Literasi Digital Penting untuk Cegah Praktik Judi Online oleh Siswa
Digital safety atau keamanan digital termasuk dalam empat pilar literasi digital. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Penyebaran judi online di Indonesia semakin masif setiap harinya. Dan yang lebih memprihatinkan, praktik judi online juga sudah mulai menjangkiti anak-anak usia sekolah.

Menurut catatan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Kabupaten Demak, Jawa Tengah, banyak siswa di tingkat dasar, menengah, dan atas yang terlibat dalam judi online.

Berdasarkan temuan PGSI, jumlah siswa SD/MI, Mts/SMP, MA/SMA di Demak yang terlibat praktik judi online sebanyak 40.000-an siswa.

Ilustrasi judi online. (Unsplash)

"(Siswa) yang terdampak dengan game online berafiliasi dengan judi online 30 persen. Sedangkan yang mengakses judi online antara 5 persen," ujar Ketua DPD PGSI Kabupaten Demak, Ng.Noor Salim, Senin (23/10/2023).

Berdasarkan perhitungan tersebut, diperkirakan sebanyak 12.000 siswa bermain gim daring yang disponsori oleh judi online. Sementara sekitar 2.000 siswa langsung mengakses judi online tersebut.

Lampu Kuning untuk Pendidikan

Judi online memang tengah menjadi perhatian besar pemerintah dalam beberapa tahun ke belakang. Perputaran uang dalam bisnis judi online terus meningkat setiap tahunnya.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membongkar angka-angka luar biasa biasa terkait judi online. PPATK mengatakan total perputaan dana alias akumulasi terkait judi online pada periode 2017-2022 mencapai Rp190.265.249.786.831.

Angka tersebut didapat berdasarkan penelurusan dan analisis terhadap 157 transaksi dari 887 pihak yang merupakan jaringan bandar judi online pada periode itu.

Dituturkan Noor, judi online memberikan dampak buruk bagi para siswa. Hal tersebut dapat dilihat dari angka ketidakhadiran siswa yang mengalami kenaikan di beberapa sekolah. Selain itu, para siswa juga terlihat kehilangan semangat belajar akibat kecanduan gim dan judi online.

Sejumlah guru madrasah mengikuti ujian seleksi akademik Pendidikan Profesi Guru (PPG) berbasis komputer di Sekolah Madrasah Aliyah Negeri 1 Aceh Barat, Aceh. (Antara/Syifa Yulinnas)

“Angka ketidakhadiran siswa di beberapa sekolah naik, tanpa izin atau alfa, akibat ketergantungan pada gim hingga judi online,” Noor menjelaskan.

Fakta bahwa judi online juga telah merambah anak-anak sekolah membuat Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim. Menurut dia, sudah saatnya kurikulum pendidikan di Indonesia mampu menjawab masalah di masa depan.

“Ini adalah lampu kuning atau alarm bagi sekolah. Sudah saatnya kurikulum kita harus mampu menjawab masalah dan tantangan masa depan,” kata Satriwan kepada VOI.

“Judi online dan game online adalah tantangan dalam dunia pendidikan,” imbuhnya.

Tingkat Literasi Digital Rendah

Dalam kesempatan yang sama, Satriwan membeberkan beberapa penyebab judi online menjangkiti anak sekolah.

Yang pertama adalah rendahnya tingkat literasi digital dan literasi finansial di Indonesia, termasuk di dalamnya mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan. Padahal, dua hal ini sangat berkaitan.

Akibat rendahnya literasi digital dan literasi finansial, tidak hanya menyebabkan makin banyaknya orang terjebak dalam judi online, tapi juga pinjaman online (pinjol) ilegal.Dan yang lebih mirisnya lagi, guru termasuk kalangan yang paling banyak terjebak pinjol ilegal.

Berdasarkan survei yang dilakukan NoLimit Indonesia pada 2021, 42 persen masyarakat yang terjerat pinjol ilegal adalah guru. Kemudian diikuti korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebanyak 21 persen dan di urutan ketiga adalah ibu rumah tangga sebesar 18 persen.

Karena itulah, Satriwan menekankan pentingnya memasukkan literasi digital dan literasi finansial dalam kurikulum merdeka seperti yang sedang berlangsung saat ini.

“Pemahaman judi online ini harus diajarkan dan ini termasuk dalam literasi digital. Anak-anak biasanya tergiur judi online karena iklan-iklan yang sangat masif,” Satriwan menjelaskan.

“Belum lagi soal guru-guru banyak yang terjebak pinjol. Ini karena rendahnya literasi finansial di kita,” ujar Satriawan lagi.

Literasi finansial dan literasi digital perlu masuk dalam kurikulum pendidikan. (Pixabay)

Mengenai literasi digital, Satriwan menuturkan ada empat pilar yang harus dipahami dan diimplementaikan. Empat pilar literasi digital tersebut di antaranya adalah digital skills, digital culture, digital ethics dan digital safety.

Digital skill mencakup tentang kemampuan atau kecakapan untuk memanfaatkan media digital dalam kehidupan sehari-hari. Digital culture atau budaya digital terkait wawasan kebangsaan dalam berinteraksi di ruang digital, digital ethics atau etika digital terkait menjaga sikap dan menyesuaikan diri untuk tetap rasional, serta digital safety mengenai keamanan dalam internet.

“Digital safety termasuk yang perlu dipahami supaya anak-anak tidak terjebak judi online, konten-konten negatif yang berbau pornografi atau kekerasan misalnya,” imbuhnya.

Penyebab kedua maraknya judi online di kalangan pelajar adalah karena lingkungan. Mereka yang berada di lingkungan yang dekat atau terbiasa melakukan judi online, maka akan lebih mudah terjebak ke dalamnya.

Untuk mencegah makin meluasnya judi online di kalangan pelajar, Satriwan mengatakan sekolah dan orang tua perlu bekerja sama dalam pembatasan penggunaan media sosial.

“Karena media sosial bisa menjadi sarana penyebaran iklan, promo judi online. Sekolah harus bersih dari konten yang mengganggu tumbuh kembang anak, termasuk judi online dan konten negatif lainnya,” pungkasnya.