JAKARTA - Soekarno dan Dipa Nusantara (D.N) Aidit pernah berada dalam satu kantor. Keduanya tergabung dalam organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Alih-alih memiliki hubungan baik, Keduanya digambarkan sering berselisih.
Namun, semua berubah ketika Indonesia merdeka. Soekarno dan Aidit menjelma jadi teman baik. Soekarno banyak mendukung Aidit dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedekatan itu terlihat ketika Soekarno datang ke hajatan ulang tahun PKI ke-45 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK).
Penjajah Jepang pernah mencoba merangkul kaum bumiputra. Mereka pun menyiapkan wadahnya. Putera, namanya. Organisasi yang didirikan pada 16 April 1943 dibuat untuk mendukung pemerintahan Jepang. Putera pun dipimpin oleh tokoh bangsa kehosor. Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kiai Haji Mas Mansyur.
Tokoh bangsa pun memanfaatkan Putera secara maksimal untuk menegakkan narasi kemerdekaan Indonesia. Banyak di antara pemuda pejuang kemerdekaan Nusantara diajak bergabung ke Putera. Dipa Nusantara Aidit, salah satu.
Kehadiran Aidit dianggap mampu membawa warna baru dalam pergerakan Putera. Mohammad Hatta sampai kepincut dengan kinerja dan idealisme Aidit. Begitu pula sebaliknya. Aidit lalu disebut-sebut sebagai anak emasnya Bung Hatta. Perlakuan yang berbeda justru dirasakan Aidit ketika berjumpa dengan Bung Karno. Tiada rasa hormat Aidit kepadanya.
Aidit pernah tak berdiri memberikan salam ketika Soekarno masuk. Bung Karno pun geram. Ia menanyakan langsung kenapa Aidit tak hormat. AIdit menjawab seperlunya dan Bung Karno tak puas. Bung Hatta mencium ada potensi permusuhan antara Soekarno dan Aidit jika tak dipisahkan. Ia pun memindahkan Aidit ke kantor Putera di Bandung sebagai solusi.
“Menurut pengakuan Moh. Hatta, melihat situasi semacam itu, akhirnya Hatta memutuskan untuk memindahkan D.N. Aidit ke kantor yang agak berjauhan tempat. Kalau Hatta membiarkan D.N. Aidit berada di tempat semula, hanya merepotkan dirinya saja. Tampaknya Hatta mengerti betul tabiat kawan seperjuangannya, Soekarno.”
“Sebenarnya pengakuan Moh. Hatta, telah menunjukkan bahwa Soekarno dan D.N. Aidit mempunyai bibit-bibit saling tidak menyukai satu sama lain. Namun, dalam perjalanannya, masyarakat politik kemudian melihat hubungan Soekarno dengan D.N. Aidit begitu mesra. Sebagaimana yang diperlihatkan di dalam perayaan ulang tahun PKI ke-45. Indonesia di bawah Demokrasi Terpimpin semakin bergeser ke kiri saja,” ungkap Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014).
Soekarno dan Ulang Tahun PKI
Bibit-bibit saling tak menyukai antara Bung Karno dan AIdit, sebagaimana diungkap Bung Hatta nyatanya tak abadi. Sejarah membuktikan hubungan keduanya mencapai titik paling mesra pada tahun 1965. Soekarno yang menjabat sebagai Presiden Indonesia banyak mendukung aktivitas politik dari partai yang dipimpin AIdit: PKI.
Kemesraan itu terlihat dalam perayaan hari ulang tahun PKI ke-45 yang digelar di Stadion Utama GBK pada 23 Mei 1965. Sedang GBK sendiri notabene dikenal sebagai mimbar megah yang didirikan Soekarno untuk mengumpulkan massa.
Poster-poster wajah Soekarno dan Aidit terpampang di seantero jalanan ibu kota. Wajah keduanya bahkan disandingkan dengan tokoh revolusioner luar negeri. Dari Lenin hingga Karl Marx. Belum lagi, bendera Palu Arit banyak sebar di kampung-kampung. Suatu Penanda PKI sedang sedang berpesta.
Di dalam stadion tak kalah gegap gempita. Ratusan ribu simpatisan PKI menyambut kehadiran Soekarno dan Aidit. Soekarno pun berpidato mengungkapkan kekagumannya terhadap PKI. Momentum keduanya berangkulan pun disambut dengan tepuk tangan yang bergemuruh.
"Aku, sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Mandataris MPRS, memang merangkul PKI. Sebab, siapa yang bisa membantah bahwa PKI adalah unsur hebat dalam penyelesaian Revolusi Indonesia? PKI telah menjadi semakin kuat. PKI kini beranggotakan tiga juta orang, Pemuda Rakyat tiga juta orang, simpatisannya 20 juta orang.”
“Apa sebab PKI bisa jadi demikian besar? Oleh karena PKI konsekuen progresif revolusioner. Aku berkata, PKI yo sanak-ku, ya kadang-ku, yen mati aku melu kelangan," kata Sukarno dengan sangat bersemangat sebagaimana ditulis Julius Pour dalam buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010).