Bung Hatta Sebut Jepang Ancaman Bagi Kemerdekaan Indonesia dalam Sejarah Hari Ini, 23 Desember 1941
Moh. Hatta didampingi seorang perwira berjalan melintasi barisan TNI pada 1949. (ANRI/IPPHOS)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 23 tahun yang lalu, 23 Desember 1941, pejuang kemerdekaan Mohammad Hatta menyebut Jepang sebagai ancaman terhadap kemerdekaan Indonesia. Penyataan itu diungkap Hatta lewat tulisannya di surat kabar Pemandangan.

Hatta mengungkap pecahnya Perang Pasifik jangan membuat kaum bumiputra kehilangan fokus. Tujuan utama tetap Indonesia merdeka. Sebelumnya, Hatta tak memiliki masalah dengan Jepang. Ia bahkan disanjung media massa Jepang sebagai Gandhi of Java.

Bung Hatta melawat pertama kali ke Jepang pada 1933. Kala itu, ia diajak pamannya, Mak Etek Ayub Rais ikut dalam perjalanan bisnis ke Jepang. Hatta sedang bukan main. Demikian pula Ayub Rais yang notabene dikenal sebagai pengusaha asal Bukittinggi.

Hatta pun dijadikan Ayub Rais sebagai penasihatnya. Hatta tak masalah untuk itu. Apalagi kedatangan keduanya bukan dalam rangka politik, tapi bisnis. Ayub Rais ingin melihat sejauh mana perkembangan industri Jepang. Sedang agenda lainnya adalah Ayub Rais membangun jaringan bisnis dengan pengusaha setempat.

Wakil Presiden Moh. Hatta bersulang minuman dengan Presiden Sukarno 1950. (ANRI/IPPHOS)

Nyatanya keberangkatan Hatta diketahui pihak Jepang. Segenap surat kabar di Jepang memberitakan kunjungan Hatta. Mereka mewancarai Hatta. Media massa Jepang pun ramai-ramai menyebut Hatta sebagai Gandhi of Java.

Hatta meyakini ada unsur politis dari julukan itu. Sebab, belakangan ia menganggap Jepang telah mencari dukungan kepada pejuang kemerdekaan untuk mendukung upaya invasi mereka. Hatta pun berhati-hati dalam kunjungan ke Jepang. Ia tak mau dianggap bekerja sama dengan imperialis Jepang. Menurutnya Jepang dan Belanda tiada beda.

“Beberapa minggu lamanya keduanya berada di Jepang, bukan saja mengunjungi berbagai perusahaan, termasuk industri, tetapi juga sekolah dan tentu hal-hal lain yang pantas dilihat dalam berkunjung ke negeri orang, termasuk ke tempat-tempat wisata.”

“Tetapi, yang merisaukan Hatta ialah ketika ia disebut di koran Jepang sebagai Gandhi of Java, yang dilihat bukan sekadar sebagai seorang pejuang, tetapi menyebabkan pihak pemerintah Jepang berusaha menghubunginya untuk kepentingan politik ekspansi Jepang di Asia. Apalagi Hatta pernah mengemukakan ketika berada di Belanda bahwa Perang Pasifik, yang akan sangat melibatkan Jepang akan pecah,” ungkap Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (2012).

Perang Pasifik pun pecah. Namun, pandangan Hatta terhadap Jepang tak berubah. Hatta tak bersimpati terhadap Jepang. Ia menolak dengan tegas kegiatan imperialis Jepang. Pandangannya terkait Jepang disuarakan Hatta di mana-mana. Surat kabar Pemandangan, misalnya.

Wakil Presiden Moh. Hatta di Bandara Maguwo, Yogyakarta pada 1950. (ANRI/IPPHOS)

Hatta menulis di surat kabar Pemandangan supaya kaum bumiputra mewaspadai gerak-gerik Jepang pada 22 dan 23 Desember 1941. Hatta pun meminta kaum bumiputra tak mendukung kelompok sekutu atau Jepang.

Hatta menganggap Jepang tak ubahnya ancaman bagi kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, kaum bumiputra harus fokus ke hal yang lebih penting: Kemerdekaan Indonesia. Sekalipun kemudian Hatta akhirnya memilih berkolaborasi dengan Jepang karena kaum bumiputra dijanjikan kemerdekaan. 

“Sikap Hatta yang antifasis dan imperialis Jepang tergambar dalam sebuah artikel yang dimuat dalam surat kabar Pemandangan tanggal 22 dan 23 Desember 1941. Hatta yang waktu itu masih dalam pengasingan di Banda Neira antara lain menulis: Pada fasisme tidak dapat dikemukakan cita-cita untuk menentukan nasib sendiri. Niat kita dalam perang sekarang ini tidak lain melainkan fasisme hancur lebur sama sekali, sebab Jepang yang imperialistis adalah ancaman yang sehebat-hebatnya bagi Indonesia," terang Marwati Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (2008).