Bagikan:

Hubungan antara etnis Belanda dan China tak selalu berlangsung harmonis. Keduanya acap kali bersitegang di Nusantara. Ketegangan pertama terjadi pada 1740. Peristiwa yang mulanya pemberontakan orang China, berubah jadi pembantaian massal orang China di Batavia. Luka itu susah payah ditambal Kompeni. Namun, pemerintah kolonial kian berulah. Orang China dilarang merayakan Revolusi China saat Imlek. Karenanya, kerusuhan berdarah terjadi di Batavia dan Surabaya pada 1912.

Peran etnis China dalam tumbuh kembang Kota Jakarta begitu besar. Sedari zaman Belanda, tenaga kerja asal China pegang andil menjadi roda penggerak ekonomi. Tiap sendi perekonomian di Batavia dipegang oleh orang China. Dari tukang kayu hingga pengusaha.

Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen ada di balik ini. Coen melihat orang-orang China sebagai manusia dengan keuletan dan kerja keras tinggi. Sifat itu bisa bikin Belanda untung besar, pikir Coen. Ia kemudian membuka lebar-lebar pintu Batavia untuk orang China.

Hak istimewa pun didapatkan oleh orang China di Batavia: potongan pajak, perlindungan, hingga status warga penting. Coen takkan memberikan toleransi kepada orang Eropa yang berlaku semena-mena terhadap orang China.

Menyakiti orang China sama halnya dengan mengantar nyawa ke liang lahat. Sebab, tanpa orang China kejayaan maskapai dagang Belanda VOC di tanah air hanya sebentuk mitos. Coen bahkan sampai berucap tiada suku bangsa yang dapat melayani VOC sebaik orang China. Artinya, tidak ada yang tak dapat dilakukan oleh orang China untuk kepentingan VOC.

Suasana Pacinan di Batavia masa Hindia Belanda (Wikimedia Commons)

 “Warga China yang bekerja pada masa pemerintahan gubernur jenderal pertama --yang bermarkas di Batavia-- tidak memiliki keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa Coen sangat menghargai warganya. Dia tidak pernah memberikan toleransi kepada orang Inggris atau Belanda yang memperlakukan orang China secara tidak adil. Coen juga tidak memandang mereka sebagai objek pajak yang berlebihan.”

“Ketika dia ingin memberlakukan cukai terhadap impor dan ekspor, dia akan berkonsultasi dengan Souw Beng Kong dan Jan Congh sang ‘kepala komunitas Tionghoa.’ Pendapat mereka selalu siap dia terima. Warga China menghargainya sebagai seorang administrator yang sangat taat tetapi adil dan bersedia mewakili kepentingan mereka,” ungkap Johannes Theodorus Vermeulen dalam buku Tionghoa di Batavia dan Huru-Hara 1740 (1938).

Geger Pacinan

Kemesraan antara orang belanda dan China berlangsung dalam waktu yang lama. Tapi bukan berarti tak pernah bersitegang. Keduanya sempat berada dalam suatu masalah besar etnis China sempat terbakar amarah kepada VOC. Kebencian itu karena munculnya desas desus orang China ditenggelamkan di tengah lautan saat perjalanan menuju Afrika Selatan.

Etnis China memilih melanggengkan pemberontakan luar biasa. Pemberontakan itu dilakukan dengan senjata yang seadanya. Apa daya pemberontakan itu direspon oleh Belanda sebagai sebentuk pengkhianatan terhadap Kompeni. Serangan balik dilakukan. Dalam tempo sehari, pembrontakan etnis China berubah menjadi pembantaian massal orang China di Batavia. Tak kurang dari 10 ribu orang China meninggal dunia. Tragedi berdarah itu kemudian dikenal luas dengan sebutan Geger Pacinan atau Tragedi Angke.

Aktivitas warga keturunan China di Batavia pada masa Hindia Belanda (Wikimedia Commons)

“Menurut laporan kontemporer, 10 ribu orang China, termasuk para tahanan dan pasien rumah sakit telah dibunuh, 500 orang luka parah, 700 rumah dirusak dan barang-barang mereka habis dirampok. Pendeknya, semua orang China, baik bersalah atau tidak, dibantai dalam peristiwa tersebut,” tulis tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Alwi Shahab dalam buku Robin Hood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001).

Imlek Berdarah

Pasca Geger Pecinan, Ketiadaan orang China buat peronomian Belanda, terutama di Batavia tak berjalan lancar dalam beberapa tahun mendatang. Pengaruh orang China yang sulit digantikan jadi muaranya. Belanda pun menggalakkan ragam siasat untuk mengajak kembali etnis China kerja sama. Belanda pun mencoba Mengembalikan hak istimewa orang China. Tujuannya untuk dapat membuat hubungan antara keduanya mesra kembali.

