Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 17 tahun yang lalu, 25 April 2005, Stasiun Kereta Api Jakarta Kota (Beos) semakin paripurna dikenal sebagai bangunan cagar budaya. Status itu didapat dari dua surat keputusan (SK) sekaligus. SK Gubernur tahun 1993, dan yang terbaru SK Menteri.

Penetapan itu tak melulu karena arsitektur bangunan stasiun yang unik. Stasiun Jakarta Kota justru dianggap pemerintah Indonesia mempunyai andil besar dalam manajemen lalu-lintas kereta api di Jakarta. Pun bangunan itu memiliki sejarah panjang bagi tumbuh kembang Jakarta.

Kereta api pernah menjadi transportasi yang paling bernilai di Hindia-Belanda. kehadirannya dianggap sebuah kemenangan besar umat manusia atas jarak dan waktu. Pemerintah kolonial Belanda pun untung bukan main sejak kehadiran kereta api pada 1864.

Stasiun Kereta Api Jakarta Kota setelah direnovasi pada 1926. (WIKIMEDIA COMMONS)

Proses pengiriman hasil bumi dapat dilakukan secara maksimal. Bahkan berlimpah. Keuntungan itu membuat Belanda giat membangun jalan-jalan kereta api di pelosok negeri. Di Batavia apalagi. Kota berjuluk Ratu dari Timur mendapatkan prioritas utama pemerintah Hindia-Belanda. Sebab, Batavia adalah pusat pemerintahan yang perlu diistimewakan.

 Pembangunan stasiun kereta api di Batavia dilakukan secara masif. Kehadiran Stasiun Batavia Zuid atau Stasiun Batavia Selatan (kini: Stasiun Jakarta Kota) jadi bukti. Stasiun yang dibangun pada 1870 laksana saksi bisu rakyat Batavia menggunakan kereta api untuk berpergian sehari-hari. Awalnya masih berbentuk stasiun sederhana.

Namun, pemerintah kolonial Belanda memilih untuk melakukan renovasi pada 1926. Dua tahun kemudian, stasiun itu diresmikan secara besar-besaran oleh Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff (1926-1931). Ia pun menanam kepala kerbau sebagai simbol daripada peresmian stasiun. Belakangan orang-orang di Batavia menyebut stasiun itu sebagai Stasiun Beos.

Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff. (WIKIPEDIA)

“Ada banyak versi mengenai asal muasal kata Beos ini. Yang pertama adalah Bataviasche Oosterspoorweg Maatschapij (maskapai angkutan kereta api Batavia), yang lainnya adalah Batavia En Omstreken (Batavia dan sekitarnya) yang artinya adalah stasiun yang menghubungkan Batavia dan kota-kota sekitarnya, yaitu Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Bandoeng (Bandung), Krawangsche (Karawang), dan lain-lain.”

“Sebelum dikenal dengan nama Stasiun Beos, stasiun ini dikenal dengan nama Batavia Zuid (Stasiun Batavia Selatan). Stasiun ini dibangun pada 1870 dan ditutup pada 1926 untuk renovasi menjadi bangunan yang lebih modern, dengan bantuan tangan dingin seorang arsitek jenius kelahiran Tulung Agung, Frans Johan Louwrens Ghijsels. Renovasi stasiun ini diselesaikan dua tahun kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1929, dan secara resmi beroperasi pada 8 Oktober 1929,” ungkap William Yang dalam buku Taipan: Lahirnya Para Konglomerat (2019).

Kehadiran Stasiun Beos begitu dinanti warga Batavia. Mereka yang memanfaatkannya pun tak melulu dari kalangan orang Belanda semata. Suku bangsa lain juga ikut andil menggunakan transportasi teranyar di Batavia. Antara lain orang China, Arab, Yahudi, Moor, dan Mardijker.

Semenjak itu Stasiun Beos mulai memiliki peranan penting. Stasiun itu berperan dalam manajemen lalu-lintas perkeretaapian di Batavia, kemudian Jakarta (setelah Indonesia merdeka). Pemerintah Indonesia pun tetap menjaga keaslian bangunan.

Interior Stasiun Kereta Api Jakarta Kota. (WIKIPEDIA)

Puncaknya, stasiun itu ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah DKI Jakarta pada 1993. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia juga tak lupa menurunkan SK penetapan stasiun kereta api Beos sebagai bangunan cagar budaya pada 25 April 2005, yang menjadi catatan memori hari ini.

“Sejak jaman penjajahan Belanda hingga sekarang Stasiun Beos merupakan gedung yang mempunyai peran menentukan dalam manajemen lalu lintas perkeretaapian di Jakarta,” tertulis dalam buku Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta (1996).