JAKARTA - Kedekatan maskapai dagang Belanda, VOC dengan etnis China tiada dua. Hubungan keduanya mampu menghasilkan simbiosis mutualisme. Orang Belanda untung, demikian pula sebaliknya. Namun, tiada yang berani menjamin hubungan itu bertahan selamanya.
Kala VOC mulai merugi pada 1740, misalnya. Kehadiran orang China mulai dianggap beban. Aktivitas orang China dibatasi karena kerap bikin onar. Barang siapa yang kedapatan, mereka akan dikenakan sanksi tegas. Perampasan aset pun dilanggengkan VOC.
Kompeni tak pernah membayangkan rasanya membangun negeri koloni tanpa orang China. ketidakmampuan orang Eropa –utamanya Belanda— beradaptasi dengan iklim tropis jadi muaranya. Fakta itu membuat segala macam urusan di Batavia (kini: Jakarta) dikerjakan orang China. Dari tukang bangunan hingga pedagang.
Orang China pun menjadi roda penggerak ekonomi di Batavia. Semuanya karena kehadiran orang China sudah mendapatkan restu dari Jan Pieterszoon Coen. Gubernur Jenderal VOC yang menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) menjadikan orang China sebagai warga istimewa.
Pintu Batavia selalu terbuka untuk orang China. Bahkan, Coen tak memberikan toleransi kepada orang Belanda yang merendahkan orang China. Keistimewaan yang berikan kepada orang China terus bertahan selama Kompeni untung besar.
Beda hal ketika Kompeni mulai merugi. Kerugian VOC yang kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, EIC pada 1740, misalnya. Kerugian itu membuat aktivitas ekonomi di Batavia jadi lesu. Utamanya, usaha orang China.
Pabrik berhenti beroperasi dan pengangguran di mana-mana. Kondisi itu diperparah dengan saban hari imigran dari China berdatangan. Alhasil, kedatangan mereka justru menambah sulit. Pekerjaan yang tak ada jadi musabab.
Banyak di antaranya pun ambil jalan pintas dengan melanggengkan perampokan sebagai ajian memperoleh pendapatan. Isu pun berkembang. Orang China tak hanya membuat onar, tapi juga ingin memberontak melawan Kompeni.
“Pada 1740 cerita lain mulai beredar, bahwa orang Cina berencana memberontak dan bermaksud menaklukkan Batavia dengan mendadak. Agak mengherankan bahwa orang Cina akan merencanakan hal itu, karena mereka selalu menjadi rakyat favorit pemerintah Batavia karena kerajinan, kedamaian, dan perilaku tenang mereka. Tapi pada beberapa tahun terakhir, sejumlah besar imigran miskin Cina tiba di Batavia dan setelah itu tidak bisa mendapatkan pekerjaan.”
“Pemerintah membatasi jumlah imigran dan mengatur sistem kuota, tapi hukum ini terus dilanggar oleh orang Cina yang tahu titik lemah sistem pemerintahan Kompeni, yakni gaji kecil pegawai-pegawainya. Maka, terlalu banyak yang datang. dan mereka yang gagal mendapatkan kerja halal mulai menjarah daerah-daerah perdesaan di sekitar ibukota itu,” ungkap Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).
Perampasan Aset
Kompeni pun berang dengan tingkah laku orang China yang kerap membuat onar, biang perampokan. Gubernur Jenderal VOC, Adriaan Valckenier ambil sikap. Ia meminta sederet Dewan Hindia untuk menelurkan langkah yang perlu diambil Kompeni. Resolusi 25 Juli 1740 pun lahir.
Resolusi itu berisikan aturan hukuman penangkapan kepada orang China yang dianggap mencurigakan. Dari mereka yang telah memiliki izin tinggal hingga mereka yang belum berizin. Mereka akan mendapatkan hukuman, jika terbukti melakukan keonaran.
Resolusi itu juga mengatur orang China yang boleh ada di Batavia. Sekalipun terbatas kepada mereka yang memiliki pekerjaan saja. Sedang mereka yang tak memiliki pekerjaan akan segera ditangkap. Namun, pelaksanaan aturan itu penuh kecurangan.
Pejabat Kompeni yang melulu memikirkan keuntungan jadi musabab. Alih-alih hanya menangkap orang China, VOC justru turut memberlakukan perampasan aset yang dimiliki oleh orang China. Dari uang, rumah, hingga tanah.
Perampasan aset itu membuat orang China di Batavia panik. Apalagi upaya itu ditunjang oleh kabar angin bahwa Kompeni justru tak membuang orang China ke Sri Lanka, tapi mereka ditenggelamkan di tengah lautan.
Amarah pun mengisi seluruh orang China di Batavia. Mereka menggelorakan pemberontakan melawan VOC pada 9 Oktober 1740. Namun, VOC mengambil alih keadaan. Mereka meredam pemberontakan dengan melanggengkan pembantaian kepada 10 ribu orang China di Batavia. Peristiwa itu kemudian langgeng dikenang dengan nama Geger Pacinan.
“VOC memanfaatkan kesempatan pemeriksaan izin menetap dengan melakukan tindakan sewenang-wenang, seperti sering melakukan perampasan harta benda dan penganiayaan terhadap etnis Tionghoa beserta keluarganya. Dalam penangkapan tersebut terdapat suatu kejanggalan, di mana mereka yang ditahan bukan hanya pengangguran, ataupun gelandangan tetapi juga orang baik-baik dan kaya ikut ditangkap dengan cara paksa dan kekerasan.”
“Tujuan utamanya adalah memeras sejumlah uang untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, semua warga Tionghoa, baik yang telah memiliki izin tinggal maupun belum, semuanya hidup dalam keadaan panik. Sebagai akibatnya, banyak warga etnis Tionghoa yang meninggalkan tempat tinggalnya dan menggabungkan diri dengan kawanan Tionghoa lainnya,” terang Hembing Wijayakusuma dalam buku Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke (2005).