Pasar Malam Tumbuhkan Keranjingan Adu Tinju di Batavia
Adu Tinju di Batavia. (Foto: geheugen.delpher.nl)

Bagikan:

JAKARTA - Pasar malam pernah menjadi tulang punggung hiburan di Batavia era 1900-an. Kehadirannya selalu dinanti. Pun mudah ditemui di seantero Batavia. Dari Princen Park, Deca Park, hingga Pasar Gambir. Hiburan yang beragam jadi andalannya. Tinju, misalnya. Saban hari tinju digelar, animo rakyat Batavia meninggi. Apalagi ketika pertandingan boxen (adu tinju) mempertemukan antara kaum bumiputra dan Belanda. Pertandingan itu membuat adu tinju naik daun. Karenanya, sasana tinju tumbuh subur di Batavia.

Penyelenggaraan pasar malam di Batavia acap kali meriah. Hajatan itu digelar di lokasi-lokasi yang strategis.  Semuanya untuk menjangkau rakyat di seantero Batavia. Orang Belanda maupun bumiputra. Pengunjung pun tak mau kalah. Tiap gelaran pasar malam mereka tak lupa menyiapkan pakaian terbaiknya.

Pasar malam yang dikunjunginya pun beragam. Mulai pasar malam yang digelar di Princen Park (Loakasari), Deca Park (Lampangan Monas), Varia Park (Krekot), serta Pasar Gambir. Pengunjung yang datang itu bermuara pada satu tujuan: melepas penat. Sebab, di lokasi pasar malam tiap pengunjung akan dimanjakan dengan ragam hiburan. Ada hiburan untuk anak-anak, ada pula hiburan untuk orang dewasa.

Pasar Gambir di Batavia pada masa penjajahan Belanda. (Foto: geheugen.delpher.nl)

Pemerintah kolonial Belanda tak lupa ambil bagian dalam penyelenggaraan pasar malam. Mereka dengan senang hati memberikan izin untuk menggunakan taman-taman kota sebagai lokasi utama. Kemudian, panggung besar untuk pertunjukkan teater atau musik dibangun. Ada pun hiburan lainnya yang naik daun adalah kehadiran bioskop terbuka atau gambar idoep – dalam ucapan orang Betawi. Belum lagi acara dansa-dansi ala Eropa.

Kegembiraan datang ke pasar malam tiada dua. Apalagi dapat datang ke pasar malam spesial. Pasar Gambir, namanya. Nuansa spesial itu karena penyelenggaraan hanya beberapa hari saja dalam setahun. Hajatan pasar malam itu khusus dihadirkan Belanda untuk memperingati penobatan Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus 1898. Pun pelaksanaannya dimulai dari 31 Agustus hingga pertengahan September tiap tahun.

“Di dalam kumpulan manusia yang besar sekali ini (di Pasar Gambir), tak ada apa-apa selain cahaya, warna, dan kedamaian; kedamaian terutama, diambil oleh warna-warni dan cahaya, setiap kali ketika adegan menjadi terang oleh semburan cahaya mendadak dari teater film besar, sewaktu proyektor melepaskan berkas cahaya luas di atas seluruh lapangan; sekarang, setiap orang menjadi bersinar, sekarang berwarna merah tua, sekarang biru tua, sekarang oranye garang.”

“Bagi kami, itulah kegembiraan pertunjukannya! Wajah kebahagiaan damai ribuan orang; gambaran, yang berulang kali muncul dari kegelapan dalam sinar dahsyat proyektor film. Senantiasa foto diam berwarna-warni yang menakjubkan, dan nyala minyak-minyak lampu warung-warung yang berkedip-kedip oranye dan merah,” ungkap Penulis C.M Vissering sebagaimana dikutip Rudolf Mrázek dalam buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006).

Popularitas Adu Tinju

Boleh jadi hiburan di pasar malam bejibun. Tapi, urusan menarik massa yang besar, gelaran  adu tinju jadi andalan. Sekalipun adu tinju termasuk olahraga yang baru masuk Hindia-Belanda, itupun dibawa oleh serdadu Belanda, urusan menyajikan hiburan yang menghibur tinju boleh diadu.

Tiap tinju digelar di pasar malam Princen Park, Deca Park, dan Pasar Gambir rakyat Batavia langsung antusias. Mereka langsung berbondong-bondong datang ke pasar malam. Hiburan murah, pikirnya. Pengunjung tinggal membeli tiket masuk. Sajian pertandingan tinju dapat segera dinikmati keseruannya. Alias, tak perlu beli tiket nonton tinju.

“Boleh dibilang akar budaya Pekan Raya Jakarta (PRJ) sekarang berasal dari pasar malam tempo dulu atau warisan dari Princen Park. Hanya saja, PRJ dan sebelumnya juga Pasar Gambir diselenggarakan setahun sekali. Sebagai tempat hiburan, Princen Park tiap malam menyajikan berbagai pertunjukan. Mulai dari bioskop terbuka atau gambar idoep menurut orang Betawi.”

“Juga sering diadakan perlombaan keroncong, menampilkan penyanyi-penyanyi beken waktu itu. Di sini juga terdapat hall khusus untuk pertandingan tinju. Saat pertandingan tinju pengunjung pasar malam lebih banyak. Apalagi tidak dikenakan bayaran, cukup menunjukkan karcis tanda masuk. Kerak telor, makanan khas Betawi tentu saja merupakan oleh-oleh pengunjung untuk keluarga di rumah,” kata tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Alwi Shahab dalam buku Betawi: Queen of the East (2002).

Tinju pasar malam di Pematang Siantar, Sumatra Utara pada tahun 1936. (Foto: Twitter@potretlawas)

Kepopuleran tinju membuat banyak orang keranjingan tinju, termasuk kaum bumiputra. Arkeolog dan pemerhati sejarah, Djulianto Susantio mengamini hal itu. Antusias berlatih tinju semakin meningkat kala nama petinju bumiputra, Kid Darlin muncul jadi salah satu petinju populer di era itu. Konon, Kid Darlin digadang-gadang sebagai petinju bumiputra pertama yang tampil di atas ring. Reputasi Kid Darlin lalu menginspirasi kaum bumiputra lainnya menggemari adu tinju.

Hoegeng Imam Santoso, salah satunya. Jauh sebelum jadi Kapolri, Hoegeng sempat mencicipi kuliah, sekalipun tak lulus, di Sekolah Tinggi Hukum, Recht Hoge School (RHS) di Batavia pada 1940. Semasa berkuliah itu, boxen atau adu tinju jadi kegemaran sang polisi jujur. Tiap ada kesempatan Hoegeng selalu berlatih tinju dan mencari teman duel. Hoegeng jadi bukti tinju telah diterima luas oleh kaum bumiputra.

“Selain itu saya juga mengisi waktu senggang dengan belajar dansa Ballroom di jalan Kebon Sirih, dan juga belajar main boxen (tinju). Namun begitu mulai berlatih boxen dengan Tom Koguchi, maka saya langsung terkapar KO di atas kanvas,” tutup Hoegeng sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).