Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 287 tahun yang lalu, 12 Juni 1736, kongsi dagang Belanda VOC memaksa seluruh orang China memiliki surat izin tinggal di Batavia. Peraturan itu sengaja dibuat untuk membatasi kehadiran orang China.

Orang China yang baru datang kerap buat onar jadi muaranya. Sebelumnya, kehadiran orang China sempat membawa keuntungan besar bagi VOC. Mereka mampu jadi aktor utama bergeraknya roda ekonomi di Batavia.

Pintu Batavia (kini: Jakarta) selalu terbuka untuk orang China. Itulah narasi yang kerap digaungkan oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen. Gubernur Jenderal yang menjabat dua kali pada 1619-1623 dan 1627-1629 itu meramalkan kehadiran orang China dapat membawa keuntungan besar.

Semua itu karena Coen sendiri telah melihat keuletan dan kerja keras orang China dalam bekerja. Coen memandang orang China mampu bekerja dalam segala bidang. Dari pekerjaan kasar hingga berkelas. Orang China mampu melakoninya dengan sungguh-sungguh.

Coen pun memberikan restu kepada orang China untuk tinggal dan bekerja di Batavia. Ia bahkan mengiming-imingi orang China dengan ragam hak istimewa. Keringanan pajak dan keamanan, misalnya. Hak itulah yang kemudian membuat orang China berbondong-bondong datang ke Batavia.

Orang China di Batavia mampu bekerja dalam segala bidang, dari tukang kayu hingga pedagang. (Wikimedia Commons)

Hasilnya gemilang. Roda ekonomi di Batavia pun berkembang. Apalagi VOC diuntungkan dengan kesanggupan orang China dalam membayar segala macam pajak. Hubungan baik itu kemudian terus dijaga sekalipun Coen telah tiada.

Pandangan VOC terkait orang China pun tak pernah berubah. Penerus Coen terus memandang orang China sebagai sumber keuntungan. Kadang kala orang China dianggap pula sebagai ‘mesin pembuat uang.’

“Warga China yang bekerja pada masa pemerintahan gubernur jenderal pertama di Batavia tidak memiliki keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa Coen sangat menghargai warganya. Dia tidak pernah memberikan toleransi kepada orang Inggris atau Belanda yang memperlakukan orang China secara tidak adil.”

“Coen juga tidak memandang mereka sebagai objek pajak yang berlebihan. Ketika dia ingin memberlakukan cukai terhadap impor dan ekspor, dia akan berkonsultasi dengan Souw Beng Kong dan Jan Congh sang Kepala Komunitas China. Pendapat mereka selalu siap dia terima,” ungkap Johannes Theodorus Vermeulen dalam buku Tionghoa di Batavia dan Huru-Hara 1740 (2010).

Jalinan simbiosis mutualisme antara VOC dan orang China terus berlanjut. Namun, hubungan yang dibangun berbasis untung-rugi takkan bertahan jika kerugian terus-menerus hadir. Pada era 1730-an, misalnya. VOC pun mulai merasakan kehadiran orang China terlampau mengganggu.

Lukisan pembantaian etnis China di Batavia pada 1740. (Wikimedia Commons)

Kedatangan orang China yang tak pernah berhenti jadi muaranya. Kedatanganya tiap tahun selalu meningkat, sedang kondisi ekonomi VOC kala itu tak baik-baik saja. VOC pun mulai mencium gelagat bahwa orang China yang datang banyak yang tak memiliki keahlian dalam bekerja.

Masalah keamanan pun muncul. Banyak orang China yang tak memiliki pekerjaan justru mengganggu ketertiban di Batavia. Orang China dicurigai sebagai biangnya tindak kejahatan. Perampokan, salah satunya.

Keamanan warga Batavia pun terancam karenanya. Mau tak mau VOC ambil sikap. Empunya kuasa mengeluarkan peraturan untuk memaksa seluruh orang China memiliki surat izin tinggal pada 12 Juni 1736.

“Pada tanggal 12 Juni 1736, VOC kembali membuat peraturan yang memerintahkan kepada pejabat-pejabat China yang berada di Batavia. Peraturan itu adalah untuk mengadakan pendaftaran bagi semua warga China yang tidak memiliki surat ijin untuk dapat tinggal di Batavia.”

“Kepada warga etnis China yang dianggap berguna bagi VOC, setelah mereka membayar 2 ringgit akan diberikan izin untuk menetap. Sedangkan bagi mereka yang dianggap tidak berguna bagi VOC akan dikembalikan ke negeri asalnya,” terang Hembing Wijayakusuma dalam buku Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke (2005).