Sejarah Hari Ini, 24 April 1778: Lahirnya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen
Museum yang dulunya dikelola oleh Bataviaasch Genootschap (dok Geheugen.delpher.nl)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 244 tahun yang lalu, 24 April 1778, organisasi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen lahir. Ada sosok Jacob Cornelis Matthieu Radermacher di baliknya. Kehadiran Bataviaasch Genootschap jadi bukti dunia intelektualitas mulai merambah Asia.

Organisasi itu pun dikenal sebagai yayasan untuk kesenian dan ilmu pengetahuan pertama di Batavia. Karenanya, Museum Nasional atau Museum Gajah berdiri. Pun organisasi itu jadi salah satu perkumpulan ilmu pengetahuan tertua di Asia.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan seni memiliki andil besar dalam perkembangan suatu kota. Batavia, misalnya. Boleh jadi maskapai dagang Belanda, VOC  melulu memikirkan keuntungan belaka. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka membutuhkan juga ilmu pengetahuan. Supaya dapat memajukan perdagangan di wilayah-wilayah jajahan, katanya.

Patung Jacob Cornelis Matthieu Radermacher, pendiri Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen. (flickr.com)

Negeri Kincir Angin telah memulainya. Sederet perkumpulan dalam bidang ilmu pengetahuan dan seni mulai tumbuh subur di Belanda. Kondisi berbeda justru terjadi di Nusantara. Tiada ada sosok yang mampu menginiasi sebuah perkumbungan yang memiliki visi dan misi yang kuat dalam dunia ilmu pengetahuan.

Di tengah kekosongan itu, muncul sesosok Radermacher. Ia adalah sosok yang revolusioner. Kehadirannya membawa banyak perubahan di Batavia, bahkan Nusantara. Gagasan-gagasannya dalam memajukan ilmu pengetahuan tiada dunia.

Radermacher tak ingin bekerja hanya untuk kepentingan pribadi. Ia lebih mendidikasi hidupnya untuk lebih luas: ilmu pengetahuan. Buah pikiran itu membuatnya membentuk dua organisasi sekaligus. Pertama, lodge (kelompok) gerakan Mason Bebas (Freemason). Kedua, perkumpulan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen pada 24 April 1778.

“Langkah pertama ini segera diikuti langkah kedua , sebab pada 24 April 1778 didirikan suatu lembaga Hindia tersendiri, yang disebut Perhimpunan Batavia untuk Dunia Pengetahuan dan Kesenian. Tujuan perhimpunan tersebut adalah untuk bekerja demi manfaat umum. Kegiatan itu dijalankan dengan penuh semangat, sehingga pertemuan pendirian dihadiri sejumlah besar tokoh masyarakat Hindia, dan segera banyak pejabat tinggi dan tokoh-tokoh dunia swasta menjadi anggota perhimpunan tersebut.”

“ Tempat di mana rapat umum pertama organisasi baru ini dilangsungkan, yakni di kantor pusat pemerintah Hindia, sangat menentukan bagi kedudukannya dalam masyarakat Batavia,” ungkap Th. Steven dalam buku 'Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat Hindia-Belanda dan Indonesia  1764-1962 (2004)'.

Pendirian pekumpulan itu mendapatkan sambutan yang meriah dari rakyat Batavia. Peran Radermacher pun bukan main besarnya. Ia sendiri memberikan sumbangan berupa benda-benda kuno dan buku-bukunya sebanyak enam lemari untuk Bataviaasch Genootschap. Pun rumahnya digunakan sebagai kantor. Riset ilmu pengetahuan jadi agenda wajib mereka.

Perlahan-lahan, perkumpulan itu makin besar dan eksis. Sumbangsih mereka sangat dibutuhkan pemerintah kolonial. Mereka sampai punya museum sendiri untuk menampung segala macam koleksi benda-benda kuno, sekaligus jadi perpustakaan. Museum itu dikemudian hari dikenal sebagai Museum Gajah.

Beberapa koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen. (WIKIMEDIA COMMONS)

“Laporan-laporan tertua yang diterbitkan perkumpulan itu terkait dengan masalah-masalah seperti reformasi saniter di Batavia, lampu jalan, perbaikan jalan, kondisi pelabuhan, dan seterusnya. Walaupun piagam perkumpulan itu menunjukkan bahwa laporan mengenai sejarah alam dan benda antik serta adat istiadat orang Indonesia diterima baik.”

“Pokok-pokok studi ini  dengan sendirinya menduduki tempat kedua. Meskipun demikian, penyebutan sejarah dan adat istiadat penduduk asli sebagai pokok yang punya bobot sains itu sendiri adalah hal baru yang sangat penting,” tutup Bernard H.M. Vlekke dalam buku 'Nusantara (2018)'.