JAKARTA – Sejarah hari ini, 54 tahun yang lalu, 27 Maret 1968, Soeharto resmi dilantik sebagai Presiden Indonesia menggantikan Soekarno yang telah lengser. Terpilihnya The Smiling General sudah diramalkan. Semuanya berkat Soeharto mampu memainkan perannya dalam Gerakan 30 September (G30S) hingga keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Ajian itu buat Soeharto dapat bergerak bebas memberantas loyalis Bung Karno. Itulah yang menjadikan jalan Soeharto mulus sebagai presiden RI.
Peran besar Soeharto dalam menumpas orang yang terafiliasi dengan G30S begitu besar. Ia pun mendapatkan kepercayaan dari segenap rakyat Indonesia sebagai figur membawa angin sejuk bagi Indonesia. Mahasiswa pun menyukai Soeharto.
Karenanya, Soeharto diberi kepercayaan oleh Bung Karno untuk menjaga keamanan dari aksi mahasiswa yang berkepanjangan dan kehadiran isu kudeta. Alih-alih mengamankan, Soeharto bertindak lebih jauh. Ia memanfaatkan Supersemar untuk menumpas segala bentuk loyalis Bung Karno. Semuanya ingin diamankan. Tanpa terkecuali.
Bagi Soeharto, Supersemar adalah kendaraan untuk meraih kuasa. Pandangan itu ada benarnya. Sebab setelah Supersemar ditandatangani oleh Bung Karno, jalan hidupnya pun berubah. Demikian karier politik Bung Karno. Gerak-gerik Bung Karno dibatasi. Orang-orang yang pro pada Bung Karno juga mulai menjauh.
Ketakutan itu beralasan. Mereka takut Soeharto menghabisi karier politik mereka yang dianggap berpihak pada Bung Karno. Orang-orang pun menyebut siasat Soeharto sebagai kudeta merangkak.
“Tampak sekali bahwa Soeharto menggunakan Supersemar yang sebenarnya adalah perintah Presiden (executive order) itu sebagai sebuah: transfer of authority. Seolah-olah Bung Karno menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Soeharto sehingga Soeharto boleh melakukan apa saja untuk menangani masalah keamanan dan ketertiban seakan-akan negara sedang dalam keadaan perang.”
“Dilihat demikian, tampak bahwa yang sedang berlangsung adalah sebuah kudeta, meskipun kudeta itu dilakukan secara perlahan-lahan, atau secara bertahap, atau sebagai sesuatu yang jalannya merangkak,” kata F. X. Baskara Tulus Wardaya dalam buku Membongkar Supersemar: Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (2009).
Semenjak itu loyalis Soekarno diburu. Mereka diamankan. Pun ada yang dianggap sebagai komunis pula. Tindakan itu semakin nyata ketika 15 menteri RI yang dituduh loyalis Bung Besar ditahan. Siasat itu buat langkah Soeharto menjadi presiden mulus-mulus saja.
Pada akhirnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memutuskan Soeharto sebagai orang nomor satu Indonesia yang baru pada 26 Maret 1966. Sehari setelahnya, atau tepat 27 Maret 1968 Soeharto dilantik secara resmi oleh MPR sebagai presiden RI yang menggantikan Bung Karno. Peristiwa itu menjadi catatan penting sejarah hari ini.
“Sebelum upacara pelantikan berlangsung sejumlah kericuhan muncul. M. Jusuf (Ketua MPR) harus bolak-balik menemui Soeharto dan A.H. Nasution untuk menyerasikan tetek bengek masalah, sejak yang prinsip sampai soal protokoler.”
“Akhirnya, upacara pelantikan bisa dilakukan. Nasution memakai baju lengan pendek, Jenderal Socharto berpakaian sipil lengkap plus peci. Maka, secara resmi. Soeharto menjadi presiden, menggantikan Bung Karno yang sudah dilengserkan,” tutup Femi Adi Soempeno dalam buku Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru (2008).