JAKARTA - Sejarah hari ini, 138 tahun yang lalu, 17 Mei 1884, Stasiun Bandung atau yang populer dengan nama Stasiun Hall diresmikan. Kehadirannya begitu dinanti oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Empunya kuasa tampak sudah tak sabar menanti pundi-pundi pendapatan dari kehadiran Stasiun Bandung. Belanda berharap pengangkutan komoditas ekspor jadi lancar. Demikian pula proses mobiltas manusianya. Karenanya, kehadiran transportasi massal itu dianggap sebagai simbol kemajuan zaman.
Kepopuleran Bumi Priangan (Bandung) sebagai tanah subur tiada dua. Segala macam tanaman komoditas –kopi terutama-- yang ditanam ujungnya pasti bermuara pada satu hal: keuntungan. Bahkan, hal itu telah terjadi sejak zaman Belanda. Dari masa maskapai dagang Belanda, VOC hingga pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Potensi Priangan pun tak bisa dinampik dalam peta kota besar yang menghasilkan pundi-pundi pendapatan bejibun bagi Belanda. Namun, Belanda enggan berpuas diri. Satu-satunya yang mereka inginkan adalah memperoleh keuntungan yang berkali-kali lipat. Sedang kesejahteraan kaum bumiputra yang notabene sebagai tuan rumah diabaikan. Tak cuma sekali, tapi berkali-kali.
Belanda pun mencoba membuat gebrakan. Pembangunan kereta api jadi ajiannya. Ide pembangunan jalur kereta api baru berjalan 1864. Langkah itu cukup memberikan harapan besar bagi Belanda. Impian mereka meningkatkan keuntungan selangkah lagi menjadi kenyataan.
Belanda tak lupa menjadikan Priangan sebagai tempat yang wajib dilalui oleh kereta api. Apalagi sedari dulu keuntungan yang dihasilkan dari penanaman komoditas ekspor di Priangan kerap menjanjikan. Pembangunan jalur Batavia-Bandung lalu disegerakan pada 1880-an.
“Pembangunan jalur kereta api awalnya bertujuan mengangkut barang kemudian juga difungsikan mengangkut penumpang. Keadaan penumpang kereta api dari penumpang Eropa jumlahnya tidak tetap, sedangkan penumpang pribumi selalu mengalami peningkatan.”
“Penumpang pribumi lebih banyak dibandingkan dengan penumpang Eropa. Kereta api digunakan petani menuju tempat kerja yang sebelumnya ditempuh dengan jalan kaki. Penumpang pribumi biasanya menempuh jarak tidak lebih dari 10 km atau dua pemberhentian stasiun saja,” ungkap Prita Ayu Kusumawardhani dalam buku Kereta Api di Surabaya 1910-1930 (2017).
Pembangunan jalur Batavia-Bandung dilakukan secara masif. Demi mendukung mobilitas kereta api, Pemilik konsesi kereta api di Hindia-Belanda, Staatsspoorwegen (SS) juga membangun Stasiun Bandung pada 1884. Stasiun yang dikemudian hari menjadi stasiun terbesar di Bandung, juga Jawa Barat.
Tak lama setelahnya, Stasiun Bandung diresmikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 17 Mei 1884. Peresmian itu menjadi penanda baru eksistensi Belanda di tanah Priangan. Pun sebagai bukti bahwa simbol kemajuan zaman telah masuk gerbang Kota Bandung.
“Jalur jalan kereta api Batavia-Bandung milik Staatsspoor en Tramweggen (sekarang PT Kereta Api Indonesia) diresmikan tanggal 17 Mei 1884. Stasiun Keretá Api di Spoorstraat West (sekarang Jl. Setasiun Barat) dibangun pada tahun 1884 dengan gaya arsitektur campuran kolonial dan China.”
“Tahun 1920 bentuk bangunan setasiun dirombak dan diperbesar dengan gaya arsitektur kolonial Tahun 1931 bangunan Setasiun dirombak total dan dibangun kembali berdasarkan rancangan arsitek Dr. Ir. J W. ljzerman dengan gaya asitektur Art Deco,” tutup Sudarsono Katam dalam buku Bandung: Kilas Peristiwa di Mata Filatelis (2006).
Peresmian Stasiun Bandung pada 17 Mei 1884 menjadi catatan penting sejarah hari ini, tentang perkereta apian di Indonesia.