JAKARTA – Penggunaan media sosial di kalangan pelajar sudah mengarah ke hal-hal negatif. WhatsApp, instagram, twitter, facebook yang semestinya bisa menjadi wadah komunikasi positif, justru menjadi tempat saling menghujat, memprovokasi, dan menyebarkan tindakan-tindakan anarkis.
Dua pelajar di Ciampea, Kabupaten Bogor pada 2019 berduel bak gladiator, akibat saling hujat di Facebook. Satu mengalami luka bacokan di kepala dan satu lainnya mendapat luka bacokan di bagian tangan kiri.
Lalu di Cirebon pada Januari lalu, sekelompok remaja saling tantang di media sosial hingga berujung tawuran. Satu orang tewas akibat sabetan celurit.
Terbaru kasus pembacokan remaja di Cibeureum, Sukabumi oleh tiga pelajar berusia 14 tahun pada 22 Maret 2023. Korban tewas hanya gara-gara saling hujat di Instagram. Yang lebih miris, aksi pembunuhan itu sengaja disiarkan live instagram oleh salah satu pelaku.
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo menilai perkembangan media teknologi digital telah membawa banyak perubahan di masyarakat. Semua menjadi serba praktis saat ini.
Untuk berkomunikasi, seseorang tak perlu lagi bertatap muka, tinggal mengirimkan massage atau telepon. Begitupun mencari informasi, tak perlu lagi mendatangi perpustakaan, tinggal browsing dan googling jawaban mungkin didapatkan.
Namun, kondisi itu juga ternyata memberikan dampak buruk bila tidak disertai dengan kecerdasan dalam menggunakannya.
“Apapun medianya, dalam berkomunikasi tetap memerlukan etika, perlu literasi, pemahaman, dan lain sebagainya, kompleks lah,” kata Heru kepada VOI pada 3 April 2023.
Tanpa ada etika dan literasi, media sosial akan menjadi wadah membahayakan.
“Misalnya isu provokasi, langsung direspon, atau misalnya isu yang belum terbukti kebenarannya terus langsung di share. Sementara yang membacanya belum siap mental dalam memahami dan menyikapi informasi-informasi yang beredar di media sosial. Dampaknya tentu akan lebih mencemaskan, apalagi pada usia remaja, potensi terjadinya tawuran atau tindak anarkis lainnya bisa lebih besar,” lanjut Heru.
Itulah mengapa, Deden Fardiah, mantan ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat mengatakan literasi media adalah kunci menjadikan media sosial sebagai wadah komunikasi yang positif.
Tujuannya, mencegah dampak media terhadap khalayak, menyiapkan khalayak agar bisa menjadi konsumen media yang kritis, dan agar khalayak dapat memberdayakan diri ketika berhadapan dengan media.
“Jika dahulu orang mencari informasi, kini dapat dikatakan orang malah selalu dikejar informasi terlepas informasi itu benar atau palsu. Dari kenyataan ini, tentu tuntutan untuk dapat memilah dan memilih informasi semakin penting,” kata Deden dalam in house training Bappeda Jawa Barat pada 31 Maret 2023.
Hasil Indeks Literasi Digital Indonesia pada 2021 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Katadata Insight Center (KIC) masih tergolong rendah, hanya 3,49 dari skala 1-5. Disinyalir, ini karena masih banyak masyarakat yang tidak menyadari bahaya dari mengunggah data pribadinya ke publik.
Ajarkan Sejak Dini
Kemampuan literasi media harus diajarkan sejak dini. Heru menilai sudah saatnya masuk dalam kurikulum sekolah. Setidaknya sudah diajarkan sejak ketika anak sudah bisa menulis dan membaca isi konten media sosial atau sekitar kelas 4 SD.
“Anak pada tahap ini pada era sekarang umumnya sudah bisa membuat konten dan aktif media sosial. Tapi baru sebatas kebanggaan diri atau ajang seru-seruan, mereka belum tahu dampak dari postingannya. Kemampuan ini akan meningkat hingga SMP, SMA, dan ketika di perguruan tinggi seseorang sudah lebih dewasa dalam bermedia sosial,” tutur Heru.
Sudah mampu untuk mengoperasionalkan media sosial secara bijak, bisa memahami isi untuk menghindari provokasi, dan bisa menyaring segala informasi yang ada.
Pegiat media sosial Enda Nasution pun sependapat. Pengaruh negatif media sosial hanya dapat diatasi dengan kemampuan literasi. Anak harus diajarkan beragam hal yang boleh dan tidak boleh diunggah di media sosial.
Sebab dampaknya tidak hanya terhadap orang yang berada dalam video, mereka yang mengunggah juga bisa terkena hukum bila postingannya melanggar aturan, semisal terkait kekerasan, sara, dan pornografi.
"Sudah saatnya literasi digital masuk ke kurikulum pendidikan sesuai kebutuhan,” kata Enda kepada VOI pada 3 April 2023.
Yang tak kalah penting juga adalah peran orangtua dan guru untuk terus melakukan pengawasan dan terus menanamkan nilai-nilai moral dan agama agar anak semakin memahami baik-buruk dan pantas-tidak pantas.
Serta, peran lingkungan yang tak henti mengampanyekan slogan-slogan bijak bermedia sosial. Media sosial bukan tempat menghujat atau menghina.
“Itu harus segera dilakukan. Ke depannya tantangan dunia maya akan makin masif. Potensi munculnya ideologi yang bertentangan dengan ciri khas bangsa akan semakin besar. Tidak hanya mengancam pribadi anak, tetapi juga keberlangsungan negara Indonesia,” imbuhnya.
BACA JUGA:
UNESCO menyebu minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Hasil riset bertajuk ‘World’s Most Literate Nations Ranked’ yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 juga menampilkan data yang tak jauh berbeda. Indonesia hanya menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca.
Sementara, jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia pada 2018 saja, sudah lebih dari 100 juta orang menurut lembaga riset Digital Marketing Emarketer. Mayoritas menggunakan gadget lebih dari 9 jam setiap hari. Tak heran, bila pegiat media sosial di Indonesia dikenal cerewet tapi minim literasi.