Hubungan harmonis pun akhirnya kembali terjalin. Pun kepercayaan orang China terhadap terhadap VOC, kemudian berganti ke pemerintah kolonial Hindia-Belanda meningkat. Etnis China sekali lagi kembali menjelma sebagai penggerak roda ekonomi di tanah koloni. Namun, malang tak dapat ditolak. Hubungan keduanya kembali tegang ketika kekaisaran Dinasti Manchu runtuh dalam Revolusi China 1912.

Euforia dari revolusi dirasakan oleh sebagaian besar orang China di Nusantara. Di Batavia, suasana penuh kebanggaan itu ingin dirayakan bersamaan dengan hari raya tahun baru China (Imlek) pada 17-18 Februari 1912. Konon, untuk memengaruhi kaum bumiputra dalam merebut kemerdekaan dari Belanda. Bendera nasional Republik China akan dikibarkan di seluruh jalanan Batavia sebagai ajian.

Tindakan itu pun menarik perhatian Belanda. Pemerintah kolonial paham benar pengaruh besar dari ideologi revolusi China dapat menyebar di Nusantara. Semua itu karena sebelumnya di tanah Hindia ideologi luar seperti Pan-Islamisme pernah menyebar dan membuat Belanda kerepotan.

Ideologi yang di bawa oleh sebagian besar ulama bumiputra dari berguru di Timur Tengah telah memampu memunculkan pemberontakan. Sebagai upaya, Belanda mencoba melarang bendera Republik China dikibarkan selama Imlek.  Orang China pun mengabaikan larangan. Karena itu, kerusuhan berdarah pecah di Batavia. Sasarannya tak cuma orang Belanda, tapi juga orang China yang menjadi antek-antek Belanda.

“Sepuluh orang Hakka/Macao dengan paksa mengibarkan bendera itu di depan Gedung Tionghoa Hwe Koan. Ketika dilarang mereka memecahkan jendela dan lampion gedung tersebut. Khawatir menimbulkan hal-hal yang di luar kendali, mayor China tersebut segera menghubungi gubernur jenderal di Buitenzorg (Bogor) untuk melakukan konfirmasi mengenai larangan itu.”

“Dan jawaban yang ditandatangani oleh sekretaris gupernemen, menegaskan bahwa izin untuk pengibaran bendera tersebut tidak akan dikeluarkan. Hal itu dikarenakan pemerintah Kerajaan Belanda belum mengakui Republik China. Jawaban tersebut segera diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa dan Melayu, lalu disebarkan di kediaman orang-orang Tionghoa di Batavia. Larangan ini kemudian dipatuhi dan situasi kembali normal,” terang Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008).

Lukisan pembantaian Tionghoa di Batavia pada 9 Oktober 1740 karya Adolf van der Laan. (Rijksmuseum/Wikimedia Commons).

Boleh jadi kerusuhan di Batavia dapat segera dipadamkan. Tapi tidak untuk kerusuhan di Surabaya. Euforia revolusi membuat orang China di Surabaya ingin merayakan imlek secara besar-besaran. Petasan-petasan dalam jumlah bejibun akan dinyalakan pada malam Imlek, sesuai rencana. 

Belanda langsung ambil sikap. Sebelum rencana tersebut digelar, pemerintah kolonial telah melarang malam Imlek dirayakan dengan petasan. Padahal, sebelum-sebelumnya perayaan Imlek dengan petasan adalah hal yang lumrah. Larangan itu kemudian memicu kerucuhan secara besar-besaran di Surabaya.

Penyerangan terhadap polisi Hindia-Belanda tak terhindarkan. Demikian pula dengan nasib orang China yang menjadi antek Belanda. Rumah, harta, hingga keluarga mereka jadi target untuk dihancurkan dan dibunuh.

Warga keturunan China di Batavia masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Tidak ada catatan secara pasti terkait jumlah korban yang berjatuhan. Yang jelas kedua belah pihak –China dan belanda-- menderita. Apalagi, kerusuhan di Surabaya berlangsung lama dari malam Imlek 17-26 Februari 1912. Kemudian berlanjut kembali pada Oktober 1912.

“Di Batavia dan Surabaya unsur penduduk China pekerja keras yang biasanya tenang menunjukkan sikap memberontak dan jelas memusuhi otoritas Belanda. Kesalahan ditimpakan kepada para imigran baru; bukan golongan terhormatnya, melainkan kelas paling rendah dari mereka, orang-orang yang tidak punya apa-apa untuk dirisaukan. Bayangan tentang masyarakat China yang membangkang di tanah jajahan memusingkan Belanda.”

“Otoritas sekutu-sekutu tradisional mereka dalam komunitas China, kapten-kapten China, tampaknya memudar. Para anggota elite tradisional China yang mapan harus menghadapi tantangan dari para pendatang baru dan diserang di surat kabar di Hindia Belanda dan China karena perilaku reaksioner mereka dan keterlibatan mereka dengan kekuasaan kolonial,” tutup Kees van Dijk dalam buku Hindia Belanda dan Perang Dunia I 1914 – 1918 (2013).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.