JAKARTA - Mohammad Hatta adalah pecinta buku sejati. Ia gemar membaca buku apa saja. Dari sejarah hingga politik. Aktivitasnya itu acap kali dilakoni ketika senggang. Apalagi Bung Hatta lebih suka ketenangan dalam membaca buku. Pun buku selalu menemani Bung Hatta berjuang.
Karenanya, koleksi buku Bung Hatta bejibun. Ia membawa 16 peti buku dari Belanda. Koleksi bukunya kian bertambah seiring waktu. Konon, semasa hidupnya, jumlah koleksi buku Bung Hatta mampu mengalahkan Perpustakaan Nasional.
Kedekatan Bung Hatta kepada buku-buku tiada dua. Saban hari Hatta kerap menghabiskan waktu membaca buku. Aktivitas itu bahkan telah dilakoni oleh Hatta sejak masih berada di Tanah Minangkabau. Keluarga Hatta yang kaya raya dan terbuka jadi muaranya. Segala kebutuhan Hatta terkait buku-buku, selalu dipenuhi keluarga. Demi akses Hatta untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, pikirnya.
Bacaan-bacaannya itu kelak membakar semangat Hatta membela kaum bumiputra. Pelajaran-pelajaran baik terkait perjuangan dianalisisnya jadi gagasan. Sebuah gagasan yang menjelma sebagai corong perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Kegemaran Hatta dalam membaca buku terus berlanjut hingga pindah ke Batavia (1919), kemudian Belanda (1921). Ia merasa dengan membaca buku tiada waktu yang terbuang percuma. Bahkan, Hatta lebih memilih menghabiskan waktu dengan membaca buku, dibanding bersenang-senang.
Buku banyak membuka cakrawalanya berpikir. Pun segala macam ilmu pengetahuan dapat bermuara dari buku. Kebutuhannya akan buku makin hari, makin meningkat. Ia pun selalu menyisihkan uang jajannya untuk membeli buku. Alhasil, Bung Hatta jadi insan cerdas dan piawai dalam menekuni aktivitas menulis.
“Ia merasa perlu dekat dengan buku-bukunya, karena memang dengan buku ia bisa menghabiskan waktu dengan berguna. Malah di tempat pembuangannya itu, termasuk Boven Digoel, ia mengatur waktunya dalam hidup sehari-hari. Dalam jam tertentu, terutama bila sedang membaca, ia tidak mau diganggu. Akibatnya, ada di antara kawan sesama orang buangan yang menganggapnya sombong.”
“Dalam hal ini memang banyak orang, termasuk ketika ia sudah menjadi wakil presiden, dan juga sesudah berhenti dari jabatan ini, yang kurang dapat ,memahaminya. Orang tersebut berpikir hanya perlu 10-15 menit, tetapi bila Hatta terpaksa berhenti sekian kali sekian menit dalam seharian – karena banyaknya orang yang mengambil kesempatan untuk bertemu – tentulah akhirnya praktis ia tak bisa bekerja dengan baik,” ungkap Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (2012).
Punya Delapan Ribu Lebih Judul Buku
Di Negeri Belanda, Hatta tak cuma menghabiskan waktu di bangku kuliah belaka. Ia banyak “menghibahkan” waktunya di dunia pergerakan. Dalam Indoinesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia (PI), misalnya. Organisasi itu jadi corong Bung Hatta bersuara untuk kepentingan kaum bumiputra.
Akses akan bahan bacaan menjadi terbuka lebar. Apalagi PI aktif menggelar diskusi-diskusi yang berujung pada pertukaran bahan bacaan. Selain itu, Bung Hatta sendiri aktif berburu buku di luar negeri. Koleksinya perlahan-lahan mulai bejibun. Lebih dari 8 ribu judul. Perkara itu dibuktikan dengan kepulangan Hatta ke Hindia-Belanda pada 1932. Kepulangannya itu membawa serta 16 peti koleksi bukunya.
“Ceritanya sekitar 1932. Bung Hatta baru saja tiba di Batavia dari Nederland setelah berlayar dari Rotterdam, 20 Juli 1932. la mula pertama berkenalan dengan dua bersaudara Djohan Soetan Soeleman dan Djohor Soetan Perpatih di toko mereka di Pasar Senen, ketika ia hendak mengambil buku-bukunya di pelabuhan Tanjungpriok. Karena jumlah bukunya banyak, 16 peti besi, ia terpaksa meminta bantuan untuk mengangkutnya dengan truk kepunyaan Djohan Djohor.”
“Bung Hatta memanggil Djohan maupun Djohor ‘Mak Etek,’ yang sama artinya dengan ‘Macik’ atau ‘Oom’. la tinggal sementara di Jalan Defensielin van den Bosch, mungkin Jalan Bungur Besar sekarang, di rumah Mak Etek Ayub Rais yang juga bekerja pada Djohan Djohor, khusus mengurus soal-soal impor,” ujar P. Swantoro dalam buku Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung jadi Satu (2002).
Buku yang bejibun itu turut pula dibawa Hatta ke pengasingannya di Boven Digoel (1935), kemudian Banda Neira (1936). Alias, di tanah pembuangan pikiran Hatta tetap terasah oleh buku-buku. Hatta pun tak pelit ilmu. Ia turut pula membagikan buku-bukunya di tanah pembuangan.
Bacaan-bacaan dari buku membawa Hatta memerdekakan bangsa Indonesia. Ia pun dikenal sebagai wakil presiden yang doyan baca buku, sama seperti Soekarno. Bahkan, di rumah Bung Hatta koleksi bukunya cukup banyak. Konon, koleksi buku Bung Hatta lebih banyak daripada koleksi milik Perpustakaan Nasional.
“Pada periode sesudah ayah meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden RI, Ayah mempunyai ruangan perpustakaan yang jauh lebih besar daripada yang terdapat di Jalan Medan Merdeka Selatan 13. Ayah mempunyai seorang ahli perpustakaan yang membantunya menata buku-buku sesuai subjeknya, namanya Gustav Apituley, seorang Ambon.”
“Ia melakukan tugasnya dengan baik, dan lebih penting lagi kami sekeluarga dapat menjalin hubungan baik dengannya. Kami juga diperkenalkan dengan istrinya ketika ia menikah. Sayang sekali Gustav sekeluarga hijrah ke Australia dan hingga kini kami tidak pernah bertemu dan mendengar kabar mengenai dirinya sekeluarga lagi,” kenang ana-anak Bung Hatta –Meutia, Gemala, dan Halida—dalam buku Bung Hatta di Mata Ketiga Putrinya (2015).