JAKARTA – Pernyataan anggota DPR RI Komisi III Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD pada 29 Maret lalu menuai polemik.
Benarkah kekuasaan partai politik demikian besarnya hingga mampu mengatur semua hal, termasuk urusan pembentukan undang-undang? Atau itu hanya gurauan Bambang semata.
Mahfud awalnya meminta para anggota DPR, khususnya Bambang untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dan RUU pembatasan transaksi uang kartal, sehingga pemerintah dan aparat penegak hukum bisa lebih mudah menindak perilaku korupsi yang mengarah ke TPPU.
Sebab, menurut Mahfud, proses pembuktian TPPU sangat sulit, “Jadi, tolong melalui Pak Bambang Pacul, undang-undang perampasan aset tolong didukung Pak.”
“Kami mengajukan sejak tahun 2020 dan sudah disetujui di Baleg namun keluar lagi ketika akan mulai ditetapkan menjadi prioritas utama. Padahal, isinya sudah disetujui oleh DPR yang dulu,” tambah Mahfud.
Bambang justru meminta Mahfud melobi terlebih dahulu para ketua partai untuk menyukseskan RUU Perampasan Aset dan RUU pembatasan transaksi uang kartal.
“Lobinya jangan di sini pak. Nih korea-korea (para anggota parlemen) ini semua nurut bosnya masing-masing. Di sini boleh ngomong galak, Pak, tapi Bambang Pacul ditelepon Ibu, 'Pacul berhenti!', 'Siap! Laksanakan!'," kata Bambang Pacul.
Lagipula, kalau pembatasan uang kartal diberlakukan, dampaknya bisa merugikan para anggota DPR.
“Nangis semua. Masa dia bagi duit harus pakai e-wallet, e-walletnya cuma 20 juta lagi, enggak bisa Pak, nanti mereka gak jadi lagi. Loh, saya terang-terangan ini. Mungkin perampasan aset bisa, tapi harus bicara sama ketum partai dulu. Kalau di sini enggak bisa, teori saja,” sambungnya.
Bambang menegaskan, “Permintaan panjenengan langsung saya jawab, Bambang Pacul siap (melanjutkan RUU), kalau diperintah juragan.”
Apa yang disampaikan Bambang dalam rapat tersebut, kata pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin, merupakan realitas partai politik saat ini. Tak bisa dipungkiri, ini sudah terjadi sejak lama.
“Ya biasanya tingkat-tingkat lobinya ada di ketua partai. Setiap ada masalah ketua partai dikumpulkan. Dari ketua partai lalu diperintahkan ke ketua fraksi di DPR RI. Ketua fraksi kemudian memerintahkan anggota-anggotanya yang ada di komisi atau di Baleg yang membahas RUU tersebut,” kata Ujang pada 4 April 2023.
Memang polanya agak rumit, tetapi kalau tujuan dari RUU itu baik tak ada alasan untuk menolak.
“Kita lihat saja. Seharusnya Komisi III mendukung dong. Kalau tidak mau, itu namanya mereka pro terhadap tindak pidana korupsi. Artinya, DPR saja bermasalah. Kalau DPR-nya tidak mau bersih-bersih, kapan bangsa ini akan bersih,” ucap Ujang.
Peran Partai Politik
Secara teori, partai politik adalah jembatan yang menghubungkan antara rakyat dan pemerintah. Aspirasi rakyat diolah oleh Parpol di parlemen untuk kemudian diubah menjadi kebijakan publik. Singkatnya, kata Syamsuddin Haris, Parpol adalah salah satu pilar penting sistem demokrasi perwakilan selain lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lainnya.
Di Indonesia, Parpol berperan penting dalam mencari dan akhirnya menemukan identitas keindonesiaan, termasuk memperjuangkan fondasi keberagaman bagi Indonesia merdeka.
Para tokoh pergerakan mulai HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Mohammad Hatta, hingga Sjahrir dan M. Natsir tak hanya membesarkan partai, tetapi juga menjadikan Parpol sebagai lokomotif perjuangan menuju Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Namun, kondisinya berubah setidaknya sejak era Demokrasi Terpimpin (1955-1965) dan terus berlanjut hingga ke era Orde Baru. Bahkan, menurut Syamsuddin, semakin mengkhawatirkan saat ini.
Pemahaman terhadap politik dan nilai-nilai luhur seperti pengabdian tanpa pamrih bagi kemaslahatan kolektif yang seharusnya melekat pada konsep politik mengalami pendangkalan.
Lembaga Transparency Internasional pernah mensinyalir buruknya persepsi publik terhadap Parpol, yakni sebagai institusi terkorup, dan politisi Parpol sebagai aktor terkorup. Survei publik yang dilakukan LIPI (2018) di 34 Provinsi mengonfirmasi, Parpol adalah salah satu institusi dengan kinerja terburuk.
“Alih-alih menjadi solusi, Parpol kerap kali justru menjadi bagian dari permasalahan demokrasi kita hingga hari ini,” kata Syamsuddin dalam buku ‘Menuju Reformasi Partai Politik’.
Kendati begitu, lanjut Syamsuddin, citra buruk Parpol tidak semata terkait berbagai kasus suap dan korupsi, tetapi juga berkenaan dengan pola kepemimpinan yang buruk.
Berkembang dan tumbuh subur kepemimpinan yang cenderung personal dan oligarkis pada sebagian besar partai, sehingga institusi yang seharusnya merupakan badan hukum publik tersebut justru terperangkap sebagai firma pribadi milik para ketua umum dan/atau orang kuat Parpol.
“Pada beberapa Parpol, ketua umum yang juga merupakan pendiri partai, bahkan memiliki kekuasaan absolut, sehingga partai benar-benar identik dengan sang ketua umum. Apa pun pilihan ketua umum, itulah yang menjadi keputusan partai,” tutur Syamsuddin.
Politik akhirnya dipahami secara sempit sekadar sebagai perjuangan merebut dan mempertahankan kekuasaan belaka. Seperti dikemukakan oleh teoretikus klasik Harold D. Lasswell, politik akhirnya hanya soal siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Seolah-olah tidak ada tujuan substansial lain di balik politik kecuali sekadar perburuan kekuasaan belaka.
BACA JUGA:
Mahfud pun mengakui, praktik-praktik korupsi pada era reformasi semakin meluas. Dulu, tidak ada anggota DPR, pejabat maupun aparat penegak hukum yang berani melakukan korupsi, karena lebih terkoordinasi. Sekarang lebih gila dari zaman Orde Baru.
Namun, terkait pernyataan Bambang Pacul. Mahfud hanya senyum sambil geleng-geleng kepala. Dia menganggap jawaban tersebut hanya kelakar.
“Bergurau saya kira. Dia (Bambang Pacul) kan memang suka bergurau,” ucap Mahfud dalam keterangannya pada 3 April 2023.