Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo mempertimbangkan penetapan status darurat sipil ketika penularan virus corona atau COVID-19 semakin parah di Indonesia. Baru diwacanakan, status darurat sipil sudah mendapat penolakan. 

Status darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Pasal 1 menyatakan, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang. 

Tiga syarat keadaan darurat itu ditentukan dalam Pasal 1 ayat 1, 2, dan 3.

Pasal 1 ayat 1 yaitu: keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.

Pasal 1 ayat 2, yakni: timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; dan Pasal 1 ayat 3 yaitu Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat.

Komisioner Komnas HAM Chairul Anam merasa Jokowi salah langkah tentang wacana kebijakan darurat sipil untuk corona. Katanya, darurat sipil diberlakukan untuk menertibkan warga agar roda pemerintahan berjalan tertib.

Sementara, yang harusnya dibutuhkan sekarang adalah satu darurat kesehatan. Sebab, saat ini fasilitas kesehatan dalam penanganan virus corona belum maksimal. Dampak ini tidak bisa dibebankan kepada warga dalam keadaan darurat sipil. 

"Dalam situasi COVID-19 yang terus meningkat, yang digunakan ini harusnya status darurat kesehatan.  Pendekatan utamanya adalah kepentingan kesehatan, salah satu cara kerjanya membangun kesadaran masyarakat dan solidaritas," kata Anam, Senin, 30 Maret. 

Darurat kesehatan, kata Anam, bertujuan memastikan kondisi kesehatan masyarakat yang terancam tertular COVID-19. Status darurat kesehatan menggunakan pola kerja-kerja-kerja kesehatan. Penanganannya berpusat pada kesehatan. Sementara dalam darurat sipil, polanya adalah kerja penertiban. Ketika masyarakat melanggar tujuan dan kepentingan kesehatan, akan ada denda dan kerja sosial. 

"Paradigma penyelesaian, dan exit strategy kedua status ini berbeda. Ancamannya juga berbeda. Karenanya, yang dibutuhkan adalah arurat kesehatan nasional. Tata kelolanya yang diperbaiki," ungkap Anam. 

Penolakan juga datang dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yakni ELSAM, Imparsial, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICW, PBHI, PILNET Indonesia, dan KontraS.

Peneliti Imparsial, Anton Aliabbas, meminta Jokowi berhati-hati dalam menggunakan dasar hukum yang digunakan untuk meminimalisir bias tafsir dan penggunaan kewenangan yang lebih tepat sasaran.

Sebab, jika merujuk pada regulasi yang ada, Anton menyebut pihaknya mendesak pemerintah tetap mengacu pada UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Mereka menolak Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Sebab, kata Anton, COVID-19 merupakan kondisi yang disebabkan oleh bencana penyakit. Selain itu, penerapan pembatasan sosial meluas yang merujuk pada karantina kesehatan perlu dilakukan guna menghindari sekuritisasi problem kesehatan yang tidak perlu.

"Koalisi menilai, pemerintah belum saatnya menerapkan keadaan darurat militer dan darurat sipil. Mengingat pembatasan sosial akan disertai sanksi, Koalisi mendesak pemerintah untuk berpijak pada UU Karantina kesehatan," ucap Anton. 

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga harus memikirkan juga konsekuensi ekonomi, sosial, dan kesehatan masyarakat yang terdampak kebijakan status darurat tersebut, terutama bagi kelompok-kelompok yang rentan.

"Keputusan Presiden soal penetapan status bencana nasional nanti harus mengatur pula dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan terhadap masyarakat," imbuhnya.