Dua Tahun Jokowi-Ma'ruf, KontraS: Kebebasan Sipil Terus Memburuk
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menganggap situasi kebebasan sipil kian memburuk dalam dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

"Selama dua tahun kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf Amin pada periode keduanya, situasi kebebasan sipil terus menerus memburuk," kata Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar dalam diskusi virtual, Selasa, 19 Oktober.

Berdasarkan data yang dihimpun KontraS sejak September 2019 sampai September 2021, setidaknya terjadi 360 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi. Pelaku pelanggaran paling banyak berasal dari instansi kepolisian.

"Kami mencatat bahwa institusi dominan dalam melakukan upaya pelanggaran kebebasan dan berekspresi selama kurun waktu dua tahun adalah kepolisian dengan 281 kasus," ujar Rivanlee.

Dalam 281 peristiwa pelanggaran kebebasan dan berekspresi itu, KontraS menyebut terdapat 385 tindakan yang dilakukan. Tindakan pelanggaran tersebut paling banyak penangkapan sewenang-wenang dengan 137 tindakan.

Selanjutnya, pembubaran paksa dengan 118 tindakan, penganiayaan 38 tindakan, pelarangan 30 tindakan, intimidasi 19 tindakan, penembakan gas air mata 17 tindakan, kriminalisasi 14 tindakan, perampasan 8 tindakan, dan penembakan 4 tindakan.

Rivanlee melihat adanya pola kekerasan yang berulang dari praktik pelanggaran kebebasan berekspresi. Pola tersebut mulai dari pembubaran paksa aksi massa dengan cara kekerasan yang kemudian dilanjutkan dengan upaya penangkapan sewenang-wenang terhadap sejumlah massa aksi.

KontraS mencatat sepanjang periode Oktober 2019 sampai September 2021, terdapat 5.389 orang ditangkap. Bahkan, dalam beberapa kejadian, peristiwa penangkapan disertai dengan penganiayaan dan penyiksaan.

Rivanlee menganggap, tingginya pelanggaran ini membuktikan bahwa penyampaian pendapat masyarakat belum mendapat perlindungan secara utuh. Tindakan-tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh institusi Polri ini dianggap menyempitkan ruang kebebasan berekspresi.

"Pola-pola keberulangan penanganan aksi massa masih kerap terjadi hingga tindak represi terus berulang di ranah publik, menunjukkan bahwa pada akhirnya demokrasi yang dielu-elukan hanya sebagai citra belaka," cecarnya.