Gubernur Jenderal VOC Diederik Durven, Contoh Pengutang Lebih Galak dari Penagih Utang
Diederik Durven, Gubernur Jenderal VOC yang menjabat dari 1729 hingga 1732. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Perjudian kerap membuat maskapai dagang Belanda VOC mengalami dilema di Batavia. Satu sisi perjudian menghadirkan keuntungan melimpah. Sisi lain perjudian dapat merusak moral warga Eropa. Alhasil, candu judi dapat menjangkiti banyak orang.

Gubernur Jenderal VOC Diederik Durven, misalnya. Ia sampai memiliki utang besar di meja judi dan membayarnya dengan terpaksa. Dendam pun terjadi. Ia menghukum pemberi utang. Kemudian, ia jadi perwujudan sempurna pengutang lebih galak dari penagih utang.

Roda ekonomi Batavia (kini: Jakarta) pernah dibuat bergantung kepada orang China. Laku hidup itu langgeng karena Kompeni percaya orang China dapat jadi tulang punggung pembangunan negeri koloni. Mereka diberi hak istimewa untuk mengerjakan apa saja di Batavia. Dari tukang batu hingga pedagang.

Kompeni juga membebaskan mereka untuk menjalankan seluruh perayaan sampai hiburan. Perjudian, utamanya. Kompeni memberikan izin bagi orang China melanggengkan aktivitas perjudian. Antara lain permainan dadu, kartu, po, dan posing.

Semuanya karena gairah keuntungan perjudian yang besar. Izin pendirian rumah judi menjadi mudah. Alih-alih sulit, izin pendirian rumah judi bisa didapatkan dengan mudah selama ‘uang pelicin’ besar jadi ajian.

Gambar Diederik Durven, Gubernur Jenderal VOC yang keranjingan judi hingga memiliki banyak utang. (Wikimedia Commons)

Nyatanya, perjudian tak hanya menjadi monopoli orang China belaka. Kehadiran rumah judi pun menarik minat segala macam suku bangsa. Orang Eropa, utamanya. Mulanya boleh jadi orang Eropa dilarang memasuki rumah judi milik orang China. Namun, lama-kelamaan aturan itu tak berlaku. Semua karena suku bangsa bebas membuat rumah judi sendiri. 

Siapa yang memiliki duit, dapat membuat rumah judi. Tokoh agama pun melanggengkan protes. Mereka berang dengan aktivitas perjudian yang merusak moral orang Eropa. Mereka meminta Kompeni mengambil tindakan tegas. Sekalipun tak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin Kompeni menolak aktivitas yang mampu mendatangkan pendapatan pajak kedua terbesar setelah pajak kepala?

“Kendati terjadi banyak tindak kekerasan dan kegaduhan, perjudian di Batavia tetap marak karena tidak mampu diberantas sehingga lebih baik dimanfaatkan dengan memungut pajak. Dari catatan Kasteel Batavia dapat dibaca betapa pada hari pertama setiap tahun baru, izin perjudian dijual kepada warga China yang memberi penawaran paling tinggi.”

“Lelang izin judi dilakukan di ruang utama Kasteel Batavia di hadapan jaksa daerah dan para hakim Pengadilan Golongan Swasta. Catatan bulanan menunjukkan bahwa uang sewa perjudian merupakan pendapatan nomor dua sesudah pajak kepala dan jauh melebihi uang sewa pasar dan toko: jumlahnya berkisar antara 700 dan 1.200 real per bulan,” tutur Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Pengutang yang Galak

Gairah jadi kaya dalam waktu singkat mengiurkan siapa saja. Pejabat tinggi VOC, Diederik Durven, misalnya. Durven kecancuan berat perjudian. Ia rela bertaruh seluruh uang yang dimilikinya untuk dapat menikmati jalannya perjudian.

Suatu ketika ia melanggengkan perjudian di rumah seorang Kapitan Malayu, Wandoellah. Durven sangat menikmati perjudian yang dimainkan. Seluruh hartanya coba dipertaruhkan dengan harapan dapat menang banyak dari perjudian.

Jauh panggang dari api. Harapan Durven meleset. Seluruh hartanya habis di meja judi dan ia terpaksa berutang kepada Wandoellah. Alhasil, Wandoellah menyita kereta kuda dan pelayan yang dimiliki Durven. Wandoellah meminta Durven untuk pulang jalan kaki mengambil uang tebusan.

Perlakuan itu membuat Durven geram bukan main. Apalagi, Durven sempat meminta kemudahan supaya pembayarannya dapat dilakukan di lain hari. Wandollah bersikeras. Ia ingin utang dibayarkan saat itu juga. Martabat Durven bak diinjak-injak. Durven pun pulang untuk mengambil uang dengan memendam dendam kesumat.

Dendam itu nyatanya kembali menyala ketika Durven mampu menduduki kursi Gubernur Jenderal VOC pada 1729. Ia pun merekayasa supaya Wandoellah melakukan satu kesalahan saja. Momentum akhirnya terjadi. Wandoellah dianggap melakukan pelanggaran hukum berat di Batavia. Detailnya tak diketahui. Sebab, tiba-tiba Wandoellah sudah ditangkap.

Suasana Batavia dan tembok kotanya pada masa VOC dalam lukisan karya Johannes Rach. (Wikimedia Commons)

Durven yang keburu sakit hati langsung menjatuhkan hukuman kepada Wandoellah. Ia ditahan sejenak kemudian diasingkan ke Sri Lanka. Durven pun tak puas sampai situ. Segala macam harta Wandoellah –uang hingga tanahnya, Kampung Melayu—ikut disita oleh Kompeni. Dendam itu jadi bukti bahwa pengutang justru lebih galak daripada penagih utang.

“Dia inilah Gubernur Jenderal yang dimaksud yang selama berkuasa (1729-1732) melakukan berbagai tindakan yang tidak pantas diperbuat oleh seorang pimpinan tertinggi di koloni. Salah satu korbannya adalah Wandoellah, anak Kapitan Melayu terdahulu, Wan Abdul Bagus di Meester Cornelis (kini: Jatinegara).”

“Wandoellah dibuang ke pengasingan di Sri Lanka pada tahun 1729 hanya karena ia berani menagih utang Sang Gubernur Jenderal VOC itu kepadanya sewaktu permainan judi. Diederick Durven sendiri dipecat pada tanggal 9 Oktober 1731, tetapi baru benar-benar turun pada 1732,” ungkap Sejarawan Mona Lohanda dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007).