JAKARTA – Sejarah hari ini, 73 tahun yang lalu, 22 Mei 1949, dosen sekaligus mentor Bung Karno di bidang arsitektur, Charles Prosper Wolff Schoemaker meninggal dunia. Sebagai bentuk penghormatan terakhir, Bung Karno sendiri merancang nisannya.
Nisan itu kini berdiri tegak di Ereveld Pandu, Bandung. Penghargaan dari Bung Karno sebagai bentuk baktinya kepada Schoemaker. Semasa hidupnya, Schoemaker acap kali mendukung penuh Bung Besar. Pun dirinya menjadi pendukung utama Bung Karno merancang sebuah rumah besar: Indonesia.
Tiap perjuangan membutuhkan mentor yang tepat. Seorang mentor yang dapat membakar semangat. Seorang mentor yang dapat menginspirasi. Bung Karno pun begitu. Siapa saja mampu dijadikannya sebagai mentor. Dari seorang petani hingga dosen. Itulah yang terjadi ketika Bung Karno muda mengenyam pendidikan tinggi di Technische Hoogeschool Bandung (kini: Institut Teknologi Bandung).
Ia mengaku kagum dengan dosennya yang sering disebut mahaguru, Schoemaker. Pandangan Schoemaker banyak membentuk kepribadian Bung Karno, terutama perkara kemanusiaan dan antikolonialisme.
Soekarno juga merasa cocok dengan Schoemaker. Bung Karno banyak mendukung kiprah Schoemaker. Begitu pula sebaliknya. Schoemaker kerap membantu Bung Karno dalam belajar maupun berjuang. Apalagi ketika Bung Karno membutuhkan uang untuk menghidupi keluarga dan pemikirannya di Bandung.
Schoemaker jadi salah satu yang terdepan menawarkan pekerjaan. Sebuah pekerjaan yang tak jauh dari bakat Bung Karno, yakni arsitek. Karenanya, hubungan dosen dan murid itu jadi langgeng. Keduanya cocok dalam banyak hal. Utamanya, arsitektur, seni, bahkan wanita cantik.
“Di kampus, dia dikenal dekat dengan kelompok kecil mahasiswa pribumi yang memulai aktivitas nasionalis. Di antaranya Bung Karno, salah satu mahasiswanya yang paling cemerlang. Selain aktivitasnya sebagai arsitek dan akademikus, Schoemaker aktif dalam berbagai organisasi seni."
"Di antaranya Bandung Art Circle. Schoemaker juga dikenal sebagai pematung dan pelukis. Salah satu karya patungnya yang terkenal adalah Monumen De Groot, yang dibangun di Taman Citarum, Bandung. Saat ini monumen itu sudah digantikan dengan bangunan masjid dan Sekolah Istiqomah,” pungkas Amandra M. Megarani dkk dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Tiga Agama Schoemaker (2016).
Schoemaker pun menjadi saksi dari ragam mimpi Soekarno. Termasuk keinginan Bung Karno membangun rumah besar: Indonesia. Hubungan keduanya tak pernah benar-benar putus. Sekalipun Bung Karno kemudian dipenjara dan diasingkan. Berkirim surat pun jadi ajian.
Selepas Indonesia merdeka, gantian Bung Karno yang jadi juru selamat. Schoemaker yang kala itu ditahan penjajah Jepang dibebaskan oleh Bung Karno. Keduanya pun terus menjaga hubungan dengan berkirim surat, sebelum akhirnya Schoemaker meninggal dunia pada 22 Mei 1949.
“Salah seorang mahaguru, Professor Ir. Wolff Schoemaker, adalah seorang besar. Ia tidak mengenal warna kulit. Baginya tidak ada Belanda atau Indonesia. Baginya tidak ada pengikatan atau kebebasan. Dia hanya menundukkan kepala kepada kemampuan seseorang,” cerita Bung Karno dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).