JAKARTA - Bencana gempa bumi kerap menghampiri Bumi Nusantara. Bahkan, semenjak sebelum zaman penjajahan Belanda. Kerugian yang ditanggung akibat gempa bejibun. Pun kerugian yang paling besar adalah hilangnya nyawa manusia.
Namun, gempa bumi justru menjadi pelajaran berharga bagi segenap arsitek di Hindia-Belanda. Charles Prosper Wolff Schoemaker, salah satunya. Mahaguru Soekarno itu mulai beradaptasi dengan lingkungan di Hindia-Belanda. Ia pun menelurkan banyak bangunan tahan gempa bumi.
Kondisi Hindia-Belanda (kini: Indonesia) yang rawan gempa bumi telah berlangsung sejak dulu kala. Posisi Nusantara yang dilalui jalur gunung api aktif di dunia jadi muaranya. Kondisi itu sempat dituturkan oleh Letnan Gubenur Hindia-Belanda, Thomas Stamford Raffles (1811-1816) dan naturalis Alfred Russel Wallace.
Keduanya beranggapan gempa bumi adalah kejadian biasa di Nusantara. Sebab, kehadiran gempa terlampau sering terjadi. Apalagi tiada yang dapat memprediksi kapan gempa terjadi. Penduduk Nusantara pun dianggap telah memahami perihal gempa bumi. Kala, gempa terjadi mereka berlomba-lomba keluar menyelamatkan diri keluar dari bangunan.
Kadang kala aktivitas itu laksana hiburan. Panik dahulu, kemudian setelahnya mengundang tawa. Namun, tak selamanya seperti itu. Ada kalanya gempa bumi mendatangkan tangis dan duka. Utamanya gempa yang berkekuatan besar.
Bangunan banyak roboh. Korban jiwa apalagi. Kondisi itu kerap membawa trauma yang mendalam. Segenap arsitek di Hindia-Belanda mencoba mendobraknya. Mereka berusaha beradaptasi dengan keadaan.
Mereka mengetahui lingkungan Nusantara akrab dengan gempa. Sebagai solusi, bangunan yang dirancang mulai dibangun dengan standar baru: tahan gempa. Mereka mengupayakan semua bangunan yang dibangun dapat meminimalisasi dampak dari guncangan keras gempa bumi.
“Pada masa akhir kolonialisme, bangunan dan rumah tinggal di daerah perkotaan yang lebih padat, dirancang para arsitek yang tinggal dan bekerja di Hindia-Belanda. Bagian terbesar produksi arsitektural masa kolonial dikerjakan dan dirancang para arsitek yang mendapatkan pendidikan arsitektural di negerí Belanda, atau tempat lain di Eropa, tetapi berpraktik di Hindia. Para arsitek ini harus menyelesaikan berbagai masalah yang spesifik yang terkait dengan keadaan lokal dan iklim.”
“Kadang mereka harus memikirkan kembali keahlian profesional mereka, dan membuang pengetahuan dunia Barat mereka yang dianggap mubazir di Hindia. Di Hindia mereka harus memperhitungkan kemungkinan adanya gempa bumi atau membuat atap dengan teritisan yang lebih lebar untuk mengatasi air hujan dan sinar matahari panas-air condition bukan sesuatu yang umum saat itu. Begitu juga fasad ganda, yang digabungkan dengan ventilasi yang dibutuhkan,” ungkap Cor Passchier dalam buku Tegang Bentang: Seratus Tahun Perspektif Arsitektur di Indonesia (2012).
Bangunan Tahan Gempa ala Schoemaker
Charles Prosper Wolff Schoemaker adalah salah satu sosok yang menonjol dalam dunia arsitektur di Hindia-Belanda. Kariernya gemilang. Ia jadi salah satu arsitek yang mampu merancang bangunan memadukan adaptasi dari lingkungan Hindia-Belanda yang rawan gempa bumi.
Karya-karyanya acap kali memancing kekaguman. Dari Penjara Societeit Concordia (kini: Gedung Merdeka), Penjara Sukamiskin, Hotel Preanger, hingga Villa Isola. Semua karyanya selalu memiliki benang merah yang bermuara pada satu hal: tahan gempa bumi.
Baginya, arsitek Hindia-Belanda tak boleh melupakan aspek gempa bumi yang sering mengacam bangunan yang ada. Ia pun tak ingin gempa bumi dapat meruntuhkan tiap rancangan. Ia pun menggagas rancangan bangunan dengan penuh kehati-hatian.
Karenanya, kemampuan Schoemaker dalam merancang bangunan tahan gempa bumi tak perlu diragukan. Sebab, Ia adalah seorang profesor dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini: Institut Teknik Bandung). Ia pun mengajar calon arsitek dalam ragam mata kuliah. Sejarah arsitektur dan dekorasi, spesifikasi bangunan, hingga anggaran dan perancanaan kota.
Soekarno, yang kemudian dikenal sebagai Presiden Indonesia pertama adalah murid kesayangannya. Bahkan, Soekarno kerap menyebutnya dengan sebutan mahaguru. Semuanya atas prestasi Schoemaker dalam dunia arsitektur Hindia-Belanda. Apalagi Schoemaker kerap mengajarkan Soekarno banyak hal.
“Sedangkan Schoemaker dalam merancang gedung Villa Isola, sebuah bangunan berlantai tiga, mencoba memadukan konsep arsitektur modern dengan konsep tradisional. Konsep ini dinilai sebagai upaya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang kerap mengalami gempa bumi, iklim tropis, dan kebutuhan sirkulasi udara yang memadai. Sebagaimana umumnya arsitek yang memperoleh pendidikan formal, dalam proses perancangan telah disertakan analisis struktur dan gambar kerja bangunan.”
“Tumbuhnya alam berpikir modern melalui proses pendidikan memiliki arti yang penting pada tumbuhnya kesadaran yang lebih rasional. Sejalan dengan itu, dalam lingkup perkembangan, desain berbasis kesenirupaan mengalami kemajuan semenjak dibukanya Balai Pendidikan Guru Gambar di Technische Hoogeschool (THS) pada tahun 1947. Meskipun di awal pertumbuhannya, balai ini lebih berorientasi pada upaya melahirkan guru gambar, pada tahapan berikutnya balai ini mengarah pada upaya melahirkan seniman dan perancang profesional,” ungkap Agus Sachari dalam buku Budaya visual Indonesia (2007).