Miskinkan Para Koruptor dengan RUU Perampasan Aset
Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan serius. Ini perbuatan yang merugikan bangsa dan negara. (Antara/Irsan Mulyadi/ed/nz/aa)

Bagikan:

JAKARTA – Pembahasan RUU Perampasan Aset menurut Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Ganarsih sebenarnya sudah bergulir sekiranya sejak 2006-2007. Menyusul penandatanganan UNCAC (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi).

Bahkan, tim dari Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi ketika itu sudah membuat beberapa versi sebagai masukan untuk pemerintah.

“Saya dan teman-teman membuat ‘tandingan’ sebagai komparasi untuk negara. Semua pembahasan sudah oke, tinggal kasih judul. Isinya sangat komprehensif. Tidak hanya menyoal korupsi, tetapi juga seluruh tindak pidana ekonomi yang merupakan tindak pidana asal TPPU,” kata Yenti kepada VOI pada 5 April 2023.

Harapannya tahun 2010 sudah disahkan, tapi nyatanya malah tarik-ulur. RUU tersebut keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR, bahkan hanya menjadi perdebatan saja hingga saat ini.

“Semoga, langkah Mahfud MD yang kembali mengingatkan RUU asset recovery bisa memicu kembali semangat para negarawan untuk lebih serius memberantas perilaku korupsi di Indonesia. Hilangkan konflik kepentingan, mari bersama membangun negeri,” katanya.

Presiden Joko Widodo terus mendorong RUU Perampasan Aset bisa menjadi Undang-Undang. (Antara/Mentari Dwi Gayati)

Kabarnya, naskah akademik dan draf RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah selesai disusun. Namun hingga akhir Maret 2023, dari enam pemimpin instansi yang dimintai persetujuan draf RUU, baru tiga yang sudah memberikan paraf persetujuan.

Mereka adalah Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.

Sementara tiga pemimpin instansi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, belum memberikan paraf persetujuan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan terus mendorong proses pembahasan RUU tersebut hingga akhirnya bisa disahkan menjadi undang-undang. Adanya aturan perampasan aset akan memberi angin segar dalam upaya penegak hukum melakukan pemberantasan korupsi.

"Saya harapkan dengan rancangan undang-undang (RUU) perampasan aset akan memudahkan proses-proses (penindakan), utamanya dalam tindak pidana korupsi karena payung hukumnya jelas," ujar Jokowi usai meninjau Pasar Johar Baru, Jakarta Pusat pada 5 April 2023.

Memberikan Efek Jera

Konteks RUU Perampasan Aset, menurut Yenti, adalah memberikan efek jera. Terpidana tidak hanya mendapat hukuman penjara, aset-asetnya yang berasal dari tindak kejahatan korupsi juga akan dirampas negara.

“Kalau saat ini, hukumannya ringan, sudah ringan tidak ada perampasan aset. Aturan di UU Korupsi hanya pengembalian ganti rugi negara. Tapi banci banget, apabila tidak dibayarkan maka diganti dengan subsider hukuman penjara. Orang pasti pasang badan untuk menjaga hartanya,” tuturnya.

Dalam draf awal RUU Perampasan Aset ada sejumlah penekanan. Antara lain, penyitaan dan pengelolaan aset.

“Aset-aset hasil korupsi yang sudah berubah menjadi restoran atau kapal pesiar misalnya disita dan dikelola oleh negara. Dalam hal ini, lembaga yang dirugikan, contoh bila korupsi proyek jembatan, maka aset dikelola Menteri PUPR,” kata Yenti.

Begitupun untuk aset-aset di luar negeri. Putusan pengadilan harus jelas mencantumkan lembaga yang mengelolanya.

“Disita dalam kasus apa, dan lainnya. Dalam peraturan internasional ada persentase 15 persen untuk negara tempat aset berada. Isinya lengkap, menjelaskan juga terkait aset properti di luar negeri, bahkan hingga penanganan aset bila berupa narkoba dan judi online. Yang seperti ini, kasih insentif untuk penegakan hukumnya,” Yenti mengungkapkan.

Namun, untuk draf saat ini, dia tidak mengetahui secara detail poin-poin apa saja yang menjadi pembahasan.

“Kemungkinan tidak jauh berbeda,” ucapnya.

Pembuktian perampasan aset kemungkinan bisa berdasar hanya dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). (Antara)

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai mekanisme perampasan aset sebenarnya sudah ada aturannya dalam perkara-perkara pidana. Hanya saja, prosesnya lebih panjang apalagi bila terpidana mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali, dan segala macam upaya hukum.

Harapannya, RUU Perampasan Aset dapat memotong mekanisme tersebut.

“Tidak harus lewat kasus. Pembuktiannya bisa lewat LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) umpamanya. Kalau ada ketidakseimbangan antara LHKPN dengan kenyataan, Negara dengan kewenangannya bisa merampas,” kata Fickar kepada VOI pada 5 April 2023.

Bukan berarti sewenang-wenang. Tetap harus ada pembuktian. Selama pejabat bisa membuktikan sumber-sumber hartanya diperoleh dari cara yang legal, itu tidak jadi masalah.

“Tapi lembaga apa yang nantinya akan ditunjuk. Atau ada lembaga baru yang khusus menangani aset-aset rampasan ini,” tambahnya.