itu dianggapnya seraya pemerintah menganggap perihal agama hanya iseng belaka.

“Satu penerapan menarik gagasan itu terjadi pada Desember 1968, ketika kebetulan dua hari besar Islam dan Kristen hanya berjarak lima hari: Idul Fitri pada 21 Desember dan Natal pada 25 Desember. Muncul insprasi (sebagaimana Hamka Catta dengan miris) di antara beberapa kepala jawatan dan menteri kabinet Orba.”

Buya Hamka sewaktu muda. (Wikimedia Commons)

“Muncul surat perintah yang menyatakan perayaan Natal dan Idul Fitri (terutama halal bihalal) digabung menjadi satu di kantor-kantor pemerintah dengan dipimpin pendeta Kristen dan ulama Muslim. Terperangahlah Hamka. Hanya orang-orang yang tak menganggap serius agama (orang yang menganggap agama itu hanya iseng) yang bakal menerima hal seperti itu,” terang James R. Rush dalam buku Adicerita Hamka (2017).

Buya Hamka pun memilih berseberangan dengan pemerintah Orba. Ia menganggap perihal agama bukan perkara main-main. Ia pun mengeluarkan sebuah fatwa haram yang menegaskan umat Islam dilarang merayakan Natal secara bersama-sama pada 1981.

Larangannya itu dikhususkan Buya Hamka kepada umat Muslim yang hadiri ritual Natal. Akan tetapi, fatwa Hamka sebatas larangan hadiri ibadah Natal. Sedang Hamka tak melarang Umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal. Orba yang sedang mengkampanyekan kerukunan beragama marah bukan main dengan keputusan Hamka.

Ia diminta untuk mencabut fatwa tersebut. Namun, pendirian Hamka akan agama tak bisa diubah. Apalagi fatwa itu adalah sepenuhnya urusan agama Islam. Alih-alih luluh, Hamka justru memilih mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI dibanding harus mencabut fatwa pada 19 Mei 1981.

Buya Hamka saat menjamat Ketua Umum MUI. (Wikimedia Commons)

“Sewaktu MUI mengeluarkan fatwa haram hukumnya bagi umat Islam mengikuti perayaan Natal bersama, pemerintah keberatan atas fatwa tersebut. Karena bertentangan dengan pemerintah, ayah kemudian mengambil sikat tegas, menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI Pusat.”

“Setelah tersiar berita ayah mengambil keputusan mundur dari Ketua Umum MUI, banyak tokoh-tokoh Islam mengucapkan selamat kepada ayah atas sikap yang tegas itu. termasuk tokoh mubaligh yang selalu menghujat ayah. Sambil merangkul ayah, ia meminta maaf atas sikapnya selama ini,” ungkap anak Buya Hamka, Irfan Hamka dalam buku Ayah: Kisah Buya Hamka (2013).