JAKARTA - Mentalitas Soekarno mengangkat derajat Indonesia tak perlu diragukan sebagai catatan sejarah bangsa. Gema perlawanannya terhadap kolonialisme dan imperialisme acap kali mendapatkan dukungan rakyat Indonesia. Dukungan mengalir deras tiap kali Soekarno bersuara di forum internasional.
Pun pada saat Soekarno ingin membuat ajang olimpiade tandingan. Penyelenggaran itu hampir mustahil jika rakyat tak turun tangan membantu. Rakyat ikut urun dana demi menyukseskan kehadiran pesta olahraga besar itu. Ganefo, namanya.
Keseriusan Bung Karno menentang imperialisme dan kolonialisme bukan cuma di mulut saja. Bung Karno kerap berpihak pada mereka yang merasa terjajah. Karenanya, ia secara terang-terangan menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan pada penyelenggaran Asian Games 1962.
Menurutnya, Israel tak ubahnya musuh bersama karena mencaplok wilayah Palestina. Melanggengkan kekerasan pula. Sedang penolakannya terhadap Taiwan bermura pada rasa simpati Indonesia kepada China. Taiwan dituduh tak lebih dari boneka imperialisme Inggris. Keputusan Bung Karno tak bisa diganggu gugat. Ia pun sudah siap dengan segala konsekuensi dari sikap politiknya.
Indonesia pun dikenakan sanksi oleh International Olympic Committee (IOC). Keanggotaan IOC Indonesia diskors, bahkan berimbas hingga larangan mengikuti Olimpiade Tokyo 1964. Keputusan itu dianggap IOC setimpal. Sebab, Indonesia telah bertindak jauh dengan mencampurkan urusan politik dengan olahraga.
Indonesia pun diminta untuk meminta maaf. Namun, Bung Karno bertindak sebaliknya. IOC dianggapnya bermuka dua. Padahal, banyak negara lain, terutama negara barat yang kerap mencampuri urusan politik dalam olahraga. Sikap IOC pun bak diam seribu bahasa. Sebagai bentuk kekecewaan kepada IOC, Bung Karno melawan. Ia menggagas Olimpiade tandingan. Games of the New Emerging Forces (Ganefo), namanya.
“Penyelenggaraannya tidak lepas dari situasi politik waktu itu. Yakni, memanasnya hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat. Termasuk keberpihakan Barat kepada Malaysia sejak Indonesia berkonfrontasi dengan negara jiran itu. Apalagi, pelaksanaan Asian Games IV berbuntut dengan retaknya hubungan Indonesia dengan Komite Olimpiade Internasional (IOC).”
“IOC menuding Indonesia mencampurkan olahraga dengan politik. Dengan menolak Taiwan dan Isracl pada pesta olahraga itu. Akhirnya, Indonesia keluar dari IOC. Untuk menyaingi olimpiade dunia, Bung Karno pun mengadakan Ganefo,” ungkap Alwi Shahab dalam buku Betawi: Queen of the East (2002).
Urun Dana Hadirkan Ganefo
Keberanian Bung Karno untuk keluar dari IOC mendapatkan atensi publik. Penyelenggaraan Ganefo apalagi. Muka Indonesia dan rakyatnya dipertaruhkan. Segenap rakyat Indonesia pun enggan menerima jika bangsanya dianggap bangsa tempe nan pembual.
Opsi penyelenggaraan Ganefo pun jadi punya kedekatan emosional. Ganefo tak cuma sekedar perintah presiden, tapi perintah seluruh rakyat Indonesia. Sikap itu dijiwai oleh segala kelas dan elemen masyarakat. Dari jelata hingga pengusaha. Ini merupakan salah satu catatan sejarah olahraga di Indonesia.
