JAKARTA - Hari ini, 46 tahun yang lalu, 30 Maret 1974, Museum Sejarah Jakarta atau yang dikenal sebagai Museum Fatahillah diresmikan. Peresmiannya dilakukan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977). Upaya itu dilakukan pemerintah DKI Jakarta untuk menarik minat khalayak umum belajar sejarah Jakarta. Apalagi gedung itu sendiri adalah bangunan bersejarah.
Dulunya Gedung itu jadi stadhuis (balai kota) maskapai dagang Belanda, VOC di Batavia (Jakarta). Pun bangunannya memiliki banyak fungsi. Dari urusan hukum hingga pajak.
Penaklukkan Jayakarta jadi tonggak baru bagi kekuasaan Belanda di tanah Betawi. Kota itu kemudian bersalin nama jadi Batavia pada 1619. Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen ada di baliknya. Ia membangun segala macam fasilitas untuk menciptakan permukiman layak di tanah koloni.
Ia kemudian mendirikan sebuah balai kota di tepi timur Kali Besar pada 1620. Tujuannya tak lain sebagai penunjang pemerintahan VOC di Batavia. Namun, bangunan itu dibongkar pada 1626. Serangan pasukan Mataram jadi muaranya.
Satu tahun berikutnya, VOC memiliki keinginan kembali membangun balai kota untuk kedua kalinya. Atas perintah Coen, pembangunan balai kota dilakukan pada 1627. Balai kota itu untuk sementara waktu bertahan lama. Satu-satunya masalah yang dihadapi VOC adalah tanah dari balai kota yang tak stabil.
Kondisi itu bertahan cukup lama. Bahkan, sampai Gubernur Jenderal VOC silih berganti. Baru pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704–1709) gedung itu dibongkar dan dibangun kembali di lokasinya yang sekarang (kota tua). Gedung balai kota ketiga itu baru diresmikan pada 10 Juli 1710 oleh penerus Joan van Hoorn. Setelahnya, bangunan itu dijadikan gedung serbaguna. Tak melulu sebagai kantor administrasi, tapi juga sebagai lokasi bayar pajak, pusat berdoa, pengadilan, hingga penjara.
“Gedung yang masih menampakkan kemegahannya walau didirikan sejak awal VOC, ketika itu bukan hanya menjadi balai kota Batavia, tapi multifungsi, termasuk menjadi tempat pengadilan dan penjara,” ungkap Alwi Shahab dalam buku Robin Hood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001).
Balai kota ketiga itu sempat ditinggalkan dalam waktu yang lama karena wabah penyakit menyapa Batavia: malaria dan kolera. Angka kematian orang Belanda meningkat tajam karenanya pada era 1810-an. Empunya kekuasaan memilih opsi untuk memindahkan pusat kekuasaan ke Weltevreden (kini: kawasan sekitar Lapangan Banteng).
Pemindahan itu membuat balai kota Batavia terbengkalai. Adapun bangunan itu kembali digunakan yakni pada masa Jepang mulai menjajah Indonesia pada 1942. Balai kota Batavia dijadikannya sebagai gedung logistik.
Setelah Indonesia merdeka gedungnya pun berganti posisi sebagai kantor. Kondisinya pun waktu itu tak begitu terawat sampai datangnya Ali Sadikin. Ia jadi juru selamat bagi lestarinya gedung balai kota itu. Di tangannya, gedung balai kota dipugar. Kemudian, ia pun mengubah fungsi gedung, dari kantor menjadi Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah) pada 30 Maret 1974.
BACA JUGA:
“Dampak surplus ekonomi lainnya adalah pemugaran tak terduga atas bangunan-bangunan kolonial, berkat kampanye tiada tara hingga kini dan adalah jasa Ali Sadikin, Gubernur Jakarta periode 1966-1977. Tokoh ini memprakarsai kebijakan pemugaran bangunan peninggalan arsitektur perkotaan kolonial, yang kemudian dijadikan museum-museum negara dengan biaya sepenuhnya dari anggaran pemerintah.”
“Pada tahun 1970, Ali Sadikin memerintahkan pemugaran bangunan bekas balai kota Batavia yang dijadikan Museum Sejarah Jakarta. Bangunan itu diresmikan empat tahun kemudian, masih memajang perabot rumah tangga VOC yang semula ditempatkan di Museum kota lama Batavia,” tutup Remy Madiner dalam buku Revolusi tak Kunjung Selesai (2022).