Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 84 tahun yang lalu, 22 Desember 1938, Museum Batavia Lama (kini: Museum Wayang) diresmikan oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda, Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Museum itu memiliki koleksi benda bersejarah yang beragam. Dari benda kuno hingga perabot rumah tangga.

Sebelumnya, ada pengaruh organisasi ilmu pengetahuan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen di balik kehadiran museum. Mereka mengubah tanah bekas Gereja Belanda jadi sebuah museum penting.

Wabah penyakit kolera dan malaria pernah menjadi momok menakutkan di Batavia. Korbannya bejibun. Lingkungan Batavia yang tak sehat dianggap sumber masalah. Apalagi perilaku warganya dikenal abai dalam menjaga lingkungan hidup.

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda pun putar otak. Segala cara pun dicoba. Sekalipun berujung kegagalan dalam memerangi wabah. Akhirnya, satu-satunya opsi yang muncul adalah pemindahan pusat pemerintahan. Jalan pintas itu diyakini langkah yang tepat guna supaya roda pemerintahan Hindia Belanda dapat berjalan tanpa gangguan.

Rencana pemindahan pusat pemerintahan baru berlangsung secara total pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1808. Ia memindahkan pusat pemerintahan dari Oud Batavia (Batavia Lama) ke Weltevreden (kini: kawasan sekitar Lapangan Banten).

Beragam koleksi dari Museum Batavia Lama milik organisasi ilmu pengetahuan, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen. (Wikimedia Commons)

Namun, pemindahan itu terkendala dana. Daendels tak kehabisan akal. Ia pun segera menjual segala aset pemerintah di Oud Batavia, termasuk menjual gedung milik pemerintah. Nieuwe Hollandse Kerk (Gereja Belanda baru) di dekat Stadhuis (Balaikota) ikut dijual tanah. Sedang kuburannya –termasuk nisan-- dipindahkan ke Pemakaman Kebon Jahe Kober di Tanah Abang. Uang dari penjualan Gereja Belanda lalu digunakan untuk membangun pusat pemerintahan yang baru.

“Saat VOC dibubarkan (1799), kondisi bangunan De Nieuwe Hollandsche Kerk sudah parah. Keterbatasan dana untuk merenovasi bangunan membuat Gubernur Jenderal Daendels memutuskan untuk membongkar gereja (1808) dan akhirnya tanah dijual pada 1829.”

“Sebagian nisan dari keluarga terkemuka dijual. Sedang sebagian lagi dipindahkan dan dipasang pada tembok luar dan dalam Kerkhof Laan dengan diberi kode HK (Hollandsche Kerk atau Gereja Belanda),” ungkap Nirwono Joga dalam buku Komedi Lenong: Satire Ruang Terbuka Hijau (2007).

Pada akhirnya, tanah bekas Gereja Belanda menarik perhatian dari Bataviaasch Genootschap. Organisasi ilmu pengetahuan di Batavia itu membelinya. Mereka merasa lokasi tanah begitu strategis. Karenanya, mereka kemudian membangun sebuah bangunan baru untuk dijadikan Stedelijk Museum (Museum Kota) pada 1937.

Museum yang populer dikenal dengan nama Musuem Batavia Lama itu akhirnya rampung. Bataviaasch Genootschap lalu mengundang pesohor di Batavia untuk datang ke peresmian Museum Batavia Lama pada 22 Desember 1938. Pun Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Tjarda yang bertindak meresmikan museum.

Salah satu ruang pamer koleksi Museum Batavia Lama atau Museum Wayang pada masa sekarang. (Wikimedia Commons)

Gedung ini dibeli (1937) oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen dan diubah menjadi Stadelijk Museum artinya Museum Kota. Museum ini pernah menyimpan koleksi benda kuno, perabot rumah tangga, dan gambar-gambar dari masa lalu berkaitan dengan Batavia.”

“Sebelumnya koleksi itu disimpan dalam Museum Nasional. Koleksi yang sangat bernilai dan sebagian besar belum hilang ini sejak tahun 1974 dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta,” ungkap Sejarawan Adolf Heuken dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016).