Demikian pula dengan dukungan internasional. Puluhan negara menyatakan sikapnya untuk ikut dan mendukung penyelenggaraan Ganefo. Semuanya satu sikap dengan Indonesia. Mereka menginginkan olahraga dan politik dapat digunakan secara terbuka. Dan Ganefo jadi wadah yang paling tepat untuk itu. Sekalipun, dana untuk menggelar Ganefo relatif besar.
“Soekarno berinisiatif untuk menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dengan tujuan untuk membangun satu arena olahraga sebagai satu jembatan persahabatan yang kuat dan kokoh dari negara-negara yang disebut The New Emerging Forces menuju perdamaian yang sempurna. Ke-51 negara peserta ketika itu semuanya berada pada posisi ‘menentang’ kekuatan politik Amerika Serikat yang mendominasi dunia.”
“Kelompok negara peserta Ganefo bisa dipandang sebagai ‘sekutu’ Uni Soviet dan Republik Rakyat China dengan ideologi marxis dan komunis, yang jelas-jelas bertentangan dengan AS. Ganefo membuktikan bahwa keterbatasan dana bukan halangan untuk menyatakan sikap politis di dunia internasional dengan mengeksploitasi ketertarikan orang pada sesuatu --dalam hal ini adalah kesukaan orang pada olahraga-- dan bukan dengan aktivitas ekonomi atau kerja sama di bidang militer,” terang Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani dalam buku M.F. Siregar: Matahari Olahraga Indonesia (2008).
Segenap rakyat Indonesia paham jika gengsi Indonesia dipertaruhkan lewat penyelenggaraan Ganefo. Adapun kekurangan dana segera teratasi dengan turun tangannya rakyat membantu. Seluruh lapisan masyarakat bergerak menyumbang semampunya demi terlaksananya Ganefo. Bahkan, pemerintah Indonesia telah menyiapkan sebuah rekening khusus bagi yang ingin menyumbang bernama: Dana Amal Ganefo.
Rakyat Indonesia di pelosok negeri pun ikut berpartisapi menyukseskan urun dana untuk Ganefo. Bahkan, bantuan yang diberikan tak Cuma terbatas pada uang semata. Banyak di antaranya memberikan bantuan berupa barang. Rakyat di Sumatra Utara, misalnya. Selain uang mereka mengirimkan 2400 botol minuman khas Sumatra Utara, Markisa. Tanah Batak pun tak mau kalah. Mereka menyumbang puluhan kain ulos untuk cindera mata.
Popularitas Indonesia menyelenggarakan Ganefo meningkat. Dana dan barang banyak berdatangan kepada Pemerintah Indonesia. Bung Karno sampai membuat instruksi khusus karena saking banyaknya hasil urun dana. Padahal, kondisi ekonomi Indonesia sedang morat-marit.
Bung Karno mengeluarkan Inpres No. 011 Tahun 1963, isinya menyatakan bahwa sejak 8 November 1963 segala bentuk penggalangan dana untuk Ganefo dihentikan. Jika bantuan berbentuk barang maka harus segera diuangkan. Yang terpenting, Bung Karno menekankan hasil urun dana tidak dapat digunakan untuk kegiatan apapun tanpa seizin dari Kepala Staf Presiden Umum Ganefo. Hajatan besar itu pun dapat terealisasi pada 10-22 November 1963, karenanya.
“Presiden mengeluarkan instruksi dengan pertimbangan bahwa Ganefo merupakan usaha pemerintah yang menyangkut prestasi dan martabat negara, maka sumbangan-sumbangan yang diberikan olch rakyat guna kepentingan Ganefo yang disebut Dana Nasional Ganefo perlu dibukukan dengan seksama dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya.”
“Selain itu juga agar donasi dari rakyat besaran jumlahnya sama dengan jumlah yang benar-benar disumbangkan, maka tidak dibenarkan siapa pun menggunakan dana Ganefo untuk membiayai berbagai usaha proyek,” tutup Muhidin M. Dahlan dalam buku catatan sejarah, Ganefo: Olimpiade Kiri Indonesia (2